Pepatah mengatakan bagaikan sapi di tengah harimau. Tapi kayanya berlebihan dan engga nyambung deh. Yawis seterah lah intinya kayak gitu.
Intinya aku satu-satunya anak Pekalongan yang tinggal di kos-kosan anak Lombok, NTB, Nusa Tenggara Barat. Tapi engga masalah, asik saja sih. Kos cowok only ya bukan kos campur apalagi kos LV (apa tuh LV, halah gausah tauk...).
Begini kisahnya. Awal 2018 aku mulai masuk kuliah magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Awal kuliah kaya gitu lah ya masa-masa penyesuaian dengan lingkungan baru. Termasuk di dalamnya kawan-kawan baru. Kebetulan satu kelas cowoknya cuma empat biji sisanya cewek semua. Satu kelas kita ada lima belas anak.
Tentu saja, kawan-kawan baru ini berasal dari daerah yang berbeda-beda. Mulai dari Lombok, Bima, Klaten, Salatiga, Brebes, Gorontalo sampai Kalimantan. Asli Nusantara Bhinneka Tunggal Ika.
Engga kerasa. Ternyata sekarang sudah semester empat. Selama beberapa semester awal sempat tinggal di Pondok, Mesjid, bahkan pernah homeless, sampai akhirnya keseringan cangkrok di kosan anak-anak Lombok.
Asik saja si. Mereka tipe orang yang setia kawan dan penolong. Apalagi kos-kosannya bikin betah. Adem, tenang, sepi, feels like home, nyaman aja stay lama-lama disana. Padahal lokasinya di tengah kota. Persis engga jauh dari jalan utama Laksda Adi Sucipto. Disana ada gang, di seberang perpustakaan UIN kampus pusat.
Mereka baik banget. Sumpah. Ceritinya gini, teman kelasku yang anak Lombok ya cuma satu. Ya mung karena keseringan cangkrok disitu akhirnya kenal semua satu kosan. Sampai temannya temanku yang Lombok itu juga jadi akrab. Masak ya ikut masak, makan ya ikut makan, tidur ya ikut tidur, rokok ya ikut ngerokok (nyari gratisan dab? Engga, kan aku sama-sama beli bahan any*ng!).
Hal paling cemet adalah saat mereka ngobrol pakai bahasa daerah. Uwaseli aku gak paham belllasss. Bahasa daerah mereka logat dan konsonannya agak-agak mirip dengan orang Bali. Saat itulah mending aku masuk ke kamar saja dah. Daripada jadi obat nyamuk.
Tapi lama-kelamaan aku jadi tahu sedikit beberapa kosa kata semisal tirem, aok, side, kembe, yee kembe bae, ya gitu-gitulah. Mereka sangat menghormati meski tidak sedaerah. Bahkan pada beberapa kesempatan obrolan menjadi sangat intim. Nah pada saat seperti ini kita berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Alhamdulillah, terimakasih bahasa Indonesia akhirnya aku merasa tidak menjadi obat nyamuk.
Kebetulan pula ya, "adat" beragama kita enggak terlalu berbeda. Ya bisa dikatakan islam tradisional lah, yang makanannya tahlilan, maulid, sholawat, pengajian, ya meski sikap kritisnya lebih besar pada beberapa kasus. Misalnya saat diskusi di kelas. Mereka tipe fighter sejati. Dibekali Tuhan dengan suara lantang dan keberanian Sasak. Mereka tidak ragu untuk melibas semua argumen bahkan sampai dosen sekalipun. Ajib. Mereka ini engga suka kalau engga berbeda pendapat. Pokoknya harus beda. Engga tau kenapa. Kata temanku,"Untuk melatih mental saat bertemu camer." Asem.
Mencari teman di perantauan bukan perkara mudah. Tidak jarang orang yang diberi kepercayaan justru menghianati. Apalagi menemukan mereka yang bisa kita jadikan saudara. Saya kira sense of rantau bisa mengubah kita menjadi orang yang baik atau justru merubah kita menjadi sosok yang jahat. Tergantung nilai apa yang kita jadikan pegangan. Jangan pernah lupa nasihat orang tua. Orang baik akan dikumpulkan dengan yang baik. Aku ini ya bukan termasuk orang baik, hanya terus berusaha berbuat baik. Mungkin karena doa orang tua pula aku dipertemukan dengan mereka. Saudara-saudaraku dari Lombok.
Suwun.
Post a Comment