Kang Paijo (Cerpen)


Pada sebuah gubuk pesantren yang sederhana dimakan rayap disana-sini, bercakaplah dua orang santri yang sedari tadi membahas ilmu kesunyian itu.
***
Gemintang lagi ndak mau menampakkan kelipnya. Bulan yang dijadwalkan purnamapun enggan menampakkan sepercik temaramnya. Daun jambu air hanya menggoyang-goyangkan dahan diterpa zikir Tuhannya. Desiran hujanpun membias kecipak yang mulai merembesi atap welit pondok Darul Hasan itu.
“Kapan nikah Kang?”
Iyo, lagi musim akad kiye.”
Lha sampean kapan Kang.”
Nko ndisek ngenteni sampean lop.”
Seperti tahun yang sudah-sudah. Habis hari Raya orang desa punya gawean mantu, sunatan, mantenan, bangun rumah, bahkan sekedar akekah anaknya yang sudah akil-baligh. Pembicaraan Kang O dan Paijo berhenti sampai perkara mentok itu. Seputaran tetangga pondok yang mendadak sering ngundang rebana milik pondok. Kalau sudah seperti itu mendadak kas pondok bertambah seiring menipisnya uang untuk nyumbang. Pak kiaipun jadi sering naik podium keliling RT sekitaran, memngakadkan atau sekedar membacakan doa walimahan. Tak ada yang terlewatkan dari Mbah Hasan kiai pondok yang mulai dimakan lapuk itu.
***
“Bujang ko turunan bae.”
“Gak isin sama jangkrik sampean Kang.” Arman menambahi Paijo.
“BBM, BBM, android anyar.
Dumeh ngunu to Kang O?” Tanya Paijo.
“Calon bojo Jo.”
“Tirunan sampean Kang.”
“Kok?”

“Dumeh konco podo nikah, sampean melu-melu. Melunan!!!.” 

0/Post a Comment/Comments