Hikmah Dibalik Wabah




Soal asyik dari perkembangan penanganan wabah korona di tingkat nasional yang sedang ramai dibicarakan oleh netizen +62 dan kurasa cukup menghibur  adalah ditunjuknya dr. Reisa Broto Asmoro sebagai salah satu tim komunikasi gugus tugas penanganan covid 19. Dari sini kita memahami seni komunikasi massa memerlukan sosok front-man yang good looking, enak dilihat, keno gawe sawangan. Informasi itu penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana pesan yang dibawa itu tersampaikan. Nah untuk tujuan demikian pemerintah perlu membuat banyak orang merasa nyaman dan betah menyimak informasi. Disitulah dr. Reisa hadir membawa rasa betah untuk berlama-berlama menyimak berita. Paling tidak rasa hawatir yang ditimbulkan oleh korona sedikit terkalahkan dengan kehadiran sosok perempuan. Seperti ibu yang dengan welas asih menasehati anak-anaknya. Begitulah. Beliau adalah dokter pemersatu bangsa. Ya siapa yang tidak suka dengan keindahan? Foto di bawah ini pemanis saja dab.

Oke dab, kita rileks aja diskusinya, semoga kita bisa mencapai kedalaman (hikmah) korona.

Pertama, dalam ranah pembelajaran di kelas, ada efek kejut yang ditimbulkan oleh wabah ini. Akibatnya memaksa tenaga pendidikan dan kependidikan melaksanakan pembelajaran secara daring. Saya senang akhirnya kajian daring itu dilaksanakan dari pada sekedar omongan dalam presentasi. Selain di lingkungan akademis, perhelatan daring memaksa para artis, intelektual, dan tokoh agama semakin masuk ke dalam pasar pengajian virtual. 

Kedua, seminggu terahir jagat facebook diramaikan perhelatan diskusi menarik soal menyikapi sains dan agama dalam masa pandemi ini. Diskusi dipicu oleh AS Laksana yang menanggapi pendirian Goenawan Mohamad (GM) dalam seminar memperingati Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2020, yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Indonesia dengan tema "Berkhidmat Pada Sains". Alih-alih  mengapresiasi dengan bangga GM justru mempersoalkan hal berkhidmat pada sains itu.

Nah, karena ini bukan koran, ya sudah kita diskusi enteng-entengan saja. Saya mengikuti perhelatan cendekiawan di facebook itu dengan sangat menikmati.

Disana ada nama-nama beken cendekiawan berasal dari Pesisir Utara yang memantik diskusi. Nama itu mulai dari Goenawan Mohamad, A.S Laksana, Ulil Abshar Abdalla, Fransisco Budi Hardiman. Saya tenguk-tenguk, terkaget, nah kalau cendekiawan Jawa Tengahan sudah saling gasak ramai juga ya. Orang-orang Kerajaan Kalingga ini berhasil menyeret banyak nama lain masuk ke dalam diskusi. Selama ini jika berbicara cendekiawan jawa bagian tengah ya enggak lain adalah Yogyakarta. Saya amat senang, saya kira Ratu Sima memanglah ratu adil yang sejak abad ke 6-7M mengutus banyak cantrik belajar ke daratan Barat maupun Timur.

Baiklah, tulisan ini bukan ditujukan untuk merespon atau mengkritik tulisan orang-orang hebat yang ikut dalam diskusi. Tulisan ini hanya usaha untuk mengambil hikmah dari diskusi yang telah terjadi.

Dari beberapa tulisan -yang saya usahakan pelajari dan paham betul- ada dua hal yang ingin saya utarakan soal menyikapi sains dan agama yaitu, golongan cendekiawan yang mengahadapkan sains dan agama seperti AS Laksana, Goenawan Muhammad, dan Ulil Abshar Abdalla, paling tidak tiga nama ini yang tulisannya kental dengan nuansa biner. Meskipun dalam tulisan yang muncul belakangan mereka mencoba kembali ke tengah dan menempatkan segala hal sesuai porsinya dengan tetap membawa kritik masing-masing atas sains dan atau agama.

Kelompok kedua adalah golongan cendekiawan yang berusaha membuat integrasi antara agama dan sains misalnya, Fransisco Budi Hardiman, Budhy Munawar Rahman, Denny JA, Fitzerald Kennedy Sitorus. Golongan ini tidak berusaha meng-ikut-campur-kan  urusan sains untuk dilawankan dengan urusan agama atau urusan agama untuk dilawankan dengan urusan sains. Golongan ini lebih suka perdamaian dan lebih pragmatis. Saya sangat "bergetar" membaca tulisan Budhy Munawar Rachman. Mungkin itu tulisan paling "kasyaf" yang saya baca dari banyak olah pikir yang sudah dilakukan. Semua tulisan dalam diskusi itu bermanfaat, sayapun mengambil banyak sekali manfaat dan bukan ranah saya untuk mengkritik para begawan nusantara itu. Akan tetapi ada pendapatku sendiri mengenai persoalan sains dan agama yang kusampaikan di akhir tulisan ini.

Golongan yang Menghadapkan Sains dan Agama 

Dari golongan ini saya mencatat dua poin penting. Pertama kepongahan adalah sikap yang dibenci. Apapun bidang keilmuannya disana ada lubang menganga yang dapat membuat seseorang jatuh dalam lembah totaliter yang berujung otoritarianisme. Ketika golongan sains membawa sains terlalu ke kanan ia akan jatuh dalam saintisme, mengideologikan sains, sehingga pada saat yang sama telah menjadikan sains sebagai dogma "agama baru". Ketika sains dikritik habis-habisan bak setan yang mesti diruwat baik dengan jalan agama maupun filsafat disini telah terjadi ekstrem kiri yang jatuh dalam totalitarianisme agama/fiedisme maupun otoritarianisme filsafat/filsafatisme. Kedua sikap ini dibenci oleh masing-masing golongan.

Kedua, cara pandang biner yang lestari. Alih-alih meng-integrasi-interkoneksi-kan lapangan pengetahuan, golongan pertama ini kental dengan nuansa biner, membela diri dan berusaha mengkritik habis-habisan borok yang lain. Hikmah yang paling tidak bisa kita pahami adalah adanya kekurangan pada masing-masing kubu. Sebagai manusia biasa yang berteman dengan mahasiswa UIN Yogyakarta saya memiliki cara pandang integrasi-interkoneksi yang saya kira tepat dipakai demi mencapai kemaslahatan hidup sebagaimana dicita-citakan sains maupun agama. Meskipun pada ahirnya masing-masing tokoh dalam golongan ini berusaha kembali ke tengah dengan berusaha memisahkan diri dari urusan lainnya meski tetap dengan kritik dan kecurigaan atau akan lebih tepat jika dikatakan sebagai peringatan agar masing-masing pihak tidak terjatuh dalam lembah kepongahan.

Saya mendapatkan kesan semacam itu berulang-ulang terutama dalam tuliasan AS Laksana (ASL) dan Ulil Abshar Abdalla (UAA). Sementara peringatan itu mencolok dalam tulisan Fitzerald Kennedy Sitorus, bahwa masing-masing bidang pengetahuan memiliki "konteks dirinya" yang jika berkolaborasi akan semakin memudahkan manusia menyelesaikan masalah misalnya, di Jerman pemerintah, filsuf dan saintis duduk bersama menangani korona. Sepertinya kalau di Indonesia ada kolaborasi antara pemerintah-ulama-dokter dalam menangani korona.

Akan tetapi, ada beberapa catatan kecil yang perlu disampaikan. Pertama dari ASL kita belajar mengapresiasi sains tanpa perlu melewati garis batas saintisme atau Qutbiisme dalam istilah UAA. Jalan tengah ini akan menghasilkan sikap yang membumi bagi sains. Bahwa ternyata ada banyak hal selain sains yang menghormati perbedaan dan kekerasan dapat muncul karena apa saja bukan hanya monopoli agama. Dari GM kita belajar waspada pada sains supaya sains tidak mengkristal jadi dogma.

Selain itu, dari ASL kita juga belajar soal arus informasi. Pemegang informasi harus jernih, jelas, dan dapat dimanfaatkan senyata mungkin. Sains mungkin telah memberikan informasi itu dengan percaya diri dan dapat dipercaya. Namun menganggap hasil kerja sains tanpa campur tangan motivasi dan naluri kebaikan bagi sesama dan etika di baliknya adalah sebentuk "tragedi budaya" dimana seseorang kalah dengan hegemoni hasil kerja sains. Harus kita akui hasil kerja sains tak melulu mesti diperlukan dan cocok untuk kehidupan manusia dan alam. Dalam hal ini sains hanyalah persoalan sikap atau "scientific templer" untuk memahami objek sains. Memahami tidak akan pernah final artinya seorang saintis tidak akan pernah berleha-leha dan membuat roadshow. Tempat saintis adalah diskusi dan saling menguji.

Kedua, argumen GM soal sains menggunakan filsafat. Menurutku GM hendak mengingatkan kita supaya berhati-hati dalam membaca sains. Kehati-hatian itu didapat dengan jalur filosifis yang berwujud pada pergulatan epistemis untuk mengkritisi kalau tidak membatalkan hasil kerja sains. 

Ketiga, dari UAA kita belajar banyak hal tentang sikap jangan pernah merasa "sudah sampai" sehingga melahirkan kepongahan. Sifat yang tak sepantasnya melekat pada siapapun. Santai saja, gasakan ya biasa, baper jangan sampai. Apalagi merasa paling benar. B aja alias biasa aja.

Dari ketiga tokoh ini kita belajar mengapresiasi sains (ASL), asal jangan kebablasan tanpa paham sesuatu yang dihasilkan kerja sains (GM), hasilnya ya sikap biasa sajalah, kalau sudah mengapresiasi ya sudah, selesai, seperti habis makan soto ya sudah apresiasinya rasa puas (UAA).

Golongan yang Mendamaikan Sains dan Agama

Usaha semacam ini tentu sudah dilakukam banyak cendekiawan. Dalam agama Islam ada tokoh ahli fiqih  yang sekaligus filsuf, dokter yang sekaligus sufi, sufi yang sekaligus raja. Meski saya menyebut istilah integrasi-interkoneksi khas UIN Yogya tetapi dalam kasus tulisan ini pendekatan dan teknis yang diajukan para penulis beragam. Akan tetapi paling tidak ide besarnya masih berada dalam koridor integrasi-interkoneksi yang jika sangat disederhanakan -dalam istilah Fitzerald- adalah kolaborasi antar-ilmu.

Dari Fitzerald Kennedy Sitorus kita mengerti pengetahuan apapun membawa realitas yang menjadi garis demarkasi dengan pengetahuan lainnya, tugas serta fungsi masing-masing. Kekhasan masing-masing pengetahuan adalah keunggulan dalam dirinya sendiri yang melekat dan terus berkembang. Pendekatan ini ingin diwujudkan oleh Fitzerald dalam ranah sosial yang lebih luas di mana masing-masing pengetahuan tidak menjadi katak dalam tempurung tetapi ia keluar memberikan manfaat. Bentuknya adalah para ahli dari masing-masing pengetahuan duduk bersama dalam menangani permasalahan yang ada di masyarakat.

Fitzerald menginginkan saintis-filsuf-teolog duduk bersama menyelesaukan masalah, korona misalnya. Dan saya rasa hal itu sudah dilakukan oleh Indonesia di mana masing-masing pakar baik dari kedokteran dan ilmuwan, pemerintah, maupun ulama (misal dari NU dan Muhammadiyyah) gotong-royong mengatasi korona. Meskipun (mungkin) tak tampak duduk bersama. Meskipun hasilnya belum bisa memuaskan banyak pihak paling tidak fakta adanya kolaborasi adalah kebenaran.

Dalam mode yang berbeda, Fransisco Budi Hardiman mengharapkan adanya cara pandang proporsional yang mengkorelasikan antara agama dan sains dari pada dikonfrontasikan. Jika Fitzerald membentangkan garis demarkasi dan upaya interkoneksi untuk mengatasi perlawanan keduanya, Hardiman berusaha memperlihatkan sikap ultra kanan dari masing-masing pengetahuan yang mesti dihindari antara sains dan saintisme, antara agama dan fidiesme, antara filsafat dan ideologi.

Inilah operasi biner yang digarisbawahi oleh Hardiman di mana yang kiri menandakan,"aku sedang mencari jawaban dan tidak terlalu dini menemukannya", sementara yang kanan,"aku tak tahan dengan ketidakpastian pencarian, maka sejak subuh berkata: akulah jawaban". Operasi semacam ini menandakan adanya (dalam bahasa George Simmel) "tragedi budaya" -mungkin ini terlalu jauh- di mana yang objektif mengendalikan yang subjektif.

Hardiman melihat polemik ini,"GM di satu sisi tak suka jawaban yang memasung kebebasan sedangkan di sisi lain ada ASL yang lurus saja seperti bapak positivisme Auguste Comte yang mengira mitos diusir dari filsafat, filsafat di atas sains". Jalan kolaborasi Hardiman adalah membuang operasi biner semacam itu digantikan dengan kolaborasi penuh kehati-hatian agar terhindar dari jatuh ke lembah saintisme, fideisme maupun pengideologian -yang ASL sebut filsafatisme-. 

Hal tersebut tentu tidak meninggalkan kekhasan masing-masing pengetahuan: kebaruan hipotesa dan falsifikasi dalam sains, serta aneka alternatif tafsir atas ayat. Agama dan sains diibaratkan Hardiman sosok ibu dan anak (dalam sejarah Islam maupun Barat benar adanya), monoteisme menyumbangkan materialisme. Sebab dunia adalah aspek materi yang dapat ditangani. 

Korelasi antara agama dan sains (dan atau juga filsafat) bagi Hardiman adalah postulat bukan lagi pragmatis sebagaimana Fitzerald. Saya tidak dapat menyangkal hal ini, cukup sejarah kemajuan Dinasti Abbasiyah menjadi bukti. Dalam tradisi Islam alam atau realitas material adalah ayat kauniyyah yang perlu direnungkan hasilnya muncul orang-orang macam Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun atau di abad 21 kita boleh menyebut Cumrun Vafa, Nima Arkani-Hamed dengan teori Superstring bahwa partikel bukanlah bentuk terkecil dari dunia. Atom hanyalah sebuah loop bergetar yang berukuran kecil atau disebut stringString tersebut bergetar di dalam 11 dimensi. Manusia hanya bisa mengenali tiga, termasuk dimensi waktu, dari 7 dimensi yang ada.

Tokoh ke tiga kita yang menghendaki kolaborasi adalah Denny JA. Pendekatan dan teknis Denny JA lebih personal atas pengalaman dan kebutuhan pribadi dari pada model Fitzerald yang lebih besar secara sosial. Bentuknya adalah "pembiaran" di mana masing-masing kubu berperan sebagai fundamentalis dalam dirinya. Hal ini bertujuan agar masing-masing berkembang tanpa harus dipertentangkan. Seorang berhak menjadi fundamentalis sains, atau fundamentalis agama atau fundamentalis filsafat tentu dalam koridor yang cocok dan tidak mengakibatkan keterkejutan. 

Di luar ruang sains, agama maupun filsafat setiap individu berhak mengembangkan dirinya menjadi sosok yang khas atau "individu sinkretik". Manusia macam ini mampu bersifat adil. Bebtuknya, dalam hal empiris ia gunakan cara pandang positivistik sains, dalam hal yang sakral dan intim ia menjadi sosok murid sufi yang penuh kesakralan, saat menghadapi filsafat ia gunakan cara pandang yang sesuai porsinya. Namun sosok semacam itu mungkin akan dinilai labil oleh sebagian orang karena tidak menjadi pribadi totalis yang khas. Saya kira abad 21 adalah era keterbukaan dan keterkoneksian antara banyak inter- sehingga sosok yang digagas oleh Denny JA adalah keniscayaan yang berusaha mendekati proporsional. 

Agaknya Hardiman menarik diskusi ini ke dalam wilayah cara pandang epistemis, sementara Denny JA membawanya ke wilayah intensitas pengalaman praktik individual, dan diakhiri oleh Fitzerald yang membawanya ke ranah pragmatis-aksiologis.

Dari golongan ini saya sangat terpukau dengan argumen yang disajikan oleh Budhy Munawar Rachman. Ia membawa argumen Hardiman lebih jauh lagi, bahwa sains bukan saja dilahirkan dari rahim agama, tetapi ia adalah kesatuan wujud sebagaimana anak dalam rahim sang ibu. Dalam hal ini Rachman memasukkan sains maupun agama dalam wilayah yang sakral.

Sains adalah salah satu jalan yang dapat mengantarkan seseorang memperoleh "ketersingkapan" selain jalur suluk. Rachman mengibaratkan seorang saintis adalah seorang murid yang bersuluk untuk akhirnya "menemukan". Penemuan fisika modern nyatanya membawa manusia pada penyingkapan atas apa yang berada di balik tirai sains. 

Pendekatan Rachman dalam mendamaikan sains dan agama bercorak sufistik untuk meraih "penyingkapan" ia menyebutnya dengan "sains mengantarkan pada hakikat", "sains menyibak maya". Dengan cara menolak saintisme sebagaimana lainnya sains hanyalah salah satu cara manusia mengerti realitas, selain itu ada cara filsafat teologi dan lain-lain. Untuk melawan saintisme Rachman menjelaskan banyak hal soal adanya sesuatu di seberang sains yang tidak digapai oleh saintisme. 

Argumen yang diajukan Rachman adalah mekanika kuantum alam diatur hukum kemungkinan telah menggantikan hukum sebab akibat. Perkembangan fisika kuantum yang menilai alam adalah dualitas atomik sebagaimana percobaan Bohr di mana cahaya mengandung gelombang elektron dan partikel sekaligus. Prinsip ini memperlihatkan kenyataan dunia sub atomik yang tidak bisa dilepaskan dari kesadaran pengamatnya. Singkatnya saintisme menolak agama sementara sains adalah basis untuk agama hususnya mistisisme.

Pendapat Rachman bisa berimplikasi pada dua hal. Pertama, kita akan dihadapkan pada pertanyaan: agama macam apa yang dilahirkan oleh penyingkapan sains? Kedua, Apakah bukan semacam saintisme bentuk lain menganggap sains mengantarkan pada realitas?

Pertanyaan pertama sudah dijawab Rachman di sepanjang artikelnya. Bahwa sains berkelindan dengan agama -Rachman lebih suka menyebut ranah spesifik: mistik- artinya sains cocok dengan agama manapun yang memungkinkan terjadinya "penyingkapan maya" (dalam Sufisme-Islam dikenal  istilah "Kasyaf"). Dengan demikian, sains hanyalah cara "kasby" dalam bentuk lain atau menyempurnakan tirakat jika penyingkapan secara "ladunny" tidak didapatkan.

Kedua, jawaban ini terdapat di akhir paragraf tulisan Rachman, ia menilai sains adalah basis agama. Dalam bahasa yang umum, sains "bisa" mempertebal keimanan seseorang kepada Tuhan. Paling tidak penemuan sains bisa mengantarkan kita pada "penyingkapan total tak dikenal": Allahu Akbar. Sungguh Allah Maha Agung untuk diupayakan tersingkap melalui apapun. Nah, sains mengantarkan kita pada kesadaran itu.

Sikap yang Boleh Saja Kita Ambil

Sebelumnya saya ingin mengkategorikan manusia sebagai ahli dan edukandum. Pertama adalah orang yang concern membuat dirinya menjadi sosok ahli di suatu bidang sementara Kedua adalah orang yang concern tetapi tidak menghabiskan seluruh hidupnya untuk satu bidang. Sosok kedua hanyalah orang yang belajar dari hasil kerja para ahli.

Sebagai sosok ahli tentulah "memiliki kemuliaan" untuk mengatakan dengan jujur bidang keahliaannya penuh percaya diri. Saya lebih suka menyebut apresiasi semacam ini sebab dalam tradisi santri hal yang lumrah memuliakan seorang alim dengan menyebut di depan namanya Al-'Alim kadang ditambah Al-'Allamah, Al-Kuroma', Al-Jalil, Asy-Syaikh. Ini menunjukkan adanya kemuliaan yang melekat pada seorang ahli. Disertai pula menjauhkan diri dari sikap "memaksakan pandangan" atau otoritarianisme yang melahirkan perlawanan. Yang ingin saya katakan adalah jadilah saintis, jadilah filsuf, jadilah agamawan, jadilah apapun sesuai bakat dan minat setiap orang. Yang menjadi catatan adalah hindari sikap berlebihan, arogan, sombong. Saya ingat sebuah hadits, bahwa sedikit saja kesombongan yang tersimpan di dalam hati akan mengakibatkan seseorang tak layak mendapat kebahagiaan "ketersingkapan agung", la yadkhulu al-jannata man kana fi qalbihi mitsqalla dzarratin min kibrin.

Kedua, sebagai orang edukandum, yang belajar dari hasil kerja para ahli sikap yang bisa kita ambil adalah sikap apresiasi sewajarnya. Apresiasi adalah penghormatan dan penghargaan yang jika berlebihan justru membuat  kita terjebak dalam fanatisme buta. Sikap menahan diri juga perlu atau membuat "tanda kurung" dalam tradisi Husserlian sampai "ketersingkapan maya" ditemukan sekurangnya pengalaman pribadi jika secara observatis ahli belum teruji. Sebagai tambahan, baik ahlibmauoun edukandum hendaknya membuka diri untuk memberikan kemanfaatan hidup.

Penutup

Saya suka dengan ungkapan Gus Ulil pada tulisannya yang datang kemudian,"Saya menikmati filsafat, mengagumi sains, dan mengimani agama."


Lelah ya dab?

7/Post a Comment/Comments

  1. Ramae juga ni diskusinya.. jadi bisa bekajar banyak hal

    ReplyDelete
  2. Saya ngrfans dengan gus ulil.. petjalanan hidup beliau mrnginspirasi saya dalam mrnjalani hidup

    ReplyDelete
  3. Subhanallah
    Beliau mengawali perjalanan dari lingkungan pesantren, kemudian berkembang di lingkungan intelektual, dan kini kembali ke pesantren.. spertinya begitu, ikuti saja kaian iha ulumudin di fb beliau

    ReplyDelete
  4. Terimakasih informasinya admind...

    ReplyDelete
  5. Samasama
    Semoga puasanya lancar
    Jangan lupa kembali ke blog saya ini
    Terimakasih atas kunjungannya
    Semoga bermanfaat

    ReplyDelete

Post a Comment