Benarkah?
Istri gak bikinin kopi ngambek.
Istri gak nyiapin makanan ngambek.
Seolah menjadi suami ialah berhenti menjadi manusia.
Urusan yang semestinya bisa dikerjakan sendiri kenapa ta'liq pada pelayanan orang lain. Hawong cuma bikin kopi apa susahnya si? Cuma ngambil nasi apa susahnya si? Atribut "suami" tidak luntur dengan nyeduh kopi sendiri maupun nyiapin makanan sendiri.
Oke oke saya belum nikah tapi tidak mengurangi nilai penting gagasan ini untuk kita bahas bersama. Besok-besok saya juga bakal nikah. Nah pada titik itu, soal bagaimana cara berumah tangga yang ceria ini menjadi penting pula bagi saya.
Begini, jal nyong tek takon, seolah-olah tidak sah kah nilai "manjadi suami" jika tidak dilayani? Soal menjadi pemimpin, saya kira justru tidak ada relasinya babarblas dengan "dilayani". Bukankah justru pimpinan adalah person yang melayani?
Saya jadi ingat ngendikannya Gus Baha,"Selama istri saya hidup, selama shalatnya masih menghadap ke Barat, saya bahagia." Soalnya ya -masih kata Gus Baha- kenikmatan terbesar adalah nikmat iman dan islam. Nah, selama istri masih menjadi person yang beriman dan berislam disitulah justru kebahagiaan terbesar berada.
Kebahagiaan juga tidak pada tempatnya jika dita'liq kepada person lain. Ingin mensyukuri nikmat kopi saja ndadak dibuatkan dulu. Layasudah buat sendiri saja. Selagi masih dalam kadar kemampuan dan hal itu wajar kenapa tidak sih. -saya lagi gak ngomongin soal seksual- Heran saya, kenapa menjadi suami begitu rumit. Saya ndak mau jadi suami yang model begituan. Amatir!
Bagi Gus Baha gini, orang yang selalu ingat cara Allah berinteraksi dengannya melalui kenikmatan akan melahirkan rasa cinta dan syukur. Pokoknya selalu disyukuri apa yang ada bahkan istri yang judes pun patut disyukuri. Syekh Nawawi ngendikan,
.والاشتغال بالشكر باطنا وظاهرا كما ÙŠØØ¨Ù‡ ويرضاه
Soal menjadi suami ceria ini ada ajaran akhlak di dalamnya. Pertama, sadar bahwa menjalankan ajaran agama adalah karunia terbesar dalam berumah tangga. Kedua, kehidupan sangat layak disyukuri. Ketiga, tidak menggantungkan kebahagiaan pada kerja orang lain. Ketiga, memaksimalkan kesehatan yang diberikan oleh Allah. Keempat, pikir sendiri. Masa gitu aja harus saya yang mikir. Katanya Nabi pun mencuci, ya pokoknya pekerjaan rumah tangga yang masih bisa dihandle sendiri gaskeun aja. Akan tetapi tidak pula mengurangi peranan istri buat mendampingi suami. Masih perlu lah makan bareng, masak bareng, berbagi bantal, berbagi peran.
Jadi ingat kata Abi Quraisy Shihab, katanya setelah bulan madu ada bulan bawang. Apa maknanya? Awal-awal pernikahan itu biasanya masih senang-senangnya menjadi manusia. Dimulai dengan pesta pernikahan, bulan madu, plesiran. Tapi habis itu akan mulai nampak bulan bawang, mulai muncul sedih-sedihnya. Mulai tahu kalau suami tidurnya ngoroklah, ada istrinya kalau tidur lampu harus nyalalah, sementara suami lampunya harus matilah. Lantas bagaimana agar berumah tangga tetap ceria?
Menurut Abi Quraisy perlu ada proses pendinginan. Keduanya sama-sama mundur selangkah, melakukan kompromi. Penyesuaian-penyesuaian yang isinya menyelesaikan permasalahan. Caranya? Musyawarah. Mencari titik temu. Hawong jare wes cinta, hatinya sudah bergetar, pastilah ada jalan keluar. Saya jadi ingat perkataan seorang karib,"Wong atiku wes sreg, manteb, yakin iki ono dalane".
ربنا هب لنا من ازواجنا وذرياتنا قرة اعين واجعلنا للمتقين اماما
(Mfr)
Post a Comment