Ruhmu bercampur dengan ruhku bagaikan air bening bercampur dengan anggur. ~Al-Hallaj~
Cangkrok lagi, ngopi lagi, Basabasi lagi. Malam ini spesial sekali, Basabasi menggelar ngaji. Saatnya siapkan pikiran dan hati. Mendengarkan Gus Ulil dan Buya Husein ngaji. Mengkaji ajaran para sufi. Iyak prosa sekali tulisan ini.
Oke, udah-udah...
Saya ingin memulai tulisan ini dengan bertawasul dengan Kanjeng Nabi Muhammad Penghulu para Sufi, pada para wali, para ulama, dan santri. Alfaatikhah...
Ada ma'lumat menarik soal ajaran para sufi yang dapat saya simpulkan. Pertama, ajaran sufi berdimensi ilahiyyah, soal hubungan hamba dengan khaliq. Kedua, ajaran sufi berdimensi insaniyyah, kemanusiaan. Jika diringkas ajaran sufi ini terangkum dalam diktum rahmatan lil 'alamin.
Rahmatan lil 'alamin sebagaimana disampaikan Buya Husein memiliki tiga makna. Pertama, ajaran tentang cinta, al-Hubb yaitu soal sensitifitas kepada orang lain, kau adalah aku yang lain: kau adalah aku. Kedua, Al-Luthfu, kelembutan. Dan terakhir, Al-Maghfiroh, memaafkan. Ada cerita menarik yang mencerminkan ketiga hal ini yaitu ketika terjadi peristiwa fatkhu makkah.
Saat itu Nabi Muhammad bertanya kepada penduduk Makkah,"Menurutmu kami akan melakukan apa kepada anda? Orang-orang Makkah mengira Nabi akan melakukan pembalasan atas embargo yang dilakukan oleh mereka. Tetapi apa yang terjadi? Nabi menyeru," Hari ini tidak ada balas dendam. Kalian bebas mau kemana saja." Al-yaum yaumul marhamah wa la yaumul malkhamah. Begitu kira-kira kata Nabi. Hari itu tidak ada dominasi dan mengalahkan yang lain. Begitulah akhlak sufi.
Ajaran seperti itu masih relevan dengan kondisi sosial kita saat ini. Hari-hari belakangan seolah-olah kita berada dalam yaumul malkhamah. Hari saling berbalas dendam. Akhlaq Nabi dalam peristiwa fatkhu makkah semestinya menjadi pelajaran bahwa tidak ada balas dendam, justru yang tersisa disana adalah kasih sayang. Nabi pun telah mengabadikan hari itu sebagai hari kasih-sayang, al-yaum al-markhamah.
Kita umat Islam, semestinya menghadirkan hari-hari penuh kasih-sayang kepada sesama manusia maupun hewan, tumbuhan dan alam. Tugas mulia umat Islam sebagai pelopor kasih-sayang perlu didahulukan dalam kehidupan sehari-hari. Menarik untuk diingat dalam Piagam Madinah disebutkan bahwa Nabi meyediakan perlindungan kepada seluruh penduduk Madinah. Baik mereka yang muslim maupun non muslim. Nabi menjamin keamanan mereka. Seluruhnya!
Selain soal rahmatan lil 'alamin, Buya Husein menyinggung kaitan erat ajaran sufi dengan arus jender. Untuk hal ini beliau menyebutkan Ibnu 'Arobi. Beliau merupakan salah satu figur Sufi Besar yang menempatkan posisi perempuan dalam kedudukan mulia. Bagi Ibnu 'Arobi perempuan adalah ladang untuk memanen ilham. Sebut saja kitab Futuhat Makkiyah juga Tarjuman Asywaq. Keduanya menempatkan perempuan sebagai "jalan" menuju Allah.
Bagi Ibnu 'Arobi, dalam alam ruh maupun dalam alam tubuh, keduanya satu dalam kesatuan eksistensi, begitulah manusia. Ibnu 'Arobi menganggap keduanya memiliki posisi yang sama sebagai manusia. Perempuan maupun laki-laki adalah manusia, keduanya dibekali intelektualitas dan spiritualitas. Karena itu pula perempuan memiliki hak-hak yang sama dalam meraih fasilitas-fasilitas kehidupan. Begitu agung sosok perempuan dalam Ibnu 'Arobi, dikisahkan bahwa tiga guru yang menuntunnya dalam menapaki jalan tasawuf adalah perempuan.
Suatu ketika Ibnu 'Arobi melontarkan pertanyaan menarik,"Bagaimana bisa dua tubuh yang bersaing (laki-laki dan perempuan) bisa menyatu, siapakah yang menyatukan?" Coba kita renungkan, bahkan melalui sosok laki-laki dan perempuan yang memiliki spesifikasi berbeda Ibnu 'Arobi berusaha menuju Allah, Dzat yang telah menyatukan keduanya. Dengan penyatuan ini muncullah sakinah, ketenangan. Ingatlah ayat wajib dalam setiap pernikahan yang satu ini: Wa min ayatihi ila akhirihi...
Oke, part ini kucukupkan sekian saja. Pada part kedua kita akan cangkrok lagi mengkaji pengajian Gus Ulil soal pentingnya ajaran sufi di era modern, abad 21 ini. Tunggulah!
Post a Comment