Nikah?



Asssellliiiiii... Ini persoalan purba!

Apa masalahnya jika di usia dua puluh lima tahun belum menikah? Toh banyak juga usia di atas itu yang belum menikah. Nikah itu soal rezeki, soal mau, soal waktu. Karena ia soal rezeki tak ada yang bisa menebak kapan, dengan siapa, dll, dll. Karena ia soal mau, maka tak bisa dipaksa, tak bisa pula dicegah. Karena ia soal waktu maka tak bisa dipercepat maupun diperlambat. Percayalah kalau sudah waktunya yaudah pasti menikah.

Permasalahannya adalah ketika persoalan menikah ini menjadi "ditekan" harus begini, begitu, usia ini, dengan ini, orang sini, serta prasyarat-prasyarat lain yang sebenarnya tak perlu ada. Bagi yang berpegang pada syarat empat bibit, bebet, bobot, dan relijiusitas tentu batasannya adalah: selama ia dan keluarganya melaksanakan ajaran agama. Adapun soal ketaatan beragama, itu soal "mengusahakan" yang tak berhenti saat "memilih" justru ia proses terus-menerus sampai meninggal dunia. Sebab tak ada yang bisa menentukan siapa menikah dengan siapa karena ia soal rezeki.

Persoalan kedua adalah soal iseng-iseng menjengkelkan pertanyaan "Kamu sudah dua puluh lima tahun belum menikah?" Begini, soal menikah ini soal waktu, soal kapan yang sangat misterius. Tidak wajib bagi Tuhan ngasih jodoh seseorang di usia dua puluh lima bukan? Suka-suka Tuhan mau ngasih rezeki nikah sama seseorang itu di usia kapan saja. Toh setiap orang punya alasan kenapa dia menikah di usia sebelum, saat atau sesudah dua puluh lima. Ia persoalan privat yang sebenarnya tak perlu-perlu amat untuk diintervensi.

Kadang orang tua masih suka menentukan pilihan. Disini persoalan menikah menjadi tambah pelik. Bagaimanapun juga pasangan akan menjadi anggota keluarga yang dimiliki oleh seluruh lingkaran-lingkaran keluarga dan pergaulan sehingga meyakini apakah seseorang sudah tepat akan menjadi persoalan tambahan.

Dalam tradisi pesantren, sisi lain kehidupan yang aku kenal. Di sana menikah bukan persoalan rumit. Asal sudah ada restu dari Kiai, itu bekal paling wajib untuk keberkahan berumah tangga. Atau dengan modus yang lain Kiai atau lebih sering dipanggil Abah menjodohkan santri. Itu menjadi tanda keberkahan  dari Allah.

Intinya ada dua modus dalam menikah. Ia seratus persen pilihan sendiri. Modus kedua ia dipilihkan oleh sosok lain. Bagiku sendiri, biarkan itu menjadi urusanku dan tugas orang tua, guru adalah merestui dan meridhai.

***
Ada juga hal menarik lainnya yang perlu dibicarakan yaitu ongkos. Menikah menjadi mahal ketika ia menyoal tradisi, belum lagi soal selera. Harga tradisi itu menjadi sangat mahal bagi sebagian orang. Tradisi harus lamaran sapi, tradisi harus merayakan pesta di gedung, tradisi harus sangsangan, dan lain-lain. Bagi masyarakat Pekalongan tradisi itu sangat panjang. Dimulai dari ndodok, nakokke, sangsangan, lamaran, hingga akad. Dan di setiap etape itu ada ongkos yang tidak seribu dua ribu rupiah. Ini akan menjadi penting ketika kita memikirkan omongan tetangga. Kalau tidak peduli ya ndakpapa juga si.

Menikah memang sakral, ia sekali seumur hidup. Nilai sakral itu bukan terletak pada uborampe yang puluhan digit tapi pada kekhusyukan, penjiwaan, dan penghormatan. Selama ia tidak melanggar nilai ia tidak menjadi hina. Selama ia membahagiakan semua orang terutama kedua mempelai itu sudah lebih dari wajar. Apalagi standar kebahagiaan setiap orang berbeda sehingga musykil untuk menjadikannya sebagai standar umum. Kita tak perlu memaksakan kebutuhan yang memberatkan selama ia tidak terlalu penting-penting amat.

Kebutuhan juga soal selera. Kita merasa butuh untuk memenuhi selera. Gunakan salary untuk memenuhi selera jika memang itu mendesak untuk ada. Jika tidak mendesak, buat apa? Mbuwak-buwak duwet bae! Semogeh...! Sebutuhnya saja.

Memang, kita perlu membiayai selera karena itu bernilai. Menikah itu kebahagiaan. Jangan dibuat sedih. Melatih pikiran untuk pandai menilai sebarapa selera kita pada sesuatu itu penting. Pikiran kita melahirkan banyak keyakinan yang jika tak ada perlunya ya akan menjadi pemborosan.
***
Soal sekufu, setara, sekelas, selevel, ada diskusi menarik. Diskusi ini terjadi dengan Mas Imam. Soal beliau tak ceritakan pada kesempatan lain. Selengkapnya begini:
~~~
Adudu mas, bahaya. Saya ini gak paham sama Marx. Orang dia itu maunya semua sumber daya, sarana dan hubungan produksi diatur bersama. Atas dasar itu, dia mau memperjuangkan kelas.

Halah bullshit mas, lha sekarang, ada pemuda beda kasta sosial mencintai seorang gadis dari keluarga "arisrokrat-jawa", sulit mas. Ada alasan nikahnya harus begini, pakai ini, ada itu. Lha mereka tidak mikir, kondisi pemuda desa ini. Akhirnya cinta tak dapat mewujud, relasi antar dua sejoli ini menjadi ranah privat orang tua. Ini menjadi semacam kapitalisasi anak gadis supaya dinikahi pemuda kota yang dinarasikan tampan, kaya, dan berpendidikan. Padahal, penyangga peradaban kota adalah pemikir-pemikir yang datang dari alam pemikiran desa yang ayem, adem, tentrem.

Titik bahayanya disini mas: kalau hal itu mau diperjuangkan. Kita akan melawan narasi dalil agama soal sekufu. Katanya jodoh harus selevel, yang parahnya jadi legitimasi buat mereka untuk memeras pemuda desa yang tidak cukup memiliki sumber daya: kekayaan, kasta sosial, kehormatan, dan kebanggaan.

Begini, persoalannya adalah bagaimana trend pemahaman ini kita lawan. Kita runtuhkan. Saya pikir, berpijak pada ajaran Marxis, sekufu ini bermakna bahwa kedua sejoli telah dibekali kebebasan potensial buat menentukan mana yang masuk dalam "kategorinya". Karena lagi-lagi begini, signature ajaran Marx adalah sama rasa sama rata, maka "sekufu" adalah soal "kategori selera rasa keduanya" sehingga legitimasi rasa ini akan terdistribusi secara merata kepada keduanya. Pada ujungnya, kekuatan potensial-kebebasan memilih ini akan menghasilkan sistem produksi yang positif dan ujungnya menghasilkan pula sebentuk cinta yang baik.

Terlepas dari tafsir sekufu oleh orang-orang sholih terdahulu maupun kini, makna sekufu dalam cara pandang Marxian adalah makna membebaskan bukan diktum pembatasan. Ia adalah anugerah Tuhan yang diletakkan pada dua sejoli untuk bersatu dalam satu frekuensi, dalam sekufu, sekufu dalam mencintai dan dicintai. Keduanya saling berhak dan memiliki kewajiban untuk memperjuangkan hal itu.

Ini sulit mas, jangankan berbagi perasaan cinta. Orang pemuda desa sudah dipandang oleh calon mertua sebagai calon mantu kelas dua. Tidak ada yang istimewa. Satu kata: Kawin!
~~~
Ceritanya ya begitu, mencoba untuk memahami sekufu dari sudut pandang paling "nakal": Marxis. Jika cinta dipandang dengan teropong Marx ya ngunu kuilah: menghendaki sekufu sebagai kehendak bebas dua sejoli untuk membangun nasibnya sendiri. Lebih-kurang begitu. Yowes, seperti itu saja cangkrok tetekbengek menikah menurutku. (Mfr)

0/Post a Comment/Comments