Self Dignity

  


Because we all struggle for dignity. It's mean we fight for self dignity not to self capacity. 

Saya ingin mengawali cangkrok kali ini dengan sebuah pertanyaan. Apakah kita akan memilih untuk bermental sebagai  pemenang ataukah sebaliknya? Ini penting, jangan-jangan kecurigaan kita pada sesama, ketersinggungan, dan kebencian itu muncul dari mentalitas kita. Mentalitas sebagai orang yang kalah.

Bukankah kita adalah sebuah bangsa yang secara de facto dan de jure telah menang: merdeka. Jika bukan karena mental inferior, apakah mentalitas orang kalah itu muncul karena adanya tanggung jawab yang tersembunyi di balik kata merdeka itu. Sehingga kita akut untuk mengembangkan kapasitas, berinovasi, berkarya, dan mewujudkan visi? Ataukah karena kita lelah sebab merasakan banyak ketidakadilan? Akan tetapi, setidaknya marilah kita berangkat dari mentalitas orang merdeka yang bertanggungjawab untuk menciptakan peradaban yang lebih baik!

Mentalitas orang merdeka adalah kenyataan kita. Buktinya manusia bebas menyeleksi apa saja yang ingin digapainya melalui serangkaian latihan ketat. Manusia bebas mengupayakan agar dirinya menjadi lebih baik. Itulah takdir manusia. Di balik kemerdekaan itu ada tanggungjawab yang mengintai untuk "berbuat bagi"; yaitu sebuah pilihan "kebaikan untuk bersama" namun ada pula manusia yang terjebak di dalam self dignity.

Self dignity adalah diri yang berusaha "meraih kebesaran dan gengsi" dari pada berjuang untuk memiliki serangkaian kapasitas "berbuat bagi kebaikan bersama". Dorongan self dignity begitu dahsyat sehingga kesadaran pikiran menjadi lepas. Pertama ia akan mendobrak kesadaran diri, kondisi di mana akal sehat kehilangan kendali. Bentuknya, keinginan untuk segera dikenal luas, mendapatkan popularitas, pujian, mendapatkan banyak like, viral dan lain-lain.

Self dignity sangat berkaitan dengan kebencian, kecurigaan dan ketersinggungan. Di balik self dignity terdapat ironi, di mana seseorang memandang diri lemah, pada saat yang sama mengimpikan kondisi dignity/kebesaran yang telah dicapai orang lain. Pada kondisi ini self dignity membenci segala sesuatu yang memunculkan ketegangan dalam dirinya misal, keinginannya sendiri untuk mencapai derajat kemuliaan orang lain. Akhirnya seseorang akan bertindak bodoh seperti pengguna instagram yang berencana bunuh diri secara live.

Self dignity juga mencurigai nasihat, bentuknya adalah menyepelekan. Orang yang misalnya, mohon maaf, setiap dua detik posting story yang enggak ada valuenya babarblas dinasihati supaya mengurangi atau menggantinya dengan postingan bernilai akan terapi masih saja post story unfaedah. Batas minimal suatu postingan mengandung faedah ialah ada nilai atau pelajaran yang bisa diambil orang lain. Jika tidak ada nilainya buat orang lain ya buat apa?

Self dignity mendorong sifat mudah tersinggung yang lebih tinggi. Jika ada orang lain mengkritik ia akan tersinggung. Padahal bagi orang yang sedang fokus mengembangkan diri kritik sangatlah penting. Tidak akan ada perbaikan jika tidak ada orang yang mengkritik. Karena ketidakmampuan mengolah informasi dari kritik, self dignity lebih memilih untuk tersinggung alih-alih memperbaiki diri.

***

Sejatinya operasi dignity yang baik adalah milik other side, pandangan orang lain, orang ketiga. Ia adalah hasil dari penilaian. Pada kondisi tertentu berbentuk judgement. Sebuah pengakuan seseorang atas kemampuan orang lain karena telah menciptakan manfaat untuk hidup bersama. Oleh sebab itu dignity dapat merangsang munculnya inspirasi. Hidup bersama tidak berhenti pada manusia, ingat ada juga alam.

Sedangkan bagi "Aku" atau orang pertama, yang ada adalah self capacity yaitu proses meningkatkan kapasitas diri. "Aku" yang selalu "berusaha" untuk memberikan manfaat bagi bersama. Menjadi "Aku" artinya tidak pernah berhenti mencapai. Tidak ada kata berhenti hidup untuk menjadi "Aku yang merdeka". Sehingga, jika ada "Aku" sebagai orang pertama memandang self dignity sebagai dirinya maka ia telah kehilangan dirinya. Ia terasing!

Self dignity dalam tradisi Islam diperkenalkan oleh  Ibn Qutaibah yang dipopulerkan di Barat oleh Pico della Mirandola. Asumsi dasarnya ialah nihil spectari homine admirabilius, ndak ada yang lebih mengagumkan dari pada manusia. Ismail Fajri Al-Atas menganggap Islam tak pernah sedikitpun menyianyiakan kemuliaan manusia. Islam melihat segala kebaikan yang terdapat di dalam diri manusia. Kebaikan yang memungkinkan manusia menggali kreatifitas.

Maknanya, self signity adalah omong kosong, yang ada adalah dignity of man. Selama di dalam diri seseorang ada nilai-nilai kehidupan ia layak disebut the dignity's man tapi pada saat yang bersamaan, the dignity's man tidak bisa melihat kebesarannya. Sebab sebagai "Aku" ia hanya bisa mengupayakan kebaikan bersama. Sehingga ia tak gila hormat, kehormatan baginya hanyalah artifisial atau bentukan dari upaya keras.

Saat menjadi "the dignity's man" inilah manusia menjalankan operasi yang sama kepada orang lain. Ia memandang manusia penuh nilai. Ia mengapresiasi orang lain. Ia tidak ragu untuk memberikan penghargaan, yang lebih penting dari menghormati adalah menghargai. Ia pun berusaha menyelaraskan hidup bersama dengan alam manusia, alam tumbuhan, alam hewan dan dirinya sendiri.

***

Tak dapat dipungkiri, era digital dan media sosial  telah melahirkan banyak manusia kreatif. Mereka layak mendapatkan apresiasi positif. Diberi penghargaan sekecil: wow hasil karyamu luar biasa, wow kerja kerasmu luar biasa. Sayangnya banyak orang yang lebih suka menjatuhkan secara keterlaluan bahkan dari sisi yang paling tidak masuk akal. Soal kritik model ini akan kukembangkan dalam artikel yang berbeda.

Marilah berikan value terbaik di era semua manusia memiliki otoritas publikasi. Mulailah menghargai. Tinggalkan tindakan menghormati yang hanya manis di depan menusuk di belakang, berikan penghormatan yang tulus atas kapasitas seseorang. Berhentilah mengimpikan kebesaran, biarkan ia tetap berada pada zona penilaian, biarkan tetap menjadi tugas pihak ketiga.

Dan, wow terimakasih sudah membaca sampai selesai. (Mfr)

0/Post a Comment/Comments