Apakah Sepasang itu?





 


Dab kalian pernah pusing terus mikir ga sih? Soal memaknai apa sebenarnya pasangan itu. Berpijak darinya lantas kalian memiliki semacam pegangan untuk memutuskan bahwa aku memang semestinya berpasangan.

Pertanyaan paling analitis dalam hal ini adalah kenapa kita memutuskan (kepada seseorang) untuk saling mencintai? Di antara banyak pilihan, akhirnya kita sama-sama memutuskan bahwa kita adalah sepasang makhluk yang berpotensi untuk bersama menciptakan kebahagiaan. Pada banyak kesempatan, aku sering mengutarakan bahwa yang terpenting di atas cinta dan kerinduan adalah kebahagiaan. 

Tidak berlebihan, kita hanya bisa menghormati orang yang kita cintai. Saat bersamanya kita hanya perlu memberikan kebahagiaan, sesuatu yang nyata. Sementara cinta dan kerinduan adalah hal absurd maka kebahagiaan adalah hal paling nyata untuk mewakili perasaan cinta dan kerinduan yang tampak melangit itu. Atau dapat kita pahami bahwa puncak dari cinta dan kerinduan adalah rasa kebahagiaan.

Setelah kita saling menambatkan perasaan, pertanyaan kembali muncul, adakah kamu bahagia? Pertanyaan ini tidak butuh jawaban benar-salah, iya-tidak, melainkan sebuah rentetan peristiwa dan usaha. Kebahagiaan bukan perasaan yang muncul tiba-tiba. Ia lahir dari sebuah usaha terus-menerus yang berkesinambungan. Artinya bahwa kebahagiaan itu terus diupayakan. Karena bahagia terletak di dalam perasaan maka kadang kala ia berkurang atau bahkan hilang. Saat itulah terkadang hal ini membuat kita lemah. 

Poin pentingya adalah -saat kondisi itu tiba- jangan putus asa untuk kebahagiaan, belajarlah istirahat bukan menyerah. Bahwa kebahagiaan adalah konsep subjektif yang tentu berbeda bagi setiap orang. Tidak semua wanita akan bahagia diberi rayuan seribu satu baris puisi. Meskipun bagi beberapa wanita lain hal itu adalah nyanyian surga yang turun ke bumi. Teruslah berusaha bahagia bersama orang yang telah kau putuskan untuk hidup bersamanya dan tularkanlah kebahagiaan itu kepada orang lain.

Masalahnya adalah manusia pada dasarnya tidak akan pernah merasa puas dengan pasangannya. Pada banyak kasus seringkali seseorang memaksa pasangannya agar sesuai dengan "standar" kebahagiannya. Renungkan. Beginikah "kebahagiaan" yang hendak kita bangun? Kebahagiaan rapuh yang berdiri di atas egoisme dan penindasan terhadap penghormarmatan kepada pasangan? 

Masing-masing perlu menghormati, menjadi kekasih yang terbaik bagi pasangannya. Namun "kekasih sejati" itu sendiri bukanlah konsep yang tak berpotensi dan bebas nilai. Ia adalah konsep potensial yang menggerakkan setiap pasangan untuk menghormati dan memberikan hak pasangannya daripada menuntut pelayanan atas haknya. Ia adalah konsep tak bebas nilai yang hidup dalam sebuah konteks budaya, pikiran, etika, dan watak seseorang. Ia adalah benih yang mestinya berbuah kebahagiaan.

Dalam hal ini, konsep "ketersalingan" kira-kira dapat disamakan dengan tanah yang menjadi latar kehidupan bagi wujudnya entitas kekasih sejati. Ketersalingan ini tidak berhenti pada pasangan, namun juga harus diperluas. Bahwa sepasang kekasih ini dapat memberikan makna kehadirannya di dunia untuk sesamanya. Hal demikian dapat terwujud apabila masing-masing pasangan mengijinkan pasangannya memaksimalkan potensi kemanusiaannya, alih-alih diikat dengan seperangkat aturan tak masuk akal. Kita harus menyadari bahwa kita hidup di era manusia harus mengulurkan bantuannya guna menyelamatkan sesamanya. Hal ini akan berdampak bagi generasi selanjutnya, tentang "nilai-nilai terbarukan" yang kita sepakati sebagai etika hidup bersama.

"Nilai" ini menjadi perdebatan sejak dahulu, tentang relasi antara pria dan wanita. Tentang apa yang disebut sebagai patriarkisme dan matriarkisme. Perdebatan panjang itu menyisakan catatan beberapa pria yang menindas pasangannya, di sisi lain banyak wanita yang menyuarakan kemerdekaannya. Agaknya dalam rangka mendamaikan kedua kutub ekstrem ini kita patut melihat adanya titik netral di antara keduanya, yang kita sebut sebagai "penghormatan". Maksudnya masing-masing pihak memberikan penghormatan yang selayaknga bagi pihak yang lain atas dasar kemanusiaan. 

Tentu kacamata kemanusiaan adalah yang paling masuk akal, sebab ketika menggunakan kacamata tradisi dan kebudayaan, kita hanya akan menghasilkan silang pendapat yang tak berujung. Nilai itu ialah universalitas pasangan sebagai manusia yang memiliki kesamaan sekaligus kekhasan masing-masing yang tak dapat dipaksakan.

Kita tidak sesumbar dan berkata bahwa kita akan hidup bahagia selamanya. Akan tetapi, paling tidak kita dapat mengatakan dengan penuh percaya diri dan penuh harapan kepada Tuhan bahwa, sebagaimana kita telah memutuskan untuk saling mencintai, kita sepakat untuk saling menghormati kebahagiaan yang kita miliki dan melipatkannya menjadi tiga: kebahagiaanku, kebahagiaanmu dan kebahagiaan kita.

Lantas, seperti apakah rancang-bangun "tentang yang sepasang" itu diwujudkan? Setiap generasi akan memiliki cara berpikir yang berbeda. Generasi saat ini -paling tidak- dibesarkan dalam ruang berpikir terbuka. Media massa dan media sosial adalah kelas diskusi terbuka. Mereka dipenuhi mimpi dan tanggungjawab sebagaimana generasi sebelumnya dibesarkan. Kira-kira jika dikonseptualisasikan kerangka itu berbentuk timbangan, satu sisi diisi tanggungjawab keluarga sementara yang lain dipenuhi visi (mimpi) pribadi. Tiang penyangganya adalah perjuangan dan penyeimbangnya adalah kebahagiaan. Timbangan mewakili kebijaksanaan yang didasarkan pada moralitas "Ajaran Agung" tertentu.

0/Post a Comment/Comments