Malam Merupakan Singgasana Jabrik Keren

Malam Merupakan Singgasana Jabrik Keren




Oleh Zakir Malik 
Inilah diriku, Jabrik dengan nama asli Sholeh anak kedua dari pasangan Arif Setiawan dengan Fitri Auliyah. Aku dilahirkan di lingkungan muslim yang taat beribadah. Ibuku  seorang hafidhah (orang yang hafal Al-Quran). Subhanallah, aku sungguh bangga mempunyai seorang ibu sepertinya. Cantik juga. Siapa yang tidak bangga punya seorang ibu berparas jelita dengan kelebihannya itu. Tidak lupa, darah bapak yang penuh dengan warna-warni hidup, patut aku banggakan pula. Berjiwa bebas, bersosial tinggi dan dermawan. Beliau merupakan seniman yang siap menyulap sehelai kanvas menjadi mutiara-mutiara indah menyejukkan dan menginpirasi mata siapapun yang memandangnya.
Kini usiaku genap 22 tahun. Umur yang dikatakan telah dewasa, tidak lagi butuh diatur sana-sini. Dan aku menemukan kehidupanku yang bebas. Memiliki cukup uang untuk membeli apapun yang aku inginkan. Tidak ketinggalan cewek-cewek cantik nantinya selalu melekat seperti perangko. Bukannya aku sombong. Tapi cukup atau bahkan lebih dari rata-rata untuk ukuran level perempuan. Sedikit berwajah kearab-araban kalau orang bilang,hahaha.
Empat tahun silam ketika masih bisa dibilang bau kencur, aku sekolah di daerah yang dekat dengan tempat pembuangan limbah. Aroma tak sedap pun menjadi satu seperti bumbu masakan ketika proses belajar di sekolah sedang berlangsung. Belum lagi warna limbah yang selalu berubah-ubah kadang merah, hijau, biru. Terkadang warna air limbah yang mengumpul itu membentuk barisan warna seperti pelangi di daerah tempat aku menuntut ilmu. Maka dari itu, ikan-ikan sulit kita temukan karena tidak bisa bertahan hidup di sungai tersebut.
Pagi yang segar disambut sinar mentari mengintip dengan malu-malu. Dedaunan hijau rimbun yang bergoyang-goyang yang mengiringi menjadikan semangat dalam menjalani aktifitas. Setiap pukul tujuh tepat aku selalu berangkat ke sekolah yang penuh ke-khas-an. Memakai songkok hitam yang dikenakan di kepala dan itu merupakan hal yang wajib. Di sana, madrasah yang penuh dengan kitab kuning sampai mataku melihat barang-barang lain berwarna kuning, haha. Guru-guru kebanyakan merupakan lulusan dari pesantren. Dengan sistem pesantren itu, mau tidak mau tidak harus tawadhu. Tidak ada protes apalagi demo seperti di lembaga umum. Ya begitulah, gedung cowok dan cewek saja dipisah. Terasa menderita sekali. Penderitaan ini semoga tergantikan oleh kebahagiaan kelak.
Tiga tahun menjalani belajar sekolah cukup asyik dan menyenangkan. Kutemukan teman-teman yang saat ini masih bisa berkumpul dan bercanda bersama ketika luang. Ceking, dengan ocehan kayak burung ketika ngomong. Waslo yang selalu terlambat dan banyak kibul, Petruk seorang pemimpin Osis yang sangat berperan penting sekali dan punya pengaruh tinggi dalam event-event sekolah. Yang terakhir Malik, seorang seniman dan musisi berbakat yang sering tak dianggap. Oh lupa, dia paling pendek di antara kami dan kadang-kadang gak dianggap enteng. Penyuka vespa ini punya ciri khas yang tak terlewatkan, ngomong jancok disela-sela bicaranya yang ceplas-ceplos. Itulah teman-temanku. Mereka mempunyai ciri khas yang berbeda-beda. Pergi ngaji bersama, sowan ke  ndalem Kiai, dan acara-acara relegi.




Kini masa putih abu-abu telah pergi begitu saja meninggalkan segudang kenangan indah. Aku lelaki yang mengemban tanggung jawab besar di punggung. Aku telah lulus dan memasuki dunia perkuliahan. Untuk biaya kuliah, aku harus bekerja sendiri, selain aku kirim ke rumah untuk biaya adikku sekolah. Sudah kurasakan pahit getirnya bekerja jadi sales barang, penjaga toko dan pelayan warung makan, hingga pelayan diskotik. Apapun aku kerjakan asal kehidupanku tercukupi.
Untuk jenis pekerjaan terakhir, dunia malam yang menjadi bagian dari kehidupanku.  Gelamor, bermusik, tidak ketinggalan pula minuman, rokok, pil dan barang-barang yang mungkin sudah ada larangannya namun aku tetap menikmati semuanya. Perempuan menjadi perhiasan sehari-hariku serta hiburan di sudut-sudut ruangan. Wah! serasa nikmat hidupku di dunia. Di sanalah tempatku menginjakkan kaki sekarang, melayani tamu-tamu dan ketika tugasku berakhir, kami para pelayan  bernyanyi bersama hingga menjelang subuh.
‘Dug je dag jedug’ tanda suara club malam dimulai. Setiap hari, mulai pukul delapan malam aku harus mempersiapkan diri. Aku pun siap untuk berangkat dengan aksesoris lengkap seperti rantai untuk dompet dan anting. Itulah syarat menjadi pelayan. Namun sementara di rumah, tidak kupakai, takut ditanya macam-macam sama ibu. Tak lupa sebelum berangkat aku berpamitan kepada ibuku tercinta.
’’Ibu, saya pamit dulu ya. Mohon doakan anakmu ini!” pintaku pada ibu.
‘’Iya Nak. Doa ibu selalu menyertaimu.’’ Jawab ibu.
‘’Assalamualaikum, Bu!’’
‘’Waalaikumsalam Nak. Hati-hati, Y!’’ Jawab ibu diiringi senyum manis tersungging di wajahnya yang ayu.
Dalam benakku sampai kapan aku terus begini. Menyembunyikan kotak hitam padanya. Padahal jika ibu mengetahui pekerjaanku sebenarnya, sudah kupastikan beliau marah dan malu karena pekerjaan yang hina dan terkutuk. Tapi apa boleh buat, aku harus mencari uang untuk biayaku sendiri dan adikku. Pilihan kerja yang lain belum tentu bisa memenuhi kebutuhanku.
 Saat melihat ibu aku sadar akan pekerjaanku, dan aku pun memohon ampun atas semua ini dan tetap meyakini suatu saat nanti akan kutemukan pekerjaan yang mulia dan halal. Setelah kuliah selesai aku bertekad memperbaiki semuanya. Saat ini aku hanya mengarungi arus perjalanan hidup ini apa adanya. Aku berlalu, sambil kuelus dahiku dan kukatakan ‘’ya sudahlah’’ kulepaskan resah ini.
Motor Shogun warna merah yang selalu menemaniku setiap saat kemana pun pergi dan tak kenal lelah kukeluarkan dari bagasi. Starter motor mulai kunyalakan. Brmm brmm, bunyi motor itu dan langsung kutancapkan gas. Kunaiki dengan santai sambil menikmati malam itu. Malam yang cerah bersama bulan purnama begitu indah. Kelap kelip bintang pun tak mau kalah bersaing indahnya. Angin pun menghembuskan tiupan lembutnya membuat segar kembali tubuh ini. Sedikit membantuku menghilangkan pikiran negatif yang sempat hinggap di kepala.
Tak terasa, perjalanan sekitar lima belas menit aku sampai di club yang berada tepat di depan terminal kota. Hanya disekat oleh jalan raya dan agak masuk ke dalam. Ku parkir motor, melepas helm dan jaket. Masuk club lalu kuberjalan ke ruang ganti. Kukenakan rantai dompet, anting magnet di kuping, dan tak ketinggalan juga minyak rambut Gatsby agar terlihat macho. Kusisir  rambut berbentuk jabrik. Melihat  ke cermin, hmm, lengkap sudah. Dalam hatiku terbesit ’’ganteng juga diriku kayak artis korea  lee min ho’’. Aku tertawa geli ’’haha, mukaku ganteng tapi nasibku kog gak seganteng mukaku ya!’’
Terdengar suara ‘’brik brik brik’’  dari arah luar ruang ganti. Wah ini pasti Pak Boz.  Aku  segera berjalan keluar dari ruang ganti. Eh, ternyata benar. Pak Boz masih duduk di kursi aula ruangan yang hanya berjarak kira-kira 70 meter. Aku melangkah mendekati Pak Boz.
‘’Permisi Pak Boz, apakah Bapak tadi memanggil saya?’’ Tanyaku pelan.
‘’Iya Brik. Kamu kemana aja kok kagak nongol-nongol?’’ Pak Boz menjawab, alih-alih juga bertanya padaku.
‘’Tadi masih ganti kostum Pak Boz. Biar kerenlah!’’ seruku dengan percaya diri.
‘’Ya udah, bersihkan meja-meja itu sebelum tamu-tamu datang!’’  Perintah Pak Boz sambil tersenyum.
‘’Okke Pak Boz.’’ Jawabku dengan ringan sambal berlalu menuju meja yang akan aku bereskan.
Setelah membersihkan meja-meja di sekitar aula club seperti apa yang diperintah Pak Boz, kulihat jam yang menempel di tangan kiriku. Arah jarum jam menunjukkan angka Sembilan  malam. ’’Wah ini masih lama. Ah aku ke atas dulu, cari tempat longgar mumpung belum ada tamu. Tidur dulu’’.  Itu adalah caraku beristirahat sejenak kalau belum ada tamu karena siang hari kuisi dengan kegiatan di kampus dan mengikuti kuliah di kelas. Biasaya club malam mulai ramai didatangi orang antara jam 11 malam. Ya kesempatan ini kubuat untuk tidur, sekedar menyegarkan tubuh agar tak kelihatan loyo ketika melayani tamu.
Masih terasa beberapa menit mataku terpejam, aku terkejut ketika punggungku ditepuk oleh kawanku.
 ‘’Asu!’’  Terlontar spontan dari mulutku. ‘’Ah kamu ganggu tidurku aja. Enak-enak tidur dibangunin!’’
‘’Kerja, Brik. Tidur aja. Tuh tamu-tamu udah pada rame!’’ Jawab Ivan sambil mendorong kepalaku dengan jarinya.
‘’Masak Van!’’ kulihat jam tanganku, eh ternyata arah jarum jam menunjukkan jam sebelas. Kok tumben. Aku pun menjawab’’ Sorry, Van. Keenakan tidur dengan selimut mimpi yang indah!” jawabku sambil tertawa terbahak-bahak.
‘’Dasar kamu Brik. Ayo turun. Anak-anak sudah kumpul di lantai bawah!’’ ajak Ivan.
‘’Oke Van. Siap dah!’’ jawab Jabrik.
Ivan  merupakan teman yang gokil dengan celotehan-celotehan yang nggak masuk akal.  Akan tetapi dimasuk-masukin aja. Jadi kalau ngomong banyak orang yang nggak paham dan bingung. ’’Ini ngomongin apa sih’’ tanya teman-teman. Tapi mereka sudah memahami  jawaban yang paling dimengerti. Ya jawabannya hanyalah tertawa, semua pertanyaan sesulit apapun kalau jawabannya tertawa maka orang pasti tau.
Ketika melayani tamu, pasti tamu itu memesan segelas atau sebotol minuman dan minta dibukakan. Setelah meminum yang membuatnya hilang kesadaran dan berjalan sempoyongan ia menunggu seseorang. Orang pesanan. Ya semacam prostitusi yang harus memesan lebih awal dan menunggu giliran.
Setelah mendapat giliran, tamu itu keluar kamar dan tidak sadar telah meninggalkan beberapa batang rokok dan uang tip.  Rokok itu pun disambar gembira oleh Ivan. Katanya ‘’mumpung Bray, buat manisan mulut biar nggak asem.’’ Si Bagong nggak kalah keren dengan rambut model emo-nya. Dia memiliki postur tubuh ideal dan tato ditangannya. Satu lagi yang kusuka darinya adalah suara yang mirip Armand Maulana, vokalis band popular, Gigi.
Tiga teman berikutnya yaitu Petruk, Jamamud, dan Lebbe. Mereka selalu bersama berangkat dari kost dan makannya. Eits, tapi jangan berpikir yang tidak-tidak.  Apa dikira kami mandinya juga bersama? Haha, ya tidaklah. Mereka adalah teman-teman kerja. Nggak kalah juga teman perempuan. Kalau orang bilang mereka, teman-teman perempuanku adalah PL. Tau tuh, apa kepanjangannya. Dengan paras aduhai bagi siapa saja mata yang memandangnya. Inilah kehidupan malam yang kujalani, entah kurindukan atau tidak.
Jabrik, Ivan, Bagong, dan teman-teman lain berjalan menuju lantai bawah untuk melayani tamu yang datang. Mereka menyebar. Ada yang melayani tamu om-om, ada yang tante-tante ada juga remaja ABG. Berhubung kemarin hari kamis malam jumat libur maka hari ini sedikit sepi pengunjungnya. Jabrik pun berjalan menuju meja kursi yang berada di pojok sebelah kanan tersenyum seramah mungkin pada tetamunya.
‘’Permisi Mbak. Mau pesan minuman apa?’’ Tanya Jabrik dengan ramah.
‘’Bir  dua ajja, Bro!’’ Jawab seorang Tante yang berdandan begitu seksi. Tapi dia terlihat duduk sendirian
‘’Iya Mbak. Tunggu sebentar ya’’.
Jabrik bergegas mengambil 2 minuman birr yang dipesannya. Harga 1 botol bir di club malam 200 ribu.  Lumayan mahal dan gaji seharga satu bir botol itu cukup untuk makan 4 hari dengan menu makannya sederhana.
‘’Permisi Mbak. ini minumannya?’’ tangan Jabrik menyuguhkan pesananya.
‘’Iya, makasih Bro. Sini duduk temenin Tante!’’ pinta Tante. Jabrik pun tak kuasa  menolak permintaannya karena memang tugasnya melayani pengunjung.
‘’Iya, Tan. Sekalin dibukakan nggak?’’ tanya Jabrik.
‘’Ya, iyalah. Ngomong-ngomong nama kamu siapa?’’ tanya Jabrik.
‘’Jabrik,  Tan!’’ jawab Jabrik.
‘’Oh Jabrik ya, panggilnya jangan tante dong. Diah aja biar akrab gitu!’’ seru Tante.
Mulailah mereka berdua saling mengenal satu sama lain tanpa ada pembatas. Tante pun meminta Jabrik untuk minum satu gelas bir saja. Raut wajahnya muram secara langsung, agak canggung dan akan menolaknya. Tapi melihat sorot mata tante itu, tak ada pilihan lain, ia hanya pasrah dan mau bagaimana lagi, ya sudahlah, demi menyenangkan hati pelanggannya. Kalimat yang selalu diulang oleh Jabrik.
Dia memulai dengan satu tegukan, terasa nikmat seperti minum sprite.  Satu teguk kedua rasa nikmat itu telah berkurang sedikit agak mual kayak mau muntah. Jabrik ingin berhenti minum dan melihat ke wajah tante. Tante memberi isyarat gelengan kepala menandakan tidak boleh berhenti minum. Ia menahan mual yang hebat dan meneguk lagi minumannya yang masih separuh botol. Terus dia meminumnya sampai habis.
Dia merasa perutnya ada ombak besar mengombang-ambingkan perahu di tengah samudra. Diah, tante cantik dengan aduhai parasnya melihat puas keadaan Jabrik seperti itu. Tante pun tertawa terbahak-bahak dan bilang ‘’Bagus’’. Tante memberi uang tip pada Jabrik dan meninggalkan club malam. Sebelum keluar club, Tante mengecup pipi Jabrik yang tengah sempoyongan dan berkata ‘’ini bonus buat kamu, Brik’’.
Jabrik malu-malu mau dan tersenyum dengan menahan perutnya yang terguncang hebat.. Setelah pergi Jabrik pun ikut pergi. Tante berlalu keluar sedangkan Jabrik ke toilet.
Malam yang dibungkus gemerlap kerlap-kerlip lampu disko dengan pelicin yang diteguk melalui mulut ditambah dengan alunan musik membuat hati ikut berdansa. Para pengunjung yang beragam, tentunya Jabrik harus melayani dengan sebaik-baiknya. Ada saatnya dia harus mengantar pl, panggilan wanita malam ke hotel untuk melayani pelanggannya. Terkadang juga dia diajaknya bermain cinta tanpa ada peseran. Itulah kehidupan malam Jabrik, melahap kenikmatan dunia semata. Jabrik melakukan hal tersebut sudah tiga tahun. Berangkat jam delapan pagi dan pulang menjelang subuh.
Kehidupan memang tak berjalan semulus yang kita bayangkan. Jabrik terlahir dari lingkungan pondok pesantren dan keturunan Kyai. Apapun yang berhubungan dengan keluarga tak menjadikannya seperti yang diinginkan orang tua. Faktor yang mendorong diri Jabrik berbuat itu karena bapaknya yang baru pulang dari arab Saudi  sudah tua. Di sana beliau bekerja selama 6 tahun dari awal masuk Madrasah Tsanawiyah sampai akhir masa putih abu-abu. Penyakit yang diderita bapaknya sepulang merantau menambah lengkap derita Jabrik. Jabrik harus bekerja dan melanjutkan pendidikannya juga bertanggung jawab pada adiknya.



0/Post a Comment/Comments