Perpustakaan.
Waktu masih menyimpan erat rahasianya. Perjalanan hanya sebuah kunci untuk sedikit mengintip apa yang ada dibaliknya. Melihat gerakan-gerakan kuasa Tuhan dalam setiap nafas kehidupan untuk membuka segel rahasia yang erat itu. Semua perjalanan akan berakhir pada satu bagian yang terlihat menjemukan namun penuh dengan kebahagiaan. Pada akhirnya seluruh perjalanan akan sampai pada tujuannya, cita-cita akan menjemput induknya, impian akan berlabuh pada pantainya, angan-angan menjumput kenyataan. Semua ini masih saja tentang cinta, sebuah misteri maha tak terbatas, semuanya kembali pada lima huruf itu, dan semua alasan akan kembali kepadanya pula. Manusia memang sebuah kuasa Tuhan belaka, dirinya hanya seberkas cahaya yang Tuhan wujudkan pada saat penciptaan. Dan akan kembali kepada sumber itu disaat keabadian tiba. Dan kehidupan itulah menyoal cinta. Tentang cinta seorang kepada hidupnya, alamnya, citanya, seluruhnya. Pada akhirnya pula semua akan kembali kepada yang kuasa. Dan Rido telah membuktikannya. Siapa yang mampu melawannya? Tak sedetikpun sebuah proses keluar dari jalur ketetapan yang menggantung dalam angan-angan Tuhan.
Rido kembali ke Tuwarih, kembali melilhat alam yang dipenuhi kehidupan yang hijau pada seluruh penjurunya. Kembali kepada aliran yang masih terus hidup dalam destar-destar kali genteng. Rido kembali kepada kehidupan yang menitipkan cinta dikedalaman hatinya. Kembali kepada awal dimana dia memulai kehidupan. Menemukan segalanya, impian, keluarga, persahabatan, kembali kepada rahim ibu alam raya yang telah menghidupinya. Alampun bahagia menyambut pribuminya, menyayup-sayup lewat anginnya, meriuh-rendah suara kanak yang mencuri-curi perhatian dalam kelas yang tengah diajarkan Rido.
Seluruh usahanya di kota kini diturunkan kepada adik tertuanya. Hidupnya akan kembali kepada cinta dan pasrahkan seluruh jalinan abadinya untuk menggapai bahagia. Dan kini, mata-mata itu memandang lekat bangunan didepan mereka. Penuh kebanggaan. Penuh kisah yang bercerita dalam kehidupan yang penuh hiruk. Bangunan itu berbentuk persegi panjang ukuran lima belas kali delapan meter.
“Dil, sepertinya ada yang kurang dengan pondok kita ini.” Barok memulai diskusi.
“Perpustakaan.” Rido usul.
“Benar. Kita butuh perpustakaan.” Fadil sumringah mendengar ide itu.
“Tetapi lahan kita sudah habis Do.” Barok sedikit mengeluh.
“Kita beli akan beli Rok.” Rido mengatakan cepat.
“Kita?! Uangnya darimana Rido. Kau semakin aneh saja Do. Semenjak ditinggal Za kekasihmu itu, keliling Jerman, berkelana di mesir. Dasar.”
“Pakai uang dari usahaku saja Rok.”
“Eh. Jangan Do. Itu uangmu , kita membangun tempat belajar ini tidak mau membebani salah satu diantara kita Do.” Fadil mencoba mencegah Rido.
“Dil. Dayat telah kembali, dia mengorbankan hidupnya untuk cita-cita ini Dil. Dia telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk pondok kita ini. Dil, aku hanya ingin mengorbankan secuil dari hartaku. Bukan apa-apa jika dibanding dengan pengorbanan Dayat Dil. Terimalah Kang.”
Demi mendengar ungkapan itu Barok memeluk sahabat karibnya itu.
“Baiklah Do. Kita terima.” Fadil luluh.
“Satu lagi usulku Dil. Pondok ini, kita namai Pondok Pesantren Hidayatullah. Untuk mengenang sahabat kita Muhammad Hidayat, agar semangatnya tetap hidup dan menghidupi dalam dada setiap santri yang mondok disini.”
***
Pada suatu malam jumat yang penuh kabut selepas isya, ruangan di lantai satu paling pojok beraroma kopi dan singkong bakar. Lampunya temaram menyinari beberapa kitab yang berjajar di rak belakang sofa tamu. Dua orang terlibat dalam obrolan santai tampak akrab dan penuh sumringah.
“Jadi, siapa rok?” Tanya Fadil.
“Siapa?!” Wajah berok sedikit kaget dan bingung.
“Mempelaimu?”
Hanya tersenyum yang terukir di wajah Barok. “Tanang Kang. Kau akan segera tahu.”
Rido masuk secara tiba-tiba dari ruang belakang menepuk pundak Barok sembari masuk kedalam obrolan.
“Selamat Kang. Barakallah.” Ucap Rido.
“Allah Yubarik Fiik, Kang.” Barok membalas doa Rido.
“Aku akan merindukan hari itu Rok.” Fadil sambil berpaling dan menepuk pundak Barok.
Barok masih tersenyum.
Mereka bertiga menyeruput kopi yang masih mengepul sementara diluar sana kabut semakin menebal dan udara yang mulai merayap ke ruang utama PP. Hidayatullah. Mereka bertiga saling merangkul, saling tersenyum. Begitu pula seorang yang sedari tadi kita lupakan, Dayat.
Dayat tersenyum dalam kuburnya. Begitu pula Pak Slamet, begitu pula Mang Abu. Mereka bertiga saling peluk dalam kubur. Bahagia.
***
Setelah ketiganya pulang ke Tuwarih sebuah cita-cita telah mereka wujudkan. Cita-cita yang telah menahun mereka rangkai dalam persahabatan. Bahkan seorang diantaranya telah mendahului sebelum sempat untuk milhat cita-cita itu mewujud dalam nyata.
Tuwarih tidak seperti dulu lagi. Fadil, Rido dan Barok membangun sebuah pondok pesantren disamping surua tempat dulu mereka mengaji kepada Pak Hasan. Sementara Pak Hasan telah tiada meninggalkan segala kebaikan untuk dituai hasilnya. Anaknya sekarang yang meneruskan pengajiannya. Mengajari anak-anak Tuwarih membaca hijaiyyah, wudhu, membaca aksara jawa, membaca bahasa Indonesia.
Diluar hujan mulai merintiki bumi Tuwarih. Lima orang santri yang menetap di PP. Hidayatullah itu membakar singkong yang tadi siang diambil dari kebun milik pesantren. Membakarnya.
“Kang, tadi aku dipanggil ustad Fadil.” Seorang santri bernama Sabar bicara.
“Ada apa?” Amin menjawab sambil membakar kayu pines.
“Besok kita diminta membantu Ibunya ustadz Rido.”
“Oh, ada apa emangnya dirumah ustadz Rido, Bar?”
“Besok ustadz Rido akan melamar anaknya Pak Kiai Zaenal, Min.”
“Siapa?”
“Aku lupa.”
“Benarkah?”
Dua santri itu masih membolak-balikkan singkong dalam bara yang menghangatkan tubuh dari kabut malam yang mulai menusuk kulit. Aroma kayu pines yang khas serta bau singkong bakar yang mulai tercium membuat perut semakin lapar. Setelah cukup membakar singkong dalam bara mereka berdua membawa lima batang singkong kedalam kamar. Dimakan bersama Amin, Sabar, Imam, Imron, dan siapa yang mirip ustadz Fadil itu. Oh, itu Muhammad ‘Usman anak ustadz Fadil dengan Najma Bathul.
***
Satu tahun setelah kejadian singkong bakar itu.
“Ih, lucunya. Babarblas ndak mirip sama bapaknya.” Tangan Fadil mencubit pipi bayi digendongan Rido.
“Inggih, Ustadz. Miripnya sama ibunya.” Nur Fauziyyah, ibu dari bayi itu berseloroh.
“Betul Bu Nyai. Bapaknya Cuma urun hidungnya saja.” Ucap Barok yang membuat seluruh ruang gemuruh oleh tawa.
“Halah… Barok Cuma bisa ngomong. Kapan singa podium itu kau sunting?” Skak mat dari Rido ini membuat Barok diam menahan kikuk.
“Hehe… Kapan-kapan Do.” Jawab Barok.
“Halah. Kamu bisanya cuma kapan-kapan terus. Kasian to bu nyai, Rok.” Tambah Fadil.
***
Begitulah persahabatan mereka berlangsung, pembaca. Setiap orang pasti memiliki sahabatnya. Jagalah ia, rawatlah ia sampai suatu saat mereka akan menjadi orang yang paling kehilangan ketika kita telah tiada. Orang yang senantiasa mengirimi kita doa ketika makanan dan minuman tak dapat lagi menjadi penawar dalam keabadian kita.
Post a Comment