netshit.

 




Jika media sosial yang kita hadirkan hanyalah pseudo, sebentuk apus-apus dan self-dignity maka jangan heran kalau kecerdasan seseorang masih di level reaksioner-impulsif-apologik, hanya kepalsuan yang menipu, bukan kecerdasan organik yang lahir dari ruang khusyu' yang suci dan murni.

Kenapa apus-apus? Ya karena bohong, ming topeng. Topeng itu muncul karena, setidaknya menurutku, karena cara berfikir seseorang dalam menghadapi dan merespon masalah ada di level, yang kusebut, reaksioner-impulsif-apologik.

Begini, reaksioner-impulsif mengandaikan sebuah dorongan reaksi sel saraf yang terjadi begitu saja bahkan mungkin tanpa melalui otak, hanya melintasi sel sumsum tulang belakang. Artinya ia terjadi secara tak sadar, sebab begitu mendesaknya dorongan pembelaan diri atas suatu kejadian. Itulah maksud kata apologik, ia bukan sekedar pembelaan atas diri sebagai individu. Melebihi itu, apologik adalah pembelaan atas status, persona, kehendak hegemoni politik media masa yang seringkali adalah sebuah pelabelan biner. Mari kita uji teori ini dengan memahami beberapa kejadian di tengah pandemi covid-19.

Ada orang-orang dengan status dan jabatan tertentu memanfaatkan jabatan dalam situasi pandemi covid-19 untuk memperoleh privileseKasus hoax, udah gak tahu lagi apa si isi pikiran orang-orang berotak belakang ini. Ada juga sebagian orang-orang kaya ramai-ramai panic buying. Ada pula pedagang yang menimbun masker. Berita-berita itu tak sulit diakses cari saja di mesin google atau bahkan facebook.

Para "pejabat apus-apus" karena bukan pejabat yang melayani publik. Pejabat macam ini suka sekali memanfaatkan jabatan untuk menciptakan akses-akses yang rasanya kok berada di luar 'batas kewajaran' hak seorang pejabat. Misalnya, yaitu tadi yang tak sebut di atas. Soal pejabat-pejabat yang secara reaksioner-impulsif-apologik memutuskan untuk mendapat akses rapid tes terlebih dahulu. Tidak salah. Cuma ya itu, "didahulukan" atas para tenaga medis yang berada di garda terdepan melawan corona adalah privilese yang berada "di luar batas" hak pejabat kursi kayu mahal dan empuk itu.

Hal menarik lainnya, hanya di Jakarta terdapat 43 kasus hoax terkait covid-19 yang ditangani Polda Metro Jaya, empat diantaranya sudah ditangkap. Anehnya para pelaku mengaku hanya iseng. Total 70 kasus hoax soal covid-19 di seluruh Indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh Kabag Penum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Pol Asep Adi Saputra di Jakarta, Jumat (3/4/2020) yang dilansir oleh Indozone. Itu kasus yang dilaporkan sementara yang tidak masuk meja laporan agaknya lebih banyak lagi. Lagi-lagi media sosial yang digunakan adalah facebook hingga pihak facebook mengeluarkan peringatan kepada penggunanya mengenai pencegahan berita bohong terkait covid-19.

Orang yang menyebarkan hoax di tengah kesusahan masyarakat inilah yang paling layak disebut netshit. Di saat seperti ini, ruang maya semestinya digunakan untuk menebar optimisme. Anehnya selalu ada orang yang mencari keuntungan dalam situasi darurat. Entah itu keuntungan finansial maupun prestise.

Terjadinya aksi borong belanja di mall-mall di awal merebaknya kasus covid-19 adalah hal paling reaksioner-impulsif-apologik yang terjadi di negeri ini. Mereka hanya memikirkan keselamatan diri. Belum lagi dengan kepanikan yang akan ditimbulkan efek blow up berita media masa. Sampai terjadi, ada dua orang belanja ke mall menggunakan alat pelindung diri (APD) khusus dokter lengkap dengan pakaian hazmat. Sebuah kejadian paling cringe sekaligus memalukan.

Mahluk berotak tengah yang menunjukkan adanya level kecerdasan reaksioner-impulsif-apologik lainnya adalah pedagang yang menimbun masker untuk mendapatkan keuntungan banyak sebab harganya lebih tinggi. Hati mereka itu dimana si, orang kesulitan masih diperas.

Ya piye maneh , orang-orang di atas adalah orang yang level kecerdasannya rendah sebab nalar murni dan akal yang sehat tak pernah ada. Tindakan mereka tidak melalui pikiran sadar. Otak mahal kawan!

Saya tak habis pikir, di manakah akal sehat orang-orang itu? Ke mana perginya pikiran? Atau jangan-jangan level kecerdasan manusia dewasa ini memang berada di level reaksioner-impulsif-apologik? Saat kita melakukan sesuatu hanya sebagai reaksi-impulsif. Fenomena semacam ini sudah menjadi pakem perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna media sosial. Agaknya akan terus seperti itu, netshit-netshit melakukan reaksi atas suatu aksi sampai ada isu lagi sehingga timbul reaksi baru.

Adakah manusia dibawah era media sosial benar-benar tak pernah jernih dalam bertindak? Atau jangan-jangan memang tak pernah ada manusia di sana?!

Oiya, netshit itu ya ta*knya internet! (Mfr)

0/Post a Comment/Comments