![]() |
Pekalongan 2999 Masehi |
Pekalongan, Kamis sore 25 Juni tahun 2999. Saat semuanya membusuk.
Petir menggelegar-teriak di tepi sungai yang berlimbah batik. Sungai-sungai menjadi kelabu, merah pekat dan hitam kelam. Bau busuk menerabas bulu-bulu hidung Prof. Tian. Wajahnya mengernyit penuh anyir membaui busuk limbah batik. Tubuhnya dibalut jas hujan berwarna hijau tua.
Hujan belum mereda, malah mengguyur tambah menderas, Prof. Tian berjalan pelan membelakangi sungai dan kembali ke bilik Laboratoriumnya yang terletak sepuluh meter dari tepi sungai. Berbentuk persegi panjang, 15x7 meter didalamnya terdapat peralatan kimia dari pipet sampai ke cairan-cairan kimia. Pintunya terbuat dari besi berukuran dua kali tiga meter bergembok baja berukuran sekepal jantung orang dewasa.
“Ah, malam ini harus sempurnakan reaksi Fisiku,” hatinya bergumam sambil berjalan ke bilik kerja. Kepalanya mengernyit, memikirkan rencana yang semalam telah mantap dikonsepnya sendiri. Coret-coretan di papan tulis dengan spidol biru merangkai alur reaksi inti yang sudah dibuat Prof. Tian. Dan setelah berkali-kali membaca rumusan di papan itu ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nanti malam akan ku ledakkan kau anak kejeniusanku,” hatinya mantap dengan rencana itu.
***
“Maafkan aku istriku. Tujuh puluh tahun pengabdianku akan kuakhiri dengan mempermalukan harkatku sendiri,” ratapnya pada lukisan sang istri yang menggantung bisu.
Setelah hujan mengguyur hampir seluruh kota pekalongan selama tiga jam, kini mereda menyisakkan cembung-cembung air di jalanan kota. Puluhan gelandangan kedinginan meratapi asa yang telah direnggut nasib. Sungai menderas dan meluap hampir melewati batas normal ketinggian air sungai.
“Aku ragu. Tidak aku harus melakukannya,” Hati Prof. Tian menggundah, degup dadanya berasa semakin ke\ras. Sejurus kemudian ia pandangkan mata pada lukisan yang menggantung di ujung selatan labnya, hatinya bergumam,”kau cantik sekali istriku.” Sesekali ia menunuduk mengingat kenangan tahun yang telah silam saat Nyonya Danti setia menemani pergulatan ilmiahnya mengenai reaksi-reaksi inti kimiawi. Tangannya dingin bergetar sambil memegangi sebuah remot pemicu bom. Hatinya semakin berdegup, matanya terpejam, kakinya bergemeratak, hatinya pilu, dan matanya kelu. Kegusaran itu ternyata membawa Prof. Tian pada kantuk dan akhirnya tertidur di kursi tepat didepan lukisan istrinya.
***
“Kring...Kring...Kring...” Jam weker dimeja yang terletak tepat di depan kursi dan dibawah lukisan istrinya berdenting-denting semakin lama meresonansi permukaan meja dan, “Gbrakkk...” terjatuh dari atas meja ke pangkuan Prof.Tian. Ia terbangun, tangannya menggelagahi sakunya mencari remot kontrol tadi. Tidak ada. Ia beranjak dari kursinya, matanya masih sedikit kuyu masih menggelantung sisa-sisa tidur selama tiga jam itu.
“Dimana kau remot?”, gumam mulutnya sambil berjongkok menggagahi kolong meja sesaat sebelum jari-jari tangannya menemukan benda yang dicari-cari itu membisu dibawah kolom meja. Tugas yang diberikan seorang Professor kenamaan ahli Kimia dari kota Pekalongan. Tugas untuk membasmi angkara murka di kota yang dijuliki Kota Batik itu. Dirinya membisu tak mampu menyanggah segala niatan Prof. Tian untuk meledakkan kota yang menjadi saksi sejarah kecemerlangan prestasinya sebagai ilmuan dan guru besar kimia di Universitas Sains Pekalongan.
Remot kontrol itu sebentar lagi akan mengukirkan sejarahnnya, setelah selama lima tahun terakhir Profesor Tian mengalami kegundahan dalam hatinya akan kelakuan masyarakat Pekalongan yang acuh terhadap lingkungan alamnya. Kerusakan sungai dan sistem drainase yang telah merenggut banyak keindahan kota yang dulu asri dan menjadi pusat kesibukan kota di Jaawa Tengah itu.
Profesor Tian mengambil benda berbentuk persegi empat berukuran lima kali tiga cm berwarna hitam dengan sebuah tombol merah ditengahnya. Megusap-usapnya dengan tangan dan ujung baju kerjanya, sesekali mulutnya meniupi permukaan benda yang tidak berdebu itu.
“Tuk...Tuk...Tuk...,” bunyi langkah mantab mengiringi Prof. Tian berjalan menuju bilik kerjanya.
“Krittt...”Keritan pintu yang terbuka akan mengantarkan petaka yang dibuat oleh Prof.Tian terhadap kota yang dicintainya.
Setelah tiba pada instalasi elektronik yang menggambarkan kecerdasan, kekecewaan dan keputus-asaan menjadi satu-kesatuan bom pamungkas, Prof.Tian menancapkan kabel penghubung antara cairan pamungkas dengan intalasi listrik dan remot.
“Tiiit...” derit panjang monitor berukuran 14 inchi menyala dan menggambarkan grafik-grafik reaksi inti atom. Setelah monitor berderik lagi muncullah tulisan “100 %” di layarnya yang menandakan bom itu sudah benar-benar siap untuk diledakkan.
Sejauh ini rencana Prof. Tian berjalan lancar, dimana plutonium-239 mengalami massa subkritis dan dikelilingi oleh bahan peledak kimia agar terbentuk massa superkritis. Selanjutnya, bahan peledak tersebut diledakkan terlebih dahulu. Dengan arah kedakan ke dalam dengan kecepatan sekitar 5000-7000 meter per detik sehingga menekan massa subkritis menjadi superkritis. Semua ketelitian dan akurasinya tepat.
Prof. Tian keluar ruangan untuk mengambil air wudhu demi menenangkan hatinya agar semakin mantap menjalankan rencananya. Saat mengusap wajahnya itulah kejadian yang tidak disangka-sangka dan tidak masuk dalam perhitungan Prof. Tian terjadi.
“Wurrr....,”gemuruh suara alam menggema.
Banjir bandang dari bendungan Kletak membawa air bah besar, karena daerah selatan yang hujan mengguyur deras sejak Isya tadi. Air bah menerjang segala penghalang-merintang yang bersebaran didepannya, rumah, pohon-pohon, jembatan dan tak luput pula laboratorium Prof. Tian.
Tubuh Prof. Tian yang sudah tak lagi kuat mempertahankan dirinya hanyut terbawa arus. Jiwanya telah pasrah, air wudhu yang belum selesai ia selesaikan dalam derasnya air bah. Sejarah guru besar itu selesai, riwayatnya hilang bersama arus bah yang berkecamuk penuh luapan marah pada laku manusia Pekalongan. Tubuhnya hilang kedalam riak-amukan bah yang mengganas. Tubuhnya tak pernah ditemukan.
***
Didalam bilik kerja Prof. Tian, sebongkah kayu yang penahan atap jatuh memecah tabung formula pamungkas yang sudah dikembangkan sang professor sejak lima tahun belakangan. Cairan hijau berhamburan memenuhi ruangan terbawa arus bah.
Pagi hari setelah air surut larutan itu bercampur dengan air sungai. Membentuk sebuah larutan yang benar-benar baru. Larutan itu telah bercampur dengan air diseluruh sungai kota Pekalongan.
Air yang begitu pentingnya dalam kehidupan, malam itu menjadi sangkakala maut mencabuti nyawa-nyawa yang terlelap dalam ketidakpedulian lingkungan. Membuang limbah batik ke sungai-sungai merupakan jawaban menantang akan firman Allah:”Wala tufsidu fil ardhi ba’da ishlakhiha.” Dan alampun mengamuk mencibir laku manusia yang merusak keindahan yang dicintai oleh Tuhan. Bukankah Tuhan itu Indah dan mencintai keindahan.
***
Setelah satu minggu berlalu dan kondisi sungai mulai stabil. Penduduk mulai menggunakan air kembali, untuk minum, memasak, mandi, bersuci, menghilangkan najis, media tranportasi dan sumber keindahan dengan alur-alur sungainya. Namun satu hal yang tidak diketahui penduduk Pekalongan bahwa air yang mereka pakai telah bercampur dan bereaksi membentuk sebuah larutan baru. Larutan yang sejatinya dilahirkan oleh kecerdasan Prof. Tian.
Larutan baru yang terlahir ke dunia itu tidak pernah diciptakan dibelahan dunia manapun. Tidak di Utara maupun Selatan. Bak bayi yang baru dilahirkan dari gua garba ibunya. Pun demikian larutan yang menjadi anak keilmuan Sang Professor telah meresap kesumur-sumur penduduk, disedot dan didistribusikan oleh pipa-pipa perusahaan air minum milik negara kerumah-rumah warga.
***
Bertahun-tahun setelah reaksi larutan dengan air itu masyarakat Pekalongan berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi masyarakat yang tak pernah lagi membuang sampah seenak hati. Memperindah tepian sungai dan jalanan dengan taman-taman bunga dan lampu-lampu hias. Perubahanpun terjadi begitu rupa pada akhlak masyarakat Pekalongan.
Setelah dua puluh tahun, bermunculanlah Universitas-universitas dengan berbagai fokus disiplin ilmu. Pendidikan, arkeolog, sejarah, tata kota, agama, Kimia, fisika dan seluruhnya. Kota Pekalongan menjadi cahaya peradaban dengan berbagai Universitas dan Pendidikan Pesantren yang berjalan berkelindan saling pengaruh-mempengaruhi. Kehidupan berjalan begitu rupa. Sampai suatu saat seorang sarjana muda menemukan sebuah papan berumus reaksi inti kimia yang terkubur bermeter-meter di kedalaman tanah tepi sungai. Dan sejarah Prof. Tian dikaji ulang.
Baitul kilmah, Jogja Pesantren
Kreatif Kang Aguk 23.17 25 Juni 2015.
Kreatif Kang Aguk 23.17 25 Juni 2015.
Kang Santri P.II (M. Fairuz Rosyid)
Post a Comment