Kang! eps.24


Kang! eps.24
Terasing.
Aku bukan anak sebuah desa manapun, aku anak dari Maulana Guru.
Aku manusia terasing.
Terasing dan semoga terus terasing.
Terasing dari segala hal yang terasing.
Terasing dan menemukan fitrahku.
       May Day, 1 Mei 2015. Kawan-kawan hari ini adalah tanggal satu mei. Tepat dimana hari buruh internasional diperingati. Namun, kawan-kawan hari ini bukan sekedar peringatan, tetapi lebih dari itu semua kita berkumpul disini bersama-sama sebagai kaum terpelajar yang katangya mahasiswa. Turun kejalan menyatukan aksi massa rakyat pekalongan. Bersama-sama menyuarakan jeritan kaum buruh, rakyat miskin kota, anak-anak kecil kurus, sakit-sakitan, tidak sekolah.
Sadarlah kawan-kawan. Tidak hanya masalah ekonomi yang telah mencekik leher kehiduppan rakyat. Tetapi juga masalah kesehatan serta pendidikan. Tidak dipungkiri kawan-kawan bahwa kesehatan adalah ruh aktivitas setiap orang. Namun, jika kesehatan hanya dapat dinikmati segelintir orang. Sebab mahalnya harga masuk gerbang rumah sakit. Betapa sudah banyak kita saksikan di media-media warga miskin ditolak dirumah sakit, masyarakat harus meninggal karena ruangan dirumah sakit sedang digunakan untuk pengambilan gambar suatu film. Miris kawan-kawan. Seperti unilah negeri yang sejak puluhan tahun lalu diperjuangkan dengan darah, harta dan nyawa.
***
Suasana auditorium STAIN Pekalongan agak berbeda, didalamnya akan segera diadakan pelantikan pandega Racana STAIN Pekalongan. Aku bersama Presiden BEM baru saja pulang dari aksi May Day di monumen Pahlawan Pekalongan. Salah seorang di dalam gedung itu adalah perempuan yang telah mengisi setiap relung hati. Mengambil isinya lalu kuras seluruh isinya. Dia telah mengambil seluruh isi jiwa; Aku mencintainya.
Masa-masa Strata 1 adalah waktu panjangku untuk mencari sebuah kedirian pada jatidiriku. Aku, Fadil dan Barok mulai menggagas dengan liar. Sepulang kuliah aku lebih memilih menyendiri menelaah buku dan kitab. Sengaja selama di Darul Khasan aku tidak mengambil jadwal mengajar seperti Fadil ataupun Barok. Aku suka membaca, membuat tulisan, membuat ringkasan dari kitab yang sudah kumaknani, berfilsafat dengan diri sendiri, dan sering kurenungi tentang hidup dan kehidupanku. Sampai pada suatu titik aku menemukan diriku penuh nafsuNafsu-nafsu yang dengan sendirinya memenuhi diriku.
Dan inilah kisahku menemukan diriku:
Suasana malam dipondok semakin menggerayangi. Aku lihat santri-santri ibtida yang tidur begitu nyenyaknya dilantai. Mendengkuri begitu rupa kesederhanaan, memakai sarung dan kaos oblong, serta beberapa tampak santri yang tidur berbantal dampar. Lengkap dengan matan jurumiyyah yang masih terbuka.  Tangan kanannya memegang kitab yang sudah jatuh dilantai dan tangan kiri yang menjadi bantal bertumpu pada dampar. Aku benarkan letak kitab itu pada lemari samping anak yang sudah tertidur pulas itu.
Aku menuju jeding dibelakang asrama putra. Temaram berderet terlihat kakus dan kamar mandi yang terbuka lebar dengan pintu sengnya. Disamping kamar mandi berjajar jemuran baju yang mengayunkan baju-baju dengan berseliweran ditingkahi angin malam. Tengkukku terdesir angin dan tanganku tersa dingin dibelai air suci.
Sejak dua hari terakhir ada yang mengusik otakku. Sesuatu yang telah lama menjadi keyakinan, mengakar dalam jiwa, sehingga setiap rayuan dan tipuannya tak pernah lagi aku sadari. Setelah dua puluh tahun kehidupanku, hari ini aku baru menyadarinya. Dalam pikiranku banyak sekali penyakit. Penyakit-penyakit yang aku ciptakan sendiri melalui setiap kejadian dalam hidupku.
Penyakit-penyakit itu tumbuh bak berhala yang aku ciptakan dalam fikiranku sendiri. Berhala-berhala yang berbentuk nama besar, keinginan, cita-cita, ambisi, pemikiran-pemikiran yang secara mati-matian aku membela dan mengikutinya dalam setiap laku harianku. Berhala yang jiwa raga aku usahakan untuk melayaninya.
Berhala itu tidak berbentuk patung, batu, pepohonan, dupa, setan atau wujud inderawi yang lainnya. Tetapi berhala itu adalah penyakit yang mengidap dalam pikiran-pikiraku sendiri. Mulai dari berhala nama besar. Berhala ini aku ciptakan sendiri dalam pikiranku. Setelah aku munculkan berhala itu aku menyembahnya melalui iri hati dan cara-cara picik terhadap orang lain untuk mencapai puncak ambisi.
Aku  beribadah dengan jalan membesarkan namaku sendiri dengan berbagai macam hal dan cara. Aku senantiasa dzikir terhadap berhala itu dengan tasbih mencari-cari nama besar. Berhala itu yang aku ciptakan sendiri tanpa sadar, lalu aku menyembahnya, menjadi kawula setianya. Memandang remeh manusia yang lain; yang tidak sama dengan diriku.
Berhala kedua yang aku ciptakan adalah berhala ambisi yang senantiasa membisikkan diriku untuk berbuat yang lebih dan berbeda denga orang lain. Berhala ini juga mengidap dalam pikiranku sendiri. Ambisiku mengalahkan kehendak kebaikan dalam diriku untuk berbuat adil, berlaku sopan dan menghormati orang lain.
Sejak lahir aku memang sudah muslim atau lebih tepatnya dimuslimkan oleh ayahku. Aku diadzani ditelinga kanan kiriku. Namun, ketika aku tumbuh besar; orangtuaku mulai memasukkan kedalam diriku berbagai penyakit. Ayahku mulai memasukkan berhala dalam pikiranku; berhala dalam wujud harus “pintar”, harus ber”prestasi”, berhala menjadi “manusia sukses”, “menjadi penghafal al-quran”, berhala-berhala yang orang tuaku susupkan dalam pikiranku sendiri.
Behala-berhala itu membuatku terlena, melupakan Tuhan yang dulu aku bersaksi bahwa,”Alastu bi robbikum? Dan kujawab, “Bala.”
Tuhan yang sesungguhnya “Laa Ilaha Illa Ana” telah terpinggirkan dalam pikiranku dan terganti dengan penyakit-penyakit dalam pikiranku. Aku pada setiap saat sholat, tetapi berhala dalam pikiranku yang senantiasa aku dzikiri, aku memang menghafal al-quran tetapi berhala yang masih aku ibadahiBerhala itu aku sembah, telah kuciptakan kuil-kuilnya dalam pikiranku sendiri. Dan orang tuaku sendiri yang memahatnya.
Tak berhenti disitu, disekolahpun sama; pemahatan berhala-berhala semakin menjadi-jadi. Mulai dari berhala “pergaulan”, berhala “popularitas”, dikenal banyak orang. Dan, hasilnya adalah diriku yang tidak tahu apa-apa. Kecuali sebuah informasi ilmiah yang besok lusa aku telah lupa. Bukan ilmu, sesuatu hal baru yang aku dapatkan.
Entah apa yang telah merasuki pikiranku sehingga aku berpikiran liar seperti itu. Pikiran itulah yang sejak dua hari terakhir terus mengusik ketenangan batinku. Aku berada dalam kebingunganku sendiri. Aku benar-benar kebingungan dan membutuhkan seorang yang bijak untuk menemukan diriku dan mengobati luka dalam pikirku ini.

Setelah selesai membasuh diri dengan air suci. Segera kubawa diri kembali ke kamar dan membuka mushaf Utsmaniku. Aku lanjutkan bacaanku yang kini telah sampai pada juz tiga puluh. Awalnya aku pelan-pelan sekali membaca, bahkan persis desisan saja yang terdengar. Aku mulai membaca dari surat ad-Dhukha dan jiwaku terkejut bagai tersengat arus listrik saat kubaca,”Wa wajadaka Dhallan fahada.”
“Beginikah keadaanku?!” Batinku bertanya-tanya,”Diriku berada dalam keadaan kegalauan, dan terjebak dalam sebuah Dhallan.”
 Namun pikiranku bahagia saat mengetahui lafadz selanjutnya adalah Fahada. Allah akan memberikan petunjuk bagi hamba-hambaNya yang tengah berada dalam Dhallan. Berarti aku harus mencari seorang yang mampu menuntunku kepada petunjuk. Tapi siapakah ia? Dimanakan dapat kutemui?
Mulai dari sini kuniatkan diriku untuk memulai pencarian. Jadilah diriku seorang pengembara dalam lautan kehidupan yang tak bertepi ini. aku memulai pencarianku pada kebenaran. Mencari seorang yang mengantarkan kepada petunjuk dan membimbingku dalam kebenaran.
Suasana tengah malam yang semakin syahdu memeluk tubuh yang tengah dilanda kegalauan itu dengan dinginnya. Suara-suara binatang malam mulai menderik memecah malam dengan munajatnya kepada Tuhan. Beberapa santri yang tertidur dibawah kipas angin mulai membuka mata untuk merapal doa bagi masa depan yang lebih cerah untuk kehidupan beragama, bernusa, dan berbangsa.

Saat pukul dua dini hari suara air dari kamar mandi mulai gemericik pelan tanda seorang mengguyur tubuh dengan air yang dingin. Satu-dua santri yang bangun kini bertambah dan sudah membilang puluhan. Mereka mulai terbangun menunaikan shalat lail. Suara pagi yang syahdu sudah diganti dengan suara-suara kata dari bahasa manusia. Santri yang tadi membaca surat ad-Dukha tampak tertidur untuk yang kedua kalinya. Seperti biasa, tepat diatas dampar.

0/Post a Comment/Comments