
Media sosial adalah panggung bagi siapa saja untuk memainkan peran. Tempat bagi banyak manusia bermain drama. Drama dalam hal ini adalah seni bersandiwara, dalam bahasa yang kasar adalah pura-pura, sebuah tindak tipu-tipu. Karena memang bukan sesuatu yang spontan tanpa kepura-puraan, melainkan dikendalikan oleh "suatu" hal untuk menampilkam kebohongan.
Medsos sebagai panggung sandiwara mempertontonkan dua sisi sekaligus, sisi maya dan sisi fakta empiris. Banyak sandiwara yang dipertontonkan melalui media sosial. Misalnya, sebuah kasus yang menimpa seorang wanita asal Banten (AS). Ia berkenalan dengan seorang pria asal Tulungagung di laman facebook (S) dengan nama samaran Rian.
AS kesengsem melihat ketampanan Rian dari foro profil facebook. Setelah satu tahun berkomunikasi -yang dilanjutkan- via WhatsApp, mereka berpacaran, singkat cerita Rianpun berjanji untuk menikahi AS. Namun sayang, beda foto profil beda kenyataan, Rian yang setiap hari mengirim foto tampannya kepada AS saat bekerja di sebuah kantor, tak lain adalah sosok pemuda desa yang tak segagah foto profilnya.
Suatu ketika AS menyambangi Rian di Tulungagung. Tiba saatnya AS bertemu Rian, namum saat pertemuan yang diimpikan tiba hati AS sungguh terpukul. Rian ternyata pembohong, topeng sandiwaranya terbongkar. Dengan hati yang hancur berkeping-keping AS ditinggal sendiri di sebuah tempat wisata. Ahirnya drama inipun berahir di kantor Polisi.
Media Sosial
Rilis data APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia) tahun 2017 menunjukkan ada sekitar 143,26 juta penduduk
Indonesia menggunakan internet. Rentang usia mulai dari 13 tahun sampai 54
tahun lebih adalah pengguna aktif. Pemanfaatan internet di Indonesia lebih
difungsikan sebagai gaya hidup, dalam hal ini adalah media sosial dari pada
pemanfaatan edukasi.
Dari data APJII dapat dipahami pemanfaatan bidang
edukasi untuk membaca artikel misalnya, hanya sebesar 53,30%. Sementara
pemanfaatan internet untuk gaya hidup media sosial mencapai angka 87,13 %.
Pemanfaatan internet sebagai gaya hidup ini menduduki puncak tertinggi dari
pada bidang lainnya, seperti sosial politik hanya 50,26%, kesehatan hanya
50,06%, layanan publik hanya 16,17%, dan ekonomi hanya 45,14%.
Dalam hal ini Facebook merupakan platform dengan
jumlah pengguna terbesar (14%) dibandingkan dengan media sosial lainnya, angka
ini setara dengan 79 juta pengguna aktif. Jumlah tersebut termasuk anak-anak
remaja berusia 13-19 tahun dengan jumlah total sebanyak 26 juta pengguna,
sementara rentang usia 20-29 tahun mendominasi dengan jumlah total pengguna
sebanyak 35 juta jiwa, begitu pun usia 30-39 tahun dengan total 12 juta
pengguna. Sebagaimana dilansir Kompas usia produktif tersebut menghabiskan
rata-rata waktu 12 menit lebih setiap kali mengakses facebook.
Dramaturgi Goffman
Hidup adalah panggung sandiwara. Anekdot ini
dibenarkan oleh teori Dramaturgi Goffman. Teori ini menjelaskan bahwa di dalam
kegiatan interaksinya, manusia tengah mempertunjukkan sebuah drama. Erving
Goffman sebagai penggagas teori ini membagi mode interaksi menjadi dua hal
yaitu, Front Stage (FS) dan Back Stage (BS). Front stage adalah apa yang
seseorang tunjukkan di dunia interaksi. Sementra back stage adalah sesuatu yang
tak ingin ditampakkan oleh seseorang pada saat berinteraksi.
Front stage mengacu pada lokus interaksi (setting)
dan tindakan interaksi (personal front). Interaksi mengaharapkan sesuatu yang
konsisten, baik ciri husus yang tampak (appearance) maupun gaya tertentu
(manner). Sisi lain dramaturgi adalah back stage, sisi belakang, sesuatu yang
tak ingin ditampakkan oleh seseorang dalam berinteraksi. Dramaturgi berakar
dari perilaku yang senantiasa tertuntut oleh audien, sehingga setiap individu
berusaha bersikap (FS) sesuai standar penerimaan suatu interaksi (setting).
Medsos Medan Bermain Drama
Selain kasus di atas, ahir-ahir ini banyak 'aktor
medsos' yang terbongkar negatifitas sisi belakangnya (BS). Hal ini menunjukkan
inkonsistensi dan tentu saja pembodohan publik. Sebagai medan interaksi maya,
medsos dimanfaatkan oleh banyak aktor. Global Web Index USA menyebut empat mode
kerja pengguna medsos yaitu, penonton (watchers), pembagi informasi (sharers),
komentator (commenters), dan produsen (producers).
Peran penonton tidak dapat banyak dilacak dengan
dramaturgi Goffman. Sebab mereka hanya memanfaatkan informasi dari medsos untuk
menguatkan dirinya tanpa menyebarkan info tersebut. Pembagi informasi adalah
pengunggah dan subjek penyebar informasi yang berharap membantu banyak orang
dengan info tersebut seraya berusaha menunjukkan kapasitas pengetahuannya.
Komentator banyak berperan sebagai pemberi evaluasi atas sebuah informasi.
Terahir, produsen adalah aktor utama, pembuat konten yang berusaha menunjukkan
kapasitas dan identitas seraya berharap pengakuan. Pembagi info, komentator dan
produsen agaknya dapat dikaji melalui Dramaturgi Goffman untuk membongkar
apakah yang ditunjukkan melalui medsos (FS) sejalan dengan kenyataan dalam
realitas fisik (BS) sehingga dapat dipercaya sebagai kebenaran. Oleh karenanya
informasi yang diberikan bukanlah hoax.
Pembagi Informasi
Mereka berusaha menampilkan sisi
"lebihnya" dalam menguasai informasi (FS). Hal ini baik ketika
dibarengi dengan pelurusan informasi jika ada disinformasi. Sementara tampak
lucu jika info palsu "hoax" disebarluaskan dan menimbulkan kericuhan.
Ada kebohongan yang disembunyikan dan hal ini adalah kecerobohan sekaligus
kebodohan (BS). Kasus tujuh kontainer surat suara misalnya, "Sang
Aktor" yang berusaha tampil sebagai penyelamat pemilu (FS), justru
terbukti sebagai pembohong (BS). Sebab disinformasi mengenai tujuh kontainer.
Komentator
Ada sebagian komentator yang "ngotot",
konsisten dengan keterpengaruhannya dengan standar suatu kelompok (appearance).
Dalam hal ini ia bermain peran sebagai diri yang matang (manner) terhadap suatu
informasi (FS), sementara dalam realitas fisik kebohongan infonya tidak dapat
disangkal lagi (BS). Hal ini banyak dijumpai pada masa politik seperti sekarang
ini. Misalnya, pembela kasus salah tasrif seorang "Aktor Medsos".
Komentator berusaha menampilkan tidak ada kesalahan pada Sang Aktor (FS), akan
tetapi kenyataan ilmu pengetahuan tidak dapat dipungkiri bahwa tasrif sang
aktor tidak tepat. Bahwa kebenaran yang disembunyikan ini (BS) adalah situasi
yang menyesuaikan audien suatu kelompok yang
inkonsisten dengan ilmu pengetahuan maka sikap komentator ini tidak
konsisten antara FS dan BS. Jadi, kehadiran komentator di ruang medsos hanyalah
topeng bagi BS yang inkonsisten dengan FS.
Produsen
Merekalah "Aktor Utama" dalam sebuah
dramaturgi medsos. Darinya beragam sandiwara diproduksi, ditonton,
disebarluaskan, dan dipercaya banyak orang. Memang seperti ini agaknya tujuan
produsen berita kebohongan (hoax). Mereka selalu berusaha menampilkan sisi
'Aku' yang sesuai pakem (appearance) kelompok tertentu (FS). Akan tetapi, saat
sisi yang ditampilkan di ruang medsos berbeda dengan realitas kehadiran
(manner), saat itu pula dia tengah bersandiwara. Ia tengah mempertontonkan
sebuah dramaturgi medsos. Sandiwara dalam artinya yang negatif, sebuah
kepura-puraan.
Misalnya, kasus seorang aktivis perempuan yang konon
dihajar masa sampai tak karuan membiru lebam wajahnya adalah seorang produsen
dramaturgi medsos paling nyata. Sementara medsos menjadi setting lokasi paling
sempurna untuk medan drama terbesar abad ini. Tidak berlebihan, sebab banyak
tokoh nasional yang terpengaruh dengan tampilnya aktivis ini sebagai orang yang
teraniaya (FS). Lingkungan audien yang berpatokan sebagai pihak teraniaya
(appearance) menjadi standar norma bagi aktivis ini (manner), sehingga
kenyataan operasi plastik yang dijalaninya (kebenaran empiris) diklaim sebagai
akibat pengeroyokan sebuah kelompok tertentu (BS).
Interaksi yang dibangun aktivis ini berupa sandiwara negatif. Sebuah kebohongan (BS) yang disembunyikan melalui topeng simpati media sosial (FS). Aktivis ini pun kabarnya telah menjalani sidang sebagai aktor yang tak profesional berpura-pura. Ahirnya, hidup memang sebentuk sandiwara semesta -bukan medsos- akan tetapi biarlah Tuhan yang tetap menjadi sutradaranya. (MFR)
Post a Comment