Cinta Eksploitatif

 



Catatan Pilu
Komnas Perempuan dalam laporan tahunan 2018 menyebut kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.873 kasus (19%), menempati peringkat kedua setelah kekerasan terhadap istri sebanyak 5.167 kasus (54%). Simfoni PPA Tahun 2016 menyebutkan bahwa dari 10.847 pelaku kekerasan sebanyak 2.090 pelaku kekerasan adalah pacar atau teman.

Banyak ragam kekerasan pada pasangan (pacar) sebagaimana rilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berikut: 

(1)Kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik yang lain. 
(2) Kekerasan emosional atau psikologis seperti mengancam, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan pasangan menjelek-jelekan dan lainnya. 
(3) Kekerasan ekonomi seperti meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan. 
(4) Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman. 
(5) Kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan banyak menghantui perempuan dalam berpacaran, seperti pasangan terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam.

Adapun hukuman pidana atas pelanggaran Perpres 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial "bisa saja" dijerat dengan Pasal 351 KUHP.

Upaya Meluruskan Nalar
Perilaku "jahat" salah satu pihak dalam pacaran dapat dikupas berdasarkan pandangan Erich Fromm mengenai "the art of love". Menurutnya, salah satu jenis penyakit cinta manusia modern adalah adanya tujuan yang salah, misal "orientasi eksploitatif". Hal ini ditunjukkan dengan gejala eksploitasi, pemaksaan dan pemanfaatan sampai pada titik ketika yang dicintai tak bisa lagi dimanipulasi ia akan merasa bosan.

Sedangkan hakikat cinta menurut Fromm adalah memberi. Memberi bagi mereka yang produktif adalah ungkapan paling agung dari kemampuan. Bagi orang jenis ini memberi akan membuatnya menghayati kekuatan, kekayaan dan kekuasaan sehingga memberikannya kebahagiaan. Dengan memberi tidak ada yang berkurang darinya, memberi baginya adalah kebahagiaan. Kebahagiaan adalah yang lebih penting di atas cinta dan kerinduan. Kebahagiaan adalah tentang memenangkan hati pasangan, bukan soal mengeksploitasinya baik pikiran, ide, fisik, psikis, emosi, materi maupun waktunya.

Pemahaman di atas sejalan dengan prinsip care (perhatian), responsibility (tanggung jawab), respect (menghormati) dan knowladge (pengetahuan) dalam menjalin hubungan. Dengan demikian relasi antar keduanya akan menghasilkan cinta yang matang yaitu, cinta yang mensyaratkan keutuhan individualitas tetap eksis dalam penyatuan. Memang sebuah paradoks "dua mahluk, menjadi satu, namun tetap dua". Tidak bisa menggapai cinta yang matang dengan pembatasan ekspresi, potensi dan nalar individu.

Interelasi tidak bisa berhasil tanpa empat syarat di atas. Wujud nyata dari ke empatnya adalah saling percaya dan memberikan kebebasan berekspresi pada pasangan. Tentu saja ekspresi dalam hal-kebaikan yang tengah kita diskusikan di sini. 

Agaknya pengaruh positivisme Descartes dalam bentuk gerakan standar memengaruhi perilaku jahat tersebut. Pembatasan pasangan dari konteksnya (dunia bawaannya) adalah kejahatan ilmu pengetahuan. Sikap arogan tak bermoral dari manusia yang berfikir. Wujud nyata dari positivisme gaya ini adalah kepatuhan pada yang -merasa- berkuasa, hilangnya kreativitas, ide murni, hilangnya makna dalam interelasi dan cinta yang mandul.

Dalam konteks bahasa arab cinta dan biji memiliki akar kata yang terbentuk dari huruf ha dan ba. Artinya, cinta selayaknya biji, ia akan tumbuh, hidup dan berbuah jika dirawat dengan benar, sementara egoisme etnosentris bahwa lelaki yang berkuasa (khas patriarki-androcentric) atau sebaliknya adalah proses pembunuhan terhadap benih cinta yang tengah ditanam oleh Allah yang Rahman dan Rahim.

0/Post a Comment/Comments