psycozines

 




poli-Tikus dan ag-Awam-an

Pola pikir saling-lawan (biner) dan merasa diri penting padahal enggak penting adalah penyakit yang bisa kapan saja menjangkiti orang-orang yang tidak sampai level berkapasitas ahli pada suatu bidang tetapi ngeposting seolah-olah layak dan pantas mengajari orang lain, siapa? poli-Tikus dan ag-Awam-an.

poli-Tikus adalah semacam manusia berotak tapi tak punya pikiran. Tidak paham politik tapi shitposting (menyebar pikiran) politik go-block (Foolish). Politik goblok bukan politiknya yang goblok tapi campaign-nya yang goblok. poli-Tikus ini oknum, tersebar di berbagai kalangan enggak awam engga "orang pinter". Ciri politiknya gampang aja, dia "menuduh" lawan dan "menyembah" diri sendiri. Udah itu aja. Menuduh dengan rupa melebih-lebihkan sesuatu yang masih "dikira" kenyataan, kalau "benar ada" kenyataan namanya fakta. Orang kebanyakan berhenti dan merasa benar pada posisi "dikira kenyataan". Padahal itu masih belum lengkap untuk menghentikan proses mencari kebenaran. Orang tidak mau mempertanyakan perasaan janggalnya. Di situlah awal mula poli-Tikus muncul dan merusak.

Perasaan janggal itu alamiah sebagai kendali dan sebentuk pertahanan pribadi. Ibarat alarm yang akan berbunyi ketika ada panas api dan otomatis lampu merah akan menyala sebagai peringatan. Ketika perasaan janggal muncul lebih baik behenti dan dengarkan peringatan yang sedang coba disampaikan. Ketika semakin jelas bentuk perasaan janggal mulailah mempertanyakannya, kritisi, counter argumen dari berbagai pihak, rumuskan kebenaran yang ditemukan versi diri sendiri, dan terakhir : ENGGA PERLU MERASA DIRI  PENTING DAN MENGANGGAP ORANG YANG BEDA PANDANGAN POLITIK SALAH.

Hal begituan pun terjadi dalam kasus agama. Hal-hal mendasar dan akidah. Padahal kajian ibadah enggak seenak emosi di broadcast begitu saja lewat platform media sosial. Ada standar minimal yang mesti dipatuhi. Paling pertama adalah saring isi berita dan telusuri sumber. Isi berita yang mengarah pada "menuduh" orang lain dan "menyembah" diri lebih baik tidak perlu dihiraukan.

Saat ini kita harus mengembangkan kepekaan terhadap kejanggalan, terlebih jika hati merasa "agama masa gitu ya?" nah kalau sudah begini hati-hati, bisa jadi itu ajaran ag-Awam-an dan bukan dari agamawan. Agamawan tahu dasar hukum, arah ajaran, baik-buruknya, dan satu lagi enggak suka menuduh orang lain dan menyembah diri. Kalau sudah peka, harus berani mencuekkan orang yang biasa-biasa saja tapi sok tahu. Kalau merasa diri kompeten untuk mengingatkan, ya silahkan, jika tidak, abaikan saja. Banyak orang yang kompeten untuk mengajari agama.

Pengetahuan memang milik siapa saja, tapi harus paham posisi diri, tanamkan sikap "kompetenkah aku?" dalam diri sebagai pengendalian ego supaya tidak suka memaksakan keyakinan pada orang lain. Selow aja kenapa suka emosi begitu. Gunakan cara yang elegan. Semua ada ilmunya dan enggak usah merasa diri penting. B aja lah.

Kalau kalian menemukan orang dengan dua model di atas sangat dianjurkan untuk cuekkin aja. Buat apa diberi perhatian. Cuek adalah senjata mematikan buat orang yang merasa diri penting dan arogan. Cuek jika obrolannya sudah ngelantur, terlalu banyak bilang "kalau aku...", "bagiku si...", orang model begini tidak bisa menerima pendapat orang lain.

Kembangkan self-psycozyness

Tidak salah membahas politik dan agama di media sosial. Asal ada standar moral, etis, kompetensi, dan kepatutan yang perlu diperhatikan. Jika belum sampai pada level itu, lebih baik tingkatkan dulu kompetensi diri dari pada merasa diri penting.

Menjadi poli-Tikus dan ag-Awam-an tidaklah menjadi persoalan ketika berada di area pribadi, akan menjadi masalah ketika dipublikasi. Sebab, dalam relasi sosial ada yang namanya batas kewajaran. Dan masalahnya adalah narasi kedua hal ini dikendalikan oleh dunia algoritma jaringan maya. Kita tidak bisa mencegah banjir narasi informasi. Akan tetapi, setidaknya kita punya kemampuan untuk menahan diri.

Narasi-narasi media sosial biasanya menyasar emosi massa. Segala hal yang beririsan dengan emosi massa akan mudah menyinggung perasaan publik. Sesuatu yang biasanya berupa keyakinan. Meskipun begitu, keyakinan yang membuat perasaan janggal di hati mencuat perlu dikritisi. Keyakinan sering kali megendalikan kita, tapi kita pun dapat menggunakan keyakinan itu untuk menebarkan kebaikan. Dengan atau tanpa keyakinan orang bisa hidup tetapi apalah arti keyakinan tanpa manusia yang beradab. Lebih lagi di era serba supercepat seperti sekarang ini.

Kita perlu mengingat Simmel soal tragedi budaya, orang selalu dipengaruhi dan diancam oleh struktur sosial, terutama produk kultural: kebudayaan individual (kemampuan seseorang untuk menghasilkan, menyerap, dan mengendalikan unsur-unsur kebudayaan objektif) dan kebudayaan objektif (seni, ilmu, filsafat).

Simmel mengandaikan kalau orang zaman informasi dan teknologi seperti sekarang adalah tragedi ketika, orang-orang di dalamnya lalai sehingga dikuasai oleh arus berita utama dan kecanggihan. Dunia telah dipermudah dengan adanya teknologi. Tetapi di sana dinamika spiritual statis di bawah tekanan media sosial dan influencer.

Ubahlah cara pandang hanya menyerap hiburan dari media massa ke arah produktif belajar keterampilan misalnya. Sekarang yang paling penting adalah mengembangkan kapasitas diri. Soal apa yang bisa kamu lakukan. Bebaskan jiwa kreatif dari kungkungan produk dunia statis.

Yang diberikan oleh dunia statis "entertainment" di platform media sosial apapun adalah ketidaknyamanan, rasa tidak puas dan kurang. Aku tidak pernah merasa terinfluence oleh orang-orang yang bercentang biru. Bagiku sama aja dengan kebanyakan orang kalau tidak ada "nilai". Sehingga kita perlu mengembangkan perasaan nyaman atau sense of cozy.

Kenyamanan muncul karena kita (salah satunya) mampu menanamkan dalam diri bahwa kita tidak perlu tahu segalanya. Kita tidak perlu ikut dalam lingkaran api narasi di media sosial. Kita gunakan kendali diri untuk menyaring informasi yang menjadi kebutuhan primer dengan tujuan untuk mengembangkan kapasitas diri.

Self psycozyness adalah kepribadian yang mengembangkan sense of cozy. Dibentuk dari dua kata, psyco dan cozyness. Psyco adalah keadaan batin dan cozyness adalah rasa nyaman, santai, aman. Ia merujuk pada manusia yang merdeka dan bebas dari pengaruh narasi-narasi di media sosial. Ia produktif mengembangkan potensi diri. Dalam isu apapun, titik tolaknya adalah dirinya sendiri. Ia mampu menilai apa yang diperlukan untuk kebaikan diri dan orang lain. Bahwa yang muncul dari dirinya adalah kebaikan untuk orang lain.

Sense of cozy diperoleh dari rasa syukur atas karunia diri yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Dengan begitu ia akan memilih menjadi seorang pembelajar yang kompeten. Ia pun belajar dari seseorang yang kompeten lainnya untuk membimbing dan mengajarinya. Ia didik dirinya sendiri untuk memaksimalkan potensi ruh dan jasadnya. Ia menjadi seorang yang tak pernah berhenti mengusahakan kebenaran dan meraih ketenangan hati.

Psycho-cozyness dengan demikian adalah orang yang secara batin telah terbebas dari ketakutan-ketakutan naratif yang dimunculkan oleh media sosial. Berangkat dari ketenangan itu, dirinya produktif. Ia bersarang pada hati yang bersyukur, dididik dengan zikir. 

Mau tak mau saya harus memasukkan zikir dalam hal ini. Dalil quran telah membenarkan bahwa zikir adalah kegiatan aktual men-cozy-kan hati, ala bidzikrillahi tathmainnul qulub. Dan penelitian Prof Masaru Emoto Hado Institute Tokyo yang menyatakan bahwa air yang di kelilingi oleh kebaikan (perkataan dan perasaan yang baik) akan menjadi molekul kristal yang indah. Setidaknya dua dasar ini, ruhani dan empiris menjadi titik tolak pentingnya zikir. Bahwa ada ruh dan jasad yang memerlukan kebaikan di sekelilingnya menjadi dasar kehidupan kita.

Sepertinya begitu...


(Mfr)

 

0/Post a Comment/Comments