Romancuk #2



Kemarin udara tidak sedingin petang ini. Saat ini tidak ada yang lebih membara kecuali rasa rindu. Rahwana membayangi wajah kekasihnya yang telah lalu. Wajahnya menerawang kedalam relung hatinya yang tengah kesepian. Sesepi ruang hampa.






Petang sudah datang, namun hangat mentari pagi belumlah sempurna hilang. Maksudku wajah sang kekasih yang baru saja tadi pagi kudengar tawanya, namun kini berlalu. Aku tahu perasaan Rahwana. Bagaimanapun juga, seperkasa apapun juga, hati adalah sebongkah rasa yang bisa lunak. Perasaan sepi seperti ini pernah membawa kematian seorang pencinta. Persis diatas altar candi yang dibangun oleh Rakai Pikatan buat memuja Dewa Siwa.







Tepat saat adzan maghrib belum bersautan di tanah Mataram Rahwana terlihat murung. Mungkin bisa saja Rahwana merayu Siwa agar diberi kekasih yang baik hati, yang mencintai aku apa adanya. Tapi rasanya kok tidak etis jika masalah cinta tidak dibuat senatural mungkin aku suka. Berdoa memang utama, merayu Tuhan itu keindahan, tapi membuat cinta menjadi monopoli itu yang tak logis.

Kata Rahwana

Aku sangar merindukanmu kekasihku. Kau meminta Arjuna namun aku hanyalah diriku. Aku menyesal tidak pernah punya kesempatan untuk menjadi Arjuna. Namun jika pekerti luhur yang kau dambakan bukankah kau sudah melihat aku berjuang?!








Yang kedua, bukankah aku telah jatuh cinta lagi pada Rara Jonggrangisme menggantikan Sintaisme. Aku hanya butuh beberapa hari saja untuk mencintaimu meski sudah lima bulan aku berkabung ditinggal engkau. Aku terkagum padamu Jonggrang. Meski hanya terjadi dalam alam hayal aku tidak mau memonopoli cintaku bahwa kita hidup bahagia. Enggak. Aku hanya merasa Tuhan tengah membuat semua ini terasa lebih sulit. Padahal kurasa kita sudah lekat tak terpisahkan.





Sore itu tepat diatas jembatan kali Opak, dari arah Jejeran Imogiri Timur menuju ke arah Gunung Kidul kau bilang padaku bahwa entah mengapa tiba-tiba makjleb sebegitusaja terjadi cinta dalam hatimu moksa. Ini sangat janggal. Aku mencoba merekonstruksi apa sebabnya. Namun dipenghujung semua diagnosaku selalu hadir Tuhan yang ikut campur dalam urusan hati kita. Aku rasa Dia tidak adil, mengglambil cinta darimu untukku. 

Aku gagal. Lagi. Padahal Jonggrang sudah sebegitu dekat, lekat sekali aku dengan takdirmu. Namun apalah daya. Kun Tuhan itu lebih Kaain. Bagaimanapun saat ini aku merindu padamu Jonggrang, sangat sekali. Sampai-sampai aku menuliskan kisahku ini pada sebuah blog yang entah mengapa nama pengarangnya adalah sebuah tanda keindahan. 





Kau tahu, Jonggrang saat ini tengah hujan. Dingin sekali, aku sangat kehilanganmu. Aku hanya bisa memperbaiki diri menjadi Rahwana yang sejati manusia dengan pekerti luhur, paham soal wanita dan tata krama pergaulan. Harusnya dulu aku tidak membenci Arjuna betapapun dia telah berbuat aniaya pada rakyatku. Tidak Jonggrang, aku hanya melindungi kerajaanku, tumpah darahku. Aku benar dalam cintaku padamu. Dalam rayuku pada Tuhan yang telah mengambil cintamu padaku aku selalu mencoba mengirim utusan-utusanku untuk berdiplomasi pada Tuhan.

Aku masih terlalu ingat dengan pematang sawah pada sebuah desa di pedalaman Pekalongan. Pada malam yang semilir angin dihiasi gemintang malam dan suara angin malam. Aku tak pernah lupa, bahwa gunung-gunung dan pantai telah mempertemukan kita. Setiap penjuru mata angin menyatukan hasrat kita. 





Aku yakin Jonggrang ada waktu terbaik buat kita bertamu. Seperti doa-doaku, agar Tuhan meridhai. Aku tak pernah selemah ini. Bahkan sebelum pasukan kera menyerbu Alengka. Disana ada taman Asoka dimana kerinduanku padamu adalah rasul-rasul yang dengan sepenuh hati bermunajat pada Tuhan. Tuhan yang membuat semua ini terasa menjadi lebih sulit merubahnya tampak lebih indah.

0/Post a Comment/Comments