Moral Resiprokal Manusia dan Alam


Jadi gini dab, ini hasil diskusiku dengan seorang magister filsafat satu almamater asal Pekalongan, Khusnun Niam. Kita diskusi soal alam, moral, dan sekaligus relasi tauhidnya. Hasilnya kita tulis dalam artikel berikut : 

Saya teringat Jostein Gaarder, penulis Dunia Sophie. Dalam novelnya yang lain, Dunia Anna, ia mengajak kita tafakkur. Gaarder menyerukan moral resiprokal antara manusia dengan alam. Hal ini didasari kekecewaan yang mendalam atas gagalnya filsafat humanisme memberikan kehidupan yang lebih baik bagi alam. Bisa jadi, poros manusia yang selama ini kita bela adalah monster paling rakus memangsa alam. Buktinya dapat kita lihat secara jelas, perusakan hutan, pencemaran udara, sungai, laut, tanah, bahkan iklim menjadi semakin tak bersahabat bagi manusia. Gaarder mengajak kita memperlakukan alam sebagai kawan, sebagai sahabat.

Agaknya alam memang tak pernah meminta belas kasihan manusia. Sebab hal ini pula, sepertinya manusia berbuat melampaui batas, memerah sumber daya alam hingga mengabaikan ketahanannya: menguras mineral, mengikis hutan, mencemari lingkungan, menyedot habis minyak bumi, dan sebagainya.

Moral resiprokal manusia dengan alam menghendaki hubungan harmonis antara keduanya. Sebagaimana alam memberikan seluruh kekayaan yang dikandungnya, manusia pun dituntut mengelola alam secara proporsional. Pertanyaan paling urgen yang diajukan oleh Gaarder adalah,"Apakah kita ingin diadili secara internasional oleh generasi selanjutnya dengan tuntutan "Generasi Tetua Telah Gagal Mengelola Alam. Mereka mewarisi alam yang telah rusak!"

Alam Pekalongan dalam Refleksi Ecophilosophy Arne Naess

Dewasa kini, dunia sedang dilanda krisis atas pemahaman pentingnya menjaga lingkungan. Minimnya etika terhadap lingkungan dilihat dari banyaknya peristiwa miris yang terjadi misalnya, banyaknya sawah yang ditimbun untuk membangun lapangan pekerjaan, banyaknya industri pabrik yang menjadi sarang polusi udara, dan banyaknya limbah dari industri pabrik yang dialirkan ke sungai-sungai yang sejatinya masih bersih dan difungsikan untuk hajat hidup masyarakat. Hal ini menyebabkan banyaknya hewan yang hidup di sungai mati sekaligus mematikan fungsi air, juga mencemari perairan daerah pertanian.

Persoalan tersebut tidak jauh beda dengan kondisi pekan ini di daerah Pekalongan. Banyaknya masalah yang timbul dari limbah industri pabrik yang dibuang ke tempat yang menjadi wilayah hidup hewan air seperti ikan, udang, dan beberapa hewan air lainnya, sekaligus dijadikan sumber perairan para petani di Pekalongan kini berhenti. Air yang sudah tercemar sudah tak dapat difungsikan seperti sebelumnya. Sehingga menjadi problem untuk masyarakat yang menjadikan air sungai sebagai sumber kehidupannya.

Minimnya kesadaran akan lingkungan hidup oleh beberapa oknum penguasa berdampak pada sulitnya aktivitas beberapa warga yang terkena dampak untuk memenuhi kebutuhan hidup, hidup sehat, dan kekurangan air bersih. Hal tersebut merupakan bentuk kegagalan manusia sebagai makhluk yang berfikir dan mempertimbangkan segala hal sebelum melakukannya. Sehingga, bisa dikatakan banyak oknum penguasa yang memperburuk kondisi alam Pekalongan dengan tidak mempedulikan akan kelestarian lingkungan lingkungan.

Problem lingkungan seperti ini merupakan bentuk ketidakpahaman akan fungsi lingkungan yang bisa dijadikan sumber mata pencaharian orang banyak sekaligus adanya ketidaksadaran sebagai manusia sebagai makhluk yang diberikan akal untuk bertanggung jawab atas lingkungan, karena manusia juga merupakan bagian dari lingkungan itu sendiri.

Hal ini digambarkan oleh Arne Naess (seorang tokoh lingkungan hidup dan penggerak diskursus lingkungan hidup di Norwegia1912-2009), bahwa manusia seharusnya ikut serta dan aktif dalam menjaga lingkungan. Sehingga manusia memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya, baik melalui cara berfikir, sikap, tingkah laku, dan perilaku yang tidak hanya berkutat pada science melainkan juga pada kearifan lokal.

Sudah sepatutnya manusia memahami timbal balik kebaikan yang diberikan oleh lingkungan hidup. Salah satunya dengan mengelolanya tanpa mencemarinya. Hal tersebut juga dimaksudkan supaya manusia bisa dekat dengan Tuhan melalui penjagaannya terhadap alam sebagai sebuah hubungan antar makhluk dan kholiq. Sehingga, dari hal ini terbentuk prinsip bahwa tauhid merupakan akar dari terbentuknya pemikiran bahwa seseorang merupakan bagian dari alam dan memiliki tanggung jawab atas alam sebagai bentuk akhlak kepada Tuhan.

Menjaga Alam dan Relasi Tauhid

Menurut KH Mustain Syafii, pimpinan Pondok Pesantren Madrasatul Quran Tebuireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, sebagaimana dikutip dari Nu Online, mengingatkan bahwa menjaga alam adalah amanah langsung dari Allah SWT. Menurutnya, perintah menjaga alam adalah amanat Allah kepada umat manusia, sehingga harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh insan yang berilmu.

Hal tersebut disasarkan pada seruan Al-Qur'an dalam surat Ar-Rum [30] ayat 41-42 dan surat Al-A'raf [7] Ayat 56-58 tentang peduli lingkungan. Dan kalam ilahi tersebut, ditegaskan bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Dari hal di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa menjaga lingkungan dan mengelolanya tanpa merusaknya merupakan tugas yang diberikan oleh Allah kepada manusia, sekaligus sebagai salah satu cara manusia untuk mendekatkan diri kepada Pencipta. Sehingga, refleksi antara Ecophilosophy Arne Naess dan Tauhid Islam sangatlah berkaitan.
Jadi gini dab, ini hasil diskusiku dengan seorang magister filsafat satu almamater asal Pekalongan, Khusnun Niam. Kita diskusi soal alam, moral, dan sekaligus relasi tauhidnya. Hasilnya kita tulis dalam artikel berikut.

Saya teringat Jostein Gaarder, penulis Dunia Sophie. Dalam novelnya yang lain, Dunia Anna, ia mengajak kita tafakkur. Gaarder menyerukan moral resiprokal antara manusia dan alam. Hal ini didasari kekecewaan yang mendalam atas gagalnya filsafat humanisme memberikan kehidupan yang lebih baik bagi alam. Bisa jadi, poros manusia yang selama ini kita bela adalah monster paling rakus memangsa alam. Buktinya dapat kita lihat secara jelas, perusakan hutan, pencemaran udara, sungai, laut, tanah, bahkan iklim menjadi semakin tak bersahabat dengan manusia. Gaarder mengajak kita memperlakukan alam sebagai kawan, sebagai sahabat.

Sebagaimana saya tulis dalam artikel terdahulu Moral Resiprokal Antara Manusia dan Alamagaknya alam memang tak pernah meminta belas kasihan manusia. Sebab hal ini pula sepertinya manusia berbuat melampaui batas, memerah sumber daya alam hingga mengabaikan ketahanannya: menguras mineral, mengikis hutan, mencemari lingkungan, menyedot habis minyak bumi, dan sebagainya.

Moral resiprokal manusia dan alam menghendaki hubungan harmonis antara keduanya. Sebagaimana alam memberikan seluruh kekayaan yang dikandungnya, manusia pun dituntut mengelola alam secara baik. Pertanyaan paling urgen yang diajukan Gaarder,"Apakah kita ingin diadili secara internasional oleh generasi selanjutnya dengan tuntutan "Generasi Tetua Telah Gagal Mengelola Alam. Mereka mewarisi alam yang telah rusak!"

Alam Pekalongan dalam Refleksi Ecophilosophy Arne Naess

Dewasa kini, dunia sedang dilanda krisis atas pemahaman pentingnya menjaga lingkungan. Minimnya etika terhadap lingkungan dilihat dari banyaknya peristiwa miris yang terjadi, diantaranya banyaknya sawah yang ditimbun untuk membangun lapangan pekerjaan, banyaknya industri pabrik yang menjadi sarang polusi udara, dan banyaknya limbah dari industri pabrik yang mengalirkannya ke sungai-sungai yang masih bersih dan difungsikan. Hal ini menyebabkan banyaknya hewan yang hidup disungai mati sekaligus mematikan fungsi air yang tadinya sebagai tempat mencuci untuk berbagai kalangan berpindah juga mencemari perairan daerah pertanian.

Persoalan tersebut tidak jauh beda dengan kondisi pekan ini daerah Pekalongan. Banyaknya masalah yang timbul dari limbah industri pabrik yang dibuang di tempat yang menjadi wilayah hidup hewan air seperti ikan, udang, dan beberapa hewan air lainnya, serta menjadi wilayah yang difungsikan untuk mencuci warga masyarakat sekaligus dijadikan sumber perairan para petani di Pekalongan kini diharuskan berhenti. Air yang sudah tercemar sudah tidak dapat difungsikan seperti sebelumnya. Sehingga, hal ini menjadi problem untuk masyarakat yang menjadikan air sungai sebagai sumber kehidupannya.

Minimnya kesadaran akan lingkungan hidup oleh beberapa oknum penguasa berdampak pada sulitnya aktivitas beberapa warga yang terkena dampak untuk memenuhi kebutuhan hidup, hidup sehat, dan kekurangan air bersih. Hal tersebut merupakan bentuk kegagalan manusia sebagai makhluk yang berfikir dan mempertimbangkan segala hal sebelum melakukannya. Sehingga, bisa dikatakan banyak oknum penguasa yang memperburuk kondisi alam Pekalongan dengan tidak mempedulikan akan kelestarian lingkungan lingkungan.

Problem lingkungan seperti ini merupakan bentuk ketidakpahaman akan fungsi lingkungan yang bisa dijadikan sumber mata pencaharian orang banyak sekaligus adanya ketidaksadaran sebagai manusia sebagai makhluk yang diberikan akal untuk bertanggung jawab atas lingkungan, karena manusia juga merupakan bagian dari lingkungan itu sendiri.

Hal ini digambarkan oleh Arne Naess (seorang tokoh lingkungan hidup dan penggerak diskursus lingkungan hidup di Norwegia1912-2009), bahwa manusia ikut serta dan aktif dalam menjaga lingkungan. Sehingga, manusia memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya, baik melalui cara berfikir, sikap, tingkah laku, dan perilaku yang tidak hanya berkutat pada science melainkan juga pada kearifan lokal.

Sudah sepatutnya manusia, memahami timbal balik kebaikan dengan lingkungan hidup, salah satunya dengan mengelolanya tanpa mencemarinya. Hal tersebut juga dimaksudkan supaya manusia bisa dekat dengan Tuhan melalui penjagaannya terhadap alam sebagai sebuah hubungan antar makhluk dan kholiq. Sehingga, dari hal ini terbentuk prinsip bahwa tauhid merupakan akar dari terbentuknya pemikiran bahwa seseorang merupakan bagian dari alam dan memiliki tanggung jawab atas alam sebagai bentuk akhlak kepada Tuhan.

Menjaga Alam dan Relasi Tauhid

Menurut KH Mustain Syafii, pimpinan Pondok Pesantren Madrasatul Quran Tebuireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, sebagaimana dikutip dari Nu Online, mengingatkan bahwa menjaga alam adalah amanah langsung dari Allah SWT. Menurutnya, perintah menjaga alam adalah amanat Allah kepada umat manusia, sehingga harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh insan yang berilmu.

Hal tersebut disasarkan pada seruan Al-Qur'an dalam surat Ar-Rum [30] ayat 41-42 dan surat Al-A'raf [7] Ayat 56-58 tentang peduli lingkungan. Dan kalam ilahi tersebut, ditegaskan bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Dari hal di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa menjaga lingkungan dan mengelolanya tanpa merusaknya merupakan tugas yang diberikan oleh Allah kepada manusia, sekaligus sebagai salah satu cara manusia untuk mendekatkan diri kepada Pencipta. Sehingga, refleksi antara Ecophilosophy Arne Naess dan Tauhid Islam sangatlah berkaitan. (Mfr)

0/Post a Comment/Comments