Ya Mudik Ya Politik
Info mudik sudah disiarkan oleh banyak stasiun tv nasional kita. Tandanya lebaran segera tiba dan kemenangan pun segera kita raih bersama. Mestinya kemenangan ini bukan semata momen reliji bahkan menjadi sebuah pencapaian tingkatan yang lebih tinggi (derajat) sebagai manusia. Kenapa? Karena bangsa kita tengah berproses untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Meskipun proses itu mesti juga diisi oleh silang-sengkarut, sengketa, gelut, pencak-mencak.
Seolah-olah sejak demo besar-besaran demi menurunkan Ahok di monas sekaligus menyambut pilgub dki sampai pilpres dan pileg kemarin (yang prosesnya masih berlangsung sampai sekarang) tenaga kita semua tersedot oleh isu-isu sensasional yang menasional. Kita sebagai bangsa sangat kelelahan begitupun banyak alat negara yang terkuras energinya demi menghadapi situasi ini.
Lha iki priye sih jan-jane kuwi?
Tidak mungkin rangkaian peristiwa yang melelahkan ini berhenti hanya dengan islah kata-kata dan jabat tangan semata tanpa upaya mencerdaskan rakyat. Saya kira tidak hanya demikian. Rakyat tak selayaknya dijadikan partisan yang hanya dijadikan pion melulu, rakyat yang selalu dijadikan tumbal oleh elit politik. Bukan rakyat seperti itu yang dikehendaki kemerdekaan.
Bagaimanapun juga politik adalah sebentuk pengetahuan. Dengan demikian ia menjadi potensial dalam diri subjek yang memiliki ilmu politik. Dalam kerangka praktik ia berubah menjadi lintasan peristiwa yang dikendalikan oleh para politisi dan variabel politik lainnya. Dan karenanya rakyat berhak dibekali pengetahuan minimal tentang politik. Ditambah dengan penguatan peran serta rakyat dalam demokrasi selain nyoblos dan demo.
Tempo hari, permasalahan ini menjadi semakin liar seiring memanasnya tensi politik serta dominasi politisi dalam menggunakan strategi politik pecah-belah daripada politik persatuan yang menyejukkan di ruang-ruang publik. Hal itu berwujud sentimen antar rakyat yang diperbesar sehingga memicu gejolak sensasional yang menasional.
Misalnya isu takfiri, isu pemerintah anti Islam, sentimen anti etnis tertentu, isu hantu partai yang sudah mati bersama para pendirinya, serta puluhan slogan kebodohan lain yang semestinya patut diuji. Diuji oleh siapa? Oleh rakyat sebagai pemilik suara sah demokrasi.
Slogan-slogan semacam jihad, terorisme, negara islam, drama "pipel pawel", (yang terbaru) referendum patut diuji kesahihan dan kemaslahatannya. Rakyat berhak memikirkan nasib diri dan bangsanya bukan menjadi rakyat latah yang serba membeo.
Rakyat sebagai penentu arah politik berkewajiban mengendalikan situasi agar tetap teduh, alih-alih mengiyakan segala hasrat busuk politisi tertentu. Bukankah suara rakyat menentukan siapa yang menjadi penguasa? Atau jangan-jangan suara rakyat adalah suara yang dipesan sehingga perlu dituntut balik ketika barang pesanan tak sesui ongkos?
Mestinya pendidikan menjadi jawaban untuk persoalan ini tetapi agaknya banyak pula persoalan yang mesti diselesaikan oleh Pak Mentri. Jika pendidikan terlalu luas, mari kita fokuskan pada soal kemampuan belajar rakyat. Berapa sih secara internasional kemampuan rakyat Indonesia dalam hal membaca? Dalam hal eksak? Dalam hal sains? Jawabannya sama, bangsa kita berada di urutan kelompok paling belakang dalam ketiga hal ini.
Lantas dimanakah titik temu antara kemampuan belajar dan politik yang mestinya kita kuasai? Pertanyaan ini dapat dijawab misalnya, supaya setiap rakyat memiliki kemampuan membaca situasi pasca elektoral maupun pra elektoral (rekam jejak) dengan jernih sehingga mampu menyikapi segala implikasinya dengan arif dan bijaksana. Sudahkah semua-mua kita telah mampu membaca dan memaknai proses demokrasi dengan arif dan bijaksana sebagai bangsa yang beradab? (Mfr)
#medsos10
Post a Comment