Manusia Sebagai Jasad


Mari kita menafakuri diri sekaligus mensyukuri nikmat Allah. Kita akan membahas manusia. Kita berangkat dari titik manusia sebagai jasad. Titik di mana banyak manusia merasa hina. Kehinaan itu berangkat dari keyakinan bahwa jasad ini akan membusuk, ditinggal begitu saja di alam baka. Jasad hanya bungkus, selebihnya ia akan terkubur bersama seluruh bengkak bekas sujud dan tasyahud. Pendapat itu tak sepenuhnya salah, juga tak sepenuhnya benar. Akan tetapi, seringkali kita terperdaya dan tidak berupaya untuk menjadikan jasad sebagai sarana bersyukur. Bahkan karena dianggap hina, jasad justru seringkali dikutuk alih-alih mensyukurinya, merawatnya, dan menjadikannya sebaik-baik karunia Allah.

Saya berpikiran lain. Kita akan memulai diskusi ini dengan bersepakat, bahwa di dalam doktrin qur'anik kita akan menilai jasad tidak seperti itu. Sebab, tidak ada satupun ciptaan Allah yang sia-sia bahkan seekor nyamuk. Kita juga sepakat tak ada perdebatan, bahwa secara jasad manusia tercipta dari tanah dan akan kembali menyatu dengan tanah, firman Allah dalam surat Al-Mu'minun ayat 12 dan Ar-Rum 20.

12.وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ المؤمنون

ومن آياته أن خلقكم من تراب ثم إذا أنتم بشرتنتشرون الروم : 20

Al-Qurtuby menjelaskan makna kata طين dan تراب sebagai:
أي من طين خالص
Maksudnya manusia tercipta dari tanah yang suci. Sementara dalam tafsir Jalalain pengertian tanah dapat dilacak dan dipahami sebagai:

"وَ" اللَّهْ "لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَان" آدَم "مِنْ سُلَالَة" هِيَ مِنْ سَلَلْت الشَّيْء مِنْ الشَّيْء أَيْ اسْتَخْرَجْته مِنْهُ وَهُوَ خُلَاصَته "مِنْ طِين" مُتَعَلِّق بِسُلَالَة
Signaturenya adalah خلاصته من طين atau intisari dari tanah. Sementara dalam Ibn Katsir, kita akan menjumpai makna "tercipta dari tanah" sebagai:

فَالسُّلَالَة هِيَ الْمُسْتَلَّة مِنْ كُلّ تُرْبَة ; وَلِذَلِكَ كَانَ آدَم خُلِقَ مِنْ تُرْبَة أُخِذَتْ مِنْ أَدِيم الْأَرْض

Kata المستلة bermakna sesuatu yang disarikan dari sesuatu, atau zat yang dihasilkan dari unsur lain. Artinya manusia diciptakan berasal dari intisari setiap atomik tanah yang suci.

Oke, kita telah clear mendiskusikan soal muasal manusia dari tanah. Dan kita bersepakat soal sabda qur'anik tentang klaim tersebut. Dari ayat-ayat suci ini, tugas kita selanjutnya adalah merenungi kejadian kita dari tanah. Konon, saripati tanah itu secara kimiawi-biologis terserap oleh tubuh melalui tumbuhan untuk selanjutnya terkonsentrasi dalam produksi air mani dan sel telur dalam sistem reproduksi pada proses kejadian manusia pasca Nabi Adam.

Lantas, kita boleh melanjutkan persoalan. Kenapa dari tanah? Apa yang sebenarnya Allah kehendaki dari hal ini. Kita dapat melacak jawabannya pada untaian hikmah dari kitab Al-Hikam Ibn 'Athaillah.

ادفن وجودك فى أرض الخمول فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه

Gus Ulil Abshar memaknai aforisma ini dengan; kuburlah dirimu di dalam bumi ketidak-nampakan, sebab sesuatu yang tumbuh dari benih yang tak ditanam di balik ketidak-nampakan tak akan sempurna buahnya.

Menarik untuk kita perhatikan kata خمول yang diterjemahkan "ketidak-nampakan". Gus Ulil menerangkan bahwa kata ini bermakna ganda, umum dan khusus. Makna umumnya adalah kerja-kerja yang sukses (yutimmu natajuhu) diawali dengan pekerjaan yang mandiri, sepi, jauh dari popularitas, dilaksanakan dengan tekun, disiplin, dan konsentrasi. Sementara makna khusus kata خمول adalah keikhlasan dalam setiap pekerjaan, tanpa pamrih, sepi dari pandangan khalayak.

KH. Sholeh Darat dalam syarah Al-Hikam menerangkan maksud dari kata "pendam" adalah tanamlah dirimu di dalam tanah kerendahan. Artinya, jangan menampakkan derajat atau kedudukan yang masyhur, bersembunyilah, dan menyepilah tatkala berbuat amal.  Karena apa? Jawabannya ada pada penggal kedua aforisma di atas yaitu, sebab sesuatu yang tidak di tanam, hasilnya tidak sempurna.

KH. Sholeh Darat memberikan perumpamaan yang menarik. Ketika biji tidak ditanam ia akan tumbuh tidak sempurna dan bisa jadi akan dimakan oleh burung. Begitu pula amal, ketika ia tidak "disepikan" akan dimakan burung riya'. Gus Ulil menambahkan, jikalaupun akhirnya seseorang mendapat kemasyhuran ia yang telah melewati kerja sepi akan mendapatkan kesuksesan yang langgeng daripada sesuatu yang didapat secara instan dalam keramaian. Contohnya mudah sekali, coba kita perhatikan orang-orang "pansos", kesuksesannya akan segera redup. Berbeda dengan seniman yang berlatih keras dan disiplin dalam ruang-ruang teater yang hening dengan penuh kekhusyukan.

Apa kaitan "penciptaan dari tanah" dengan pokok diskusi kita kali ini, tentang manusia sebagai jasad? Sebagaimana saya katakan di atas, bahwa jasad adalah karunia, wajib disyukuri, layak diselami kedalamannya untuk tetap subur dan menumbuhkan benih-benih ketaatan. Sangat logis bukan? Tubuh/jasad adalah tanah subur yang jika ditanami benih-benih ilmu akan melahirkan pemahaman, bila ditanami benih keimanan akan melahirkan ketaatan, bila ditanami siraman ruhani ia akan mampu menumbuhkan kebaikan-kebaikan. Lantas bagaimana menjadikan tanah ini menjadi subur, sebagaimana fitrahnya, jauh dari hama? Ingat sabda Rasulullah berikut,

عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِى زَائِدَةَ عَنِ الشَّعْبِىِّ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ وَأَهْوَى بأِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ [[[أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْب]]ُ] ( رَوَاهُ مُتّفَقٌ عَلَيْهِ)

Kita fokuskan pada sabda [ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruhnya, jika jelek maka jeleklah seluruh tubuhnya, ingatlah itu adalah hati].

Hati! Ia core jasad kita yang -agaknya- menghubungkan realitas manusia sebagai jasad dengan kapasitas manusia sebagai ruhani. Maka, sudah selayaknya ia mendapatkan perhatian lebih. Hati dalam konteks ini adalah segumpal daging atau hati dalam makna jasadi.

Bagaimana supaya hati senantiasa dalam kondisi prima (صلح)? Syaikh Abdurrahman Ad-Dusiri menjawab dengan sebuah hadits. Dalam hadits tersebut, Rasulullah bersabda:

وكان صلى الله عليه وسلم يعلِّم أصحابه رضي الله عنهم أن يدعوا بهذا الدعاء: ((اللهم إني أسألك...قلبًا سليمًا، وأسألك لسانًا صادقًا))؛ رواه أحمد[6].

Hati dalam kondisi prima (صلح) berarti hati yang salim, selamat, tenang, damai. Kedamaian ini dapat dicapai dengan berzikir. Kenapa zikir? Kita pasti familiar dengan sabda qur'anik berikut:

الذين آمنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكر الله تطمئن القلوب (الرعد 28).
Menurut tafsir Jalalain, hati yang sejuk, damai, tenteram ialah "hati yang berzikir Allah". Allah bahkan menjanjikan, siapapun yang berzikir ia akan mendapatkan ketenangan hati.

«الذين آمنوا وتطمئن» تسكن «قلوبهم بذكر الله» أي وعده «ألا بذكر الله تطمئن القلوب» أي قلوب المؤمنين.

Zikir dalam pengertiannya yang paling asasi adalah menyebut nama Allah, sebagaimana diterangkan dalam kamus Lisanul 'Arob,

 ذَكَرَ اسْمَهُ : جَرَى على لِسانِهِ/mengalir melalui lisannya

Tanpa jasad kita tak dapat ikhtiyar mencapai pemahaman arti ruh. Mulyakan jasad dengan jalan zikir. Jasad selayaknya kendaraan yang akan mengantarkan jiwa pada pemberhentian selanjutnya. Jasad pula yang sudah dimulyakan Allah berjumpa dengan-Nya dalam mi'raj. Apalah arti pertemuan tanpa jasad? Jangan lagi hinakan jasad. Ia perhiasan paling mahal, sementara ruh ialah pemancar cahayanya. Keduanya sama mulyanya, ruh dari cahaya langit-Nya sementara jasad dari tanah yang menumbuhkan benih ketaatan. Ruh ialah rintikan hujan yang menggugah kesuburan hamparan bumi jasad.

Jangan membenci jasad, ia bahtera karunia Allah. Dia akan menyelamatkan ketika berjalan sesuai petunjuk, dan sebaliknya. Bersyukurlah atas karunia ini, limpahan rahmat, kasih sayang, keberkahan, semuanya tumpah-ruah dalam bahtera jasad. Hiduplah dengan bahagia.

Akhirnya, apa makna manusia sebagai jasad, dari tanah? Supaya benih-benih tajalliyat-Nya tumbuh subur. Dan itu bermakna, Allah tengah menganugerahi Bani Adam dengan kemuliaan bukan menghinakannya. Tentu kita ingat betul ayat ولقد كرمنا بنى ادم, sungguh, Bani Adam telah kami muliakan. (Mfr)

Wallahu a'lam bish shawab

0/Post a Comment/Comments