Monolog Rubaiyat

 


Monolog Rubaiyat


Aku padamkan gejolak,
Supaya tak membinasakanku,
Biar kutemukan jalan takdirNya,
Bahagialah.

Bagaimana bisa aku tidak hanyut dalam dentuman?
Sedangkan rona pipimu mengalahkan dayaku.
Sementara hujan tak mau berhenti, kabut sudah mulai menyelimuti hati.

Kelima-limanya perempuan, anugerah agung dari langit. Omong-omong apa kau ingat kedai teh di peron stasiun pekalongan itu?
Sudah lama sekali.
Awal dari protesku pada semesta.

Ada yang menahanku untuk melangkah.
Meskipun rasanya sudah di ujung tanduk.
Ada kehormatan yang tak berani kulewati.
Tetapi, tambangmu mengikatku lebih kuat.

Waktu melemparku ke sudut paling musykil
saat empat menit aku dihajar habis oleh dentuman.
Kedua-duanya meledak.
Bertebaran di depan kornea mataku.

Belajar dan bekerja

Mukanya tetap saja begitu,
Melempem di pojok bangku paling belakang.
Ragunya masih tak dapat dia sembunyikan,
Akan tetapi hidup mendesaknya tetap diam di ruang diskusi.

Setelah pulang,
Ia buka gerai tokonya,
Memajang hasil tangan terampil,
Mengumpulkan lembar kehidupan.

Izinkan aku bertanya

Saat kecambah semakin menjauhi tanah tetapi akarnya tetap melekat kuat apakah yang bisa dilakukannya selain kembali?


0/Post a Comment/Comments