Amerika.

 

Piye ya, US ini kok hobi sekali bermain-main dengan kedaulatan sebuah negara maupun simbol-simbolnya. Mulai dari penggulingan presiden, merampas minyak, kejahatan perang, kelicikan intelijen sampai yang terbaru, pembunuhan jenderal tertinggi Iran.


Amerika, maupun Barat agaknya selalu memandang timur tengah dengan tafsirnya, memaksakan kehendaknya, dan menciptakan dunia timur sesuai kepentingannya. Barat memandang timur bak kanvas yang bisa dilukis sesuka hati. Terkadang ia menggambarkan keindahan, pada waktu yang lain ia menggambarkan pedihnya peperangan.


Barat mempelajari Timur untuk ditaklukan. Orientasi ini sering dikenal dengan studi orientalisme. Khusus soal ini, Edward W. Said sudah menelanjangi Barat dalam buku Orientalisme. Bagi Said, Barat memandang Timur sebagai negeri penuh keindahan dan kekayaan "yang wajib bagi Barat" untuk menikmati keindahan dan kekayaannya itu. Wujudnya adalah negeri Barat, diaktori oleh US menciptakan kekuatan proksi maupun hegemoni langsung untuk kepentingan itu.


Serangan WTC pada tahun 2001 seolah menjadi legitimasi US untuk secara terang-terangan mengirim militernya ke negeri timur tengah. Ketegangan semakin tinggi sejak munculnya ISI di Irak yang bertransformasi menjadi ISIS di Irak dan Suriah. ISIS bercita-cita menciptakan tatanan dunia baru di seluruh negeri timur maupun asia (bahkan dunia). Artinya US dan sekutunya (melalui proksi ISIS) hendak menguasai timur secara keseluruhan. Irak dan Suriah porak-poranda hingga muncul seorang jenderal Iran. Sang Jenderal menghancurkan kekuatan ISIS di Irak dan Suriah. Tidak cukup disitu pengaruh jenderal ini kabarnya melampaui Irak, Suriah dan Lebanon dengan bantuan Rusia. Operasi darat dan udara terbukti berhasil melumpuhkan kekuatan ISIS. Pada akhir kisah, Sang Jenderal ditumbangkan oleh US secara bengis dengan serangan drone di Irak.


Kematian Sang Jenderal memantik ketegangan baru. Iran dipaksa US masuk ke dalam ring pertarungan secara langsung. Selang beberapa hari, Iran membalas serangan US dengan menghujani pangkalan militer US di Irak. Trump, teroris sesungguhnya berjanji akan membalas serangan Iran. Irak sebagai medan pertempuran tentu tidak akan tinggal diam. Banyak kepentingan yang akan terus ditawarkan oleh masing-masing pihak kepada sekutunya.


Umat islam secara langsung, cepat atau lambat pasti akan dipaksa oleh kekuatan proksi dengan memainkan sentimen umat untuk menekan pihak musuh. Barat yang sejak awal memandang Timur sesuka hati akan mengeluarkan isu sentimen usang sunni vs syiah. Sebagaimana telah kita ketahui, media Barat mulai menebarkan isu ini. US menggambarkan Sang Jenderal adalah teroris (sebagaimana US juga adalah teroris) yang memperkeruh suasana sunni vs syiah di Irak. Asal kita tahu, sunni, syiah di Irak, bahkan kaum kritiani bersama pemerintah bersatu melawan ISIS (sebagai mungsuh bangsa) namun berita ini dikaburkan oleh media proksi US.


Indonesia adalah negeri Timur lain yang tentu akan menjadi pasar sentimen ini. Jika tidak meleset, isu sunni-syiah akan kembali didengungkan di medsos-medsos kita untuk menggiring opini sekaligus legitimasi US melawan Iran. Harus kita tahu, pada 9 November 2004 (27 Ramadhan 1425 H ) diinisiasi oleh Raja Abdullah II bin Al-Hussein dari Yordania tidak kurang dari 200 ulama dari lebih 50 negera berkumpul di Amman untuk membahas sikap umat islam dalam menghadapi tatanan dunia baru. Hasilnya adalah deklarasi Amman dengan fokus pada isu-isu soal definisi siapa seorang Muslim?, pengucilan dari Islam ( takfir ), dan prinsip-prinsip terkait menyampaikan pendapat keagamaan (fatwa).


The Amman Message ini penting untuk kita ikuti. Disitu dijelaskan siapa saja muslim dan larangan takfir (mebgkafirkan) sesama muslim. Kabarnya tokoh yang hadir termasuk Syekh Tantawi dari Grand Syaikh al-Azhar mewakili Mesir, dari Indonesia delegasi dipimpim oleh Alwi Syihab.


Pertama, pengakuan delapan mazhab syariah/ fiqh dan berbagai mazhab teologi Islam yaitu,

Sunni Hanafi, Sunni Maliki, Sunni Syafi'i, Sunni Hanbali, Shia Jaʿfari, Shia Zaydi, Ẓāhirī, Ibadi. Melarang menyatakan seseorang murtad selama menjadi pengikut: kredo Ashʿari / Maturidi, Tasawwuf asli (tasawuf), dan pemikiran Salaf sejati.


Kedua, larangan menyatakan tidak percaya (takfir) atas (atau mengucilkan) orang lain yang diakui sebagai Muslim.


Ketiga, ketentuan yang ditempatkan sebagai prasyarat untuk penerbitan fatwa agama, dimaksudkan untuk mencegah peredaran fatwa ilegal.


Raja Abdullah menyatakan: "Kami merasa bahwa pesan toleransi Islam menjadi sasaran serangan sengit dan tidak adil dari beberapa di Barat yang tidak memahami esensi Islam, dan yang lain yang mengaku sebagai esensi Islam. terkait dengan Islam dan bersembunyi di balik Islam untuk melakukan perbuatan yang tidak bertanggung jawab.


Pesan Raja Abdullah dan para ulama yang hadir perlu kita pegang sebagai ijtima' ulama yang mewakili umat islam. Pesan ini menjadi relevan dengan kondisi umat islam dalam menyikapi situasi politik regional maupun internasional. Sebab, Amman Message merupakan konsensus ulama Islam dalam konteks internasional. Sehingga, Amman Message relevan menjadi pegangan seluruh umat islam dalam menghadapi isu global maupun regional.


Perbedaan mazhab dan kepercayaan (sebagaimana poin satu dalam Amman Message) hendaknya dipahami dalam konteks furu'iyyah dalam beragama. Bukan legitimasi pengkafiran umat Islam. Dalam kerangka inilah tiga poin di atas memainka peran yang krusial. Sebab, isu takfiri tumbuh subur dan ditarik secara paksa ke dalam pusaran politik. Di Indonesia isu takfiri terbukti memainkan peranannya dalam pilkada DKI, diakui maupun tidak. (Mfr)


Kembali ke isu sunni vs syiah yang digemakan oleh proksi Barat, hendaknya umat islam berpegang pada konsensus ulama di atas. Kaum muslim hendaknya taat pada para ulamanya demi menjaga perdamaian dunia, kenyamanan beribadah dan menjalankan perintah Allah. (Mfr)

0/Post a Comment/Comments