Akademia Runtuh Lagi

 


Akademia Runtuh Lagi

529 M, Akademia Plato ditutup. Saat itu otoritas agama (dalam hal ini adalah gereja) menolak ajaran filsafat Yunani dan mulai memonopoli pendidikan, perenungan dan meditasi. Sebuah babak baru bagi kreatifitas, sikap kritis, spekulatif, dan kebebasan dalam mengekspresikan ilmu pengetahuan. Sebab hanya ada satu kebenaran saat itu, yaitu kebenaran otoritas. Meskipun pada kenyataannya masa Yunani Kuno banyak orang yang memanfaatkan waktu luang dengan mendatangi guru untuk belajar atau memecahkan suatu persoalan (ilmu), sehingga tidak menutup kemungkinan Akademia Plato menjadi semacam pesantren tempat orang-orang Athena mengadukan banyak hal baik persoalan menyangkut keilmuan maupun personal. Begitulah cara orang-orang kuno memanfaatkan waktu luangnya. Tradisi ini disebut sebagai skhole, scola, scolae, schola dalam bahasa Latin, hingga kini bertransformasi menjadi sebentuk kebudayaan yang mewujud sebagai sistem yang diatur sedemikian rupa bahkan oleh negara.

Poin penting tradisi sekolah adalah adanya hubungan guru-murid dalam sistem belajar dan pemerolehan ilmu dengan tatap muka. Murid dengan sengaja mengunjungi guru untuk mengkaji ilmu. Sementara itu, ilmu secara informatif datang menuju murid. Seiring berkembangnya nalar dan pengetahuan si murid, ilmu yang semula informatif berubah sifatnya menjadi transformatif. Tradisi mengaji yang demikian terjadi hampir di seluruh peradaban besar dunia. Di China misalnya, tradisi ini sudah berjalan 2000 tahun sebelum masa Yesus, di susul kebudayaan Yunani Kuno, kebudayaan India, Jazirah Arab, bahkan Nusantara yang menuruni tradisi India ini. Sepertinya sudah menjadi watak menuntut ilmu dengan mendatangi guru.

Pada saat sifat ilmu telah menjadi transformatif inilah seorang murid membutuhkan bimbingan guru secara intens. Dalam tradisi Sufi, tradisi ini bahkan sangat ketat. Hubungan guru-murid dalam tradisi sufi bersifat final, bahkan ketika murid menyalahi tuntunan guru, ia telah melepas ikatan hubungan guru-murid. Hal ini sebagaimana dengan indah dialami oleh Nabi Khidir dan Nabi Musa, dengan ungkapan Nabi Khidir,"Hadza Firoq baini wa bainak." Bimbingan dalam konteks ini sangat penting agar murid benar-benar menggapai apa yang diinginkan oleh gurunya. Sebab guru dalam posisi ini telah menguasai ilmu yang diinginkan oleh murid.

Begitu pula dalam tradisi "sekolah", murid selalu butuh bimbingan guru, seorang ahli yang menguasai bidangnya. Begitulah tradisi agung sekolah selama berabad-abad berjalan, selalu diisi hubungan mesra guru-murid. Meski pada titik tertentu dan bidang ilmu tertentu sikap "kritis" kepada guru banyak terjadi di ranah akademik, sebab disitulah kebaruan pengetahuan dimungkinkan terjadi. Secara sesumbar Elliot Eisner -tradisi kritis- mengemukakan bahwa pengetahuan tidak berumur panjang, karenanya sia-sia mencari kepastian melalui sains. Namun tidak melakukan apa-apa juga sebentuk kesombongan lain yang patut dicurigai.

Nilai penting tatap muka dapat dijelaskan melalui nalar Aristotelian. Aristoteles menyebut bahwa substansi selalu mendorong bentuk potensial supaya menjadi bentuk aktual. Kita coba tarik nalar ini ke dalam wacana pengetahuan sehingga proses produksi pengetahuan dapat kita asumsikan selalu konstruktif, selalu ada kebaruan, sebuah penghancuran sekaligus pembentukan kembali. Disinilah pentingnya tradisi tatap muka (guru-murid) dalam belajar: sebuah proses aktual untuk memantik pengetahuan potensial dalam diri murid sehingga menjadi pengetahuan aktual. Disini pula kiranya peran penting guru yang membimbing dapat dipahami.

Sementara itu, sebentuk keluguan ilmu pengetahuan tengah terpampang di hadapan kita. Bagaimana era medsos telah menghipnotis sementara manusia dengan waktu luangnya untuk mencari ilmu dengan mendatangi guru. Di medsos kita menyaksikan -bahkan terkadang melakukan- bagaimana waktu luang habis untuk menyaksikan adu ketik cepat di kolom komentar. Ilmu diraih bukan lagi dalam kerangka aktif-konstruktif bahkan pasif-informatif dengan sedikit adu mulut disana-sini.

Tren belajar dengan medsos menjamur, hadir pula ustad dengan kadar keilmuan tertentu yang membius. Sementara para guru ahli tetap istikamah duduk di balik damparnya mengajarkan ilmu di hadapan para santri. Sifat membimbing dari guru tidak akan pernah ditemukan di medsos. Untuk kedua kalinya, betapa Akademia telah runtuh. Ilmu pengetahuan yang selalu butuh alasan kehadiran dipaksa menyesuaikan diri dengan watak medsos. Tentu saja akan sangat langka kita temukan di medsos bentuk sekolah sebenarnya daripada sekolah sebagai makna asalnya, waktu luang. Ya, sepertinya disanalah orang-orang kini menghabiskan waktu luangnya.

Akademia hancur untuk kedua kalinya!

MFR
#medsos2

0/Post a Comment/Comments