Transains ft. Oversein

  



Sobat cangkrok, apa jadinya jika besok kita ada ujian kenaikan tetapi tidak pernah mempersiapkan diri? Saat kita engga belajar tetapi kita paksa otak kita untuk berfikir, kita berusaha keras sekali menjawab persoalan yang tak pernah kita tahu duduk perkaranya. Apakah yang sebenarnya tengah terjadi? yang sedang terjadi adalah "terjebak dalam proses berfikir".


Persoalannya adalah, pertama, di sini "tak pernah benar-benar ada proses berfikir" karena tidak ada alat analisis untuk memecahkan masalah. Yang sebenarnya ada hanyalah "masalah untuk dipecahkan", dan otak terjebak memikirkan masalah tanpa pernah menemukan pintu masuk maupun jalan keluar. Kedua, karena keterjebakan fikiran oleh "masalah untuk dipecahkan" maka otak tak pernah benar-benar menemukan jawaban sesuai prosedur alat analisis. Hasilnya adalah "seolah-olah jawaban" yang sebenarnya juga tidak lebih dari loncatan pikiran ke proses selanjutnya: "area menemukan jawaban". Pikiran meloncat karena menyadari ketersesatannya dan tak ada jalan keluar sehingga ia memutuskan untuk ke proses selanjutnya yaitu "menemukan jawaban".


Persoalan pertama berkaitan dengan "transains" (trans dan sains) di mana pikiran melewatkan begitu saja proses analisis. Seperti yang saya katakan, karena pikiran tak siap untuk itu, yang terjadi adalah pikiran meloncat dari tahap memahami ke tahap "evaluasi tak sempurna", sebab melewatkan tahap analisis. 


Persoalan kedua yang perlu dikaji di sini ialah mengenau "oversein" (over dan sein) yang mana kita melewati kebenaran yang ada yang seharusnya mungkin kita temukan dari proses yang komplit (tahapan sains Bloomian). Sein menunjukkan pada fakta kebenaran yang mungkin dapat ditemukan oleh pikiran yang siap dan terlatih. Sementara dalam kasus kita di sini, di mana pikiran tak siap dan tak terlatih, maka yang terjadi adalah over, fenomena terlewatkannya sein yang mungkin ditemukan.


Baik, jika boleh mengaku aku tu ya lagi berusaha meletakkan enam ruh pembelajaran Bloom ke dalam ranah epistemik-psikologi dab. Sebab selama ini persoalan Bloom berdiam terlalu lama di ranah metodologi-administratif.


Suatu proses yang mungkin terlewati dari transains dan oversein yaitu proses analisis dan menemukan solusi. Otak yang awalnya (1) mengetahui fakta persoalan, kemudian mencoba (2) memahaminya sesuai kekuatan nalar dan bekal literasi yang dibawanya, setelah itu otak berusaha (3) membuat rekayasa masalah sebenarnya atau paling tidak membayangkannya, setelah itu pikiran berusaha (4) menganalisis masalah untuk mencoba menemukan kata kunci persoalan, dari situ pikiran (5) menyusun penilaian atas masalah untuk kemudian (6) menemukan jawaban. Keenam proses semacam itu terlewatkan dalam fenomena transains dan oversein.


Karena melewatkan analisis, pikiran tidak pernah menemukan sudut pandang, pikiran tak pernah benar-benar menemukan makna. Sehingga jawaban yang diciptakan bagaikan orang tenggelam ke dalam sungai yang berusaha keras "mencoba" meraih apapun untuk menyelamatkannya. Jawaban yang ia temukan membohonginya atau dengan sadar ia telah membuat jawaban palsu yang lemah.


Temuanku di atas akan semakin teruji jika kugunakan untuk melihat fenomena media sosial. Maksudnya apa? yaitu orang-orang yang tiba-tiba menjadi pakar segala pakar, semuanya dikomentari. Permasalahannya adalah ketika kebebasan berpendapat menjurus ke arah arogansi otoritarianisme, kebenaran satu suara, satu tafsir. Dab, kebebasan berpendapat orang dewasa tidak seperti kebebasan anak-anak yang akan memukul temannya saat tak boleh meminjam mainan milik temannya itu. Sadarilah, di masing-masing area ada kemungkinan benar.


Otoritarianisme kutarik ke area ini supaya kebebasan berpendapat tidak seperti orang tenggelam. Aku tengah mencoba meletakkan kebebasan berpendapat di dalam kapal keselamatan, artinya ada otoritas awal yang tentu saja telah satu suara dalam suatu permasalahan atau terdapat titik temu. Ketika banyak pakar telah sepakat artinya kemungkinan benar dari sein lebih besar.


Di sisi lain, kita harus jeli terhadap konten dan status perkataan pakar. Apakah ia sedang berpendapat, atau sedang berteori (artinya pendapat yang telah teruji), atau tengah menyampaikan sebuah tinjauan hukum di mana banyak pakar dari berbagai penjuru telah sepakat tentang suatu temuan.


Hal di atas perlu diperhatikan, sebab di era media sosial ini tidak ada tempat bagi kecerobohan. Era media sosial menuntut kejelian yang nyata untuk membedakan suara otoritas (ditinjau dari kontennya apakah sedang berasumsi, berteori atau menyatakan hukum). Ketika berada di area hukum artinya pendapat itu mengikat dengan beberapa ketentuan khusus. Sebab akan ada banyak pertimbangan untuk memutuskan sebuah status hukum. Proses ini bisa juga dikatakan sebagai "analisis minimal" yang dapat dilakukan oleh awam: menilai fenomena dengan kesepakatan otoritas.


Contoh kasus dalam media sosial: banyak orang yang tidak berada di level untuk membuat hukum melawan keputusan hukum dari suatu otoritas kredibel. Dengan kata lain telah terjadi transains sebab orang-orang awam ya mung bisa berpendapat, perkataannya tidak berada pada level berteori apalagi memutuskan hukum.


Misalnya pada kasus korona, dalam hal ini para dokterlah yang memegang kendali atas asumsi, teori maupun status hukum. Sementara orang-orang macam "you know who" si raja perangkat lunak itu, dalam kasus ini ia berada dalam area awam. Sebab dia bukan orang yang meghabiskan waktunya untuk belajar kedokteran, apalagi ahli virus, apalagi ahli vaksin sehingga segala yang diucapkannya terhenti secara akal di level "asumsi" yang mau tak mau agaknya didorong oleh kepentingannya. Sementara itu, apalagi orang-orang yang level mengetahuinya sebatas informasi dari wikipedia atau postingan influencer di wall fb, perlu ekstra nalar kritis.


Proses analisis yang diandaikan paragraf di atas adalah pemaknaan. Setiap orang dituntut kembali ke pelataran sejarah umat manusia, kembali pada hasil temuan, ilmu-ilmu yang ada, menilai satu bidang dengan alat yang tepat, paham bagaimana memahami, dengan kekuatan fikirannya ia maknai fenomena yang ada. Akan tetapi karena setiap pendapat hanya mengandung setengah benar, masih perlu menggunakan hati. Hati yang tenggang rasa menghargai argumen, hati yang menerima untuk terus belajar.


Kaitannya dengan proses pemaknaan dalam kehidupan bermedsos ialah agar kita tak terjerumus pada arogansi otoriter, di sini aku ingin menawarkan solusinya dab: berhentilah mempercayai, anggap semua pendapat yang bukan dari otoritasnya ya mung pendapat tak lebih, bahkan harus dikurung dobel. Dalam hal ini kita tengah menjalankan operasi falsifikasi dalam tahap analisis untuk menghindari pikiran oversein. Menangguhkan pendapat dalam tanda kurung bertujuan untuk mencapai keterarahan pada sein yang sebenarnya, memahami dengan jernih, membersihkan semua pendapat sehingga lahir kevalidan yang otoritatif.


Jika itu masalah medis, biarkanlah alumni kedokteran dengan aneka bidang itu yang menawarkan kebenaran. Tidak cukup, hal itu haruslah pendapat yang telah diuji dengan perangkat kebenaran di bawah sumpah dan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Jika itu masalah agama, percayakan pada orang yang seluruh hidupnya dihabiskan untuk mempelajari seluruh ajaran agama secara mendalam dan komprehensif dengan sungguh-sungguh, mereka yang tidak membatasi pada masalah pahala dan "hubungan badan".


Tidak ada ruang untuk memanipulasi kebenaran di kolong langit. Sebab kebenaran akan selalu menampakkam dirinya.


Cukup cangkroknya dab, berat, close fb dan ig jika perlu, jangan percaya lagi tv maupun youtube jika kepalamu sudah kalap.


Agak berat dab, dan kehidupan bukan untuk mereka yang pikirannya mati dan berhati tamak. (Mfr)


***koreksi dan diskusi silahkan di kolom komentar atau kirim ke emailku ya...


Nb. Kondisi di atas ya mung urun rembug dunia massa bukan aliran kepercayaan.

0/Post a Comment/Comments