Pseudo Society
Setelah manusia berhasil meniupkan ruh ke dalam benda mati (mesin) yang dikenal sebagai zaman revolusi industri, kini di millenium ke tiga manusia berhasil memaksimalkan penciptakan dunia baru: dunia internet. Manusiapun berhasil menciptakan kerajaan sendiri: kerajaan media sosial. Raja-raja baru muncul menguasai hampir seluruh manusia dalam satu kerajaan: kerajaan facebook, instagram, twitter, whatsapp dan lainnya, namun paling tidak, itulah kerajaan terbesar dunia maya, jutaan manusia melebur ke dalam sirkuit-sirkuit telekomunikasi raksasa.
Banyak kemudahan dapat diraih dalam dunia baru ini, berbagai keuntungan secara cuma-cuma ditawarkan. Banyak tokoh yang memanfaatkan kerajaan ini untuk membangun pengaruhnya, bahkan tak sedikit raja dunia-nyata turut ambil bagian di dalam "promise land" ini. Berbagai kebudayaan baru pun dibangun di atasnya: perdagangan, sosial, politik, arena diskusi, intertaimen yang tentu saja serba virtual.
Parahnya, dunia nyata dipaksa sejalan dengan kebutuhan kerajaan medsos ini, mulai dari gaya hidup, gaya komunikasi, bahasa, bahkan nalar manusia diracuni budaya arus utama yang menguasai medsos. Rasakan saja bagaima media menguasai cara kita menilai sesuatu. Nalar kritis kita hampir -pada titik tertentu- habis dikikis oleh neo-hermes yang dipuja: viral.
Bagaimana racun viral ini mematikan sebuah interelasi sosial? Lihat bagaimana tentara tagar berebut kuasa dalam perang trending topik, lantas meracuni daya kritis yang sudah lama meredup. Sepertinya daya kritik telah dibabat habis oleh kredo hoax yang disebarkan oleh fungsionaris penguasa kerajaan hitam yang juga gudang ketololan (beberapa hoax yang ahirnya terungkap, misalnya: kasus sarumpaet, kontainer surat suara, kang batagor, bahkan tidak jarang tokoh publik tertentu adalah produsen hoax, seperti setelah terbongkarnya kasus saracen).
Kemunculan dunia media sosial bersamaan dengan keuntungan yang ditawarkan dan selebihnya adalah topeng kebohongan. Mari kita baca dunia media sosial melalui analogi taman firdaus pengikut Epicurean. Banyak para pencari suaka dunia nyata melarikan diri menuju taman kenikmatan. Moto "hidup dalam pengasingan" telah menjauhkan mereka dari percaturan dunia: kebudayaan, masyarakat, pendidikan, peradaban dsb. Tujuan kenikmatan telah melalaikan mereka dari peringatan Epicurus sendiri bahwa dalam menggapai kenikmatan harus mempertimbangkan efek samping dan keuntungan lebih besar.
Kredo pertama telah dilupakan oleh beberapa penghuni kerajaan medsos dan sama sekali telah kehilangan akalnya melalui hoax dan narsisme berlebihan sehingga mengada-ada dan terlihat memuakkan. Tak jarang demi kebutuhan narsisme ini, seorang telah merubah "jati dirinya" menjadi "diri-lain" yang tak dikenali bahkan -sebenarnya- oleh dirinya sendiri. Ia menjadi individu yang benar-benar "artifisial", pura-pura dan karenanya serba kepalsuan. Dalam hal ini lihat bagaimana orang-orang viral dalam tanda kutip dan bukan karena prestasinya. Justru aneh, apresiasi atas prestasi biasanya adalah sinisme berlebihan dari netizen (julukan untuk 'yang dipertuan agung' masyarakat medsos).
Kredo kedua juga tampaknya dipahami secara negatif daripada sikap hati-hati dan bijaksana. Justru sikap ceroboh menjadi pijakan untuk membuat hoax sebagai viral dan karenanya menjadi kebenaran. Hoax paling tidak menyimpan dua tujuan, pertama adalah sensasi, kedua politik adu domba (warisan kolonialisme Belanda). Kedua hal ini sama-sama tidak bergunanya dalam mencerdaskan masyarakat sehingga bermunculan pula akun klarifikasi hoax.
Begitulan Pesudo society terbentuk, sebuah kondisi masyarakat media sosial, seolah-olah bermasyarakat namun tengah menunjukan narsisme-individu yang dibungkus dengan interaksi khas medsos. Interaksi sebenarnya yang berwujud interaksi-kehadiran direduksi menjadi interaksi-swafoto yang tak sedikit berupa interaksi-tipu daya, karenanya hal ini adalah pseudo-society, masyarakat tipu-tipu. Sebuah kebudayaan dibalik selimut, orang-orang malu menjadi dirinya sendiri, menyembunyikan kehadirannya di dunia dibalik selembar foto profil.
Temanku Abror Sulhadi berbisik: mari kita tertawakan tulisan ini...gagunak...wakwak
Post a Comment