![]() |
Kang! eps.32 |
Tiga hari setelah kepulanganku, suamimu mengabariku. Kondisimu kembali menurun, kau dirawat intensif kembali. Kali ini aku tidak terlalu gila seperti dua tahun yang lalu, sekarang kau bahagia bersama Arif dan aku percaya dia bisa merawatmu.
“Arif bisa menjaga Zayya. Biarkan mereka hidup bahagia. Jangan kau ganggu.”, hatiku berkilah.
Aku kembali bekerja mengurus perusahaanku, sekarang aku sudah semakin maju saja, alhamdulullah berkat kasih sayang Guru Mulia dan semua orang. Aku bahagia sekali sekarang menjalani kehidupan ini. Sekarang kau harus kembali sehat Za, suamimu pasti mencemaskanmu. Nanti malam aku akan diperkenalkan dengan anak Pak Kiai Zaenal, namanya Nur Fauziya, cantik bukan. Semoga dia bisa menjadi penawarku Za.
Za, Ziya anaknya sholekhah seperti kau, baik, rajin, juga cantik. Aku bahagia bisa berkenalan dengan dia. Namun, saat yang bahagia itu kembali bermuram saat suamimu menelefonku,
“Do, kembalilah ke jerman, Zayya butuh kamu.” Ucap suamimu dari benua Eropa dengan lantang.
“Ada apa, Rif?”
“Zayya, butuh kau Do, datanglah sesegera mungkin. (telefon langsung berganti suara Hasyim). “Kang Rido, kak Zayya Kang...”
“tuttt... tuttt... tuttt...” Telefon malam itu terputus Za. Menyisakan rasa khawatir dalam hatiku.
Demi mendengar kabar itu aku langsung pamit keluar dari rumah pak kiai. Memesan tiket ke Jerman, menyusul adik dan suamimu.
***
“Sabar nduk, menawi Rido leres imammu boten bade kesah ten pundi-pundi.” Kata pak kiai malam itu kepada Ziya anaknya, Za.
Penerbangan malam itu, aku masih dalam kondisi capek sekali Za. Baru kemaren aku tiba dari jerman, dan malam ini aku harus segera kembali kesana.
“Kenapa kau ini Za? Kenapa? Bukankha harusnya kau segera sehat, hidup bahagia dengan suami yang sangat mencintaimu.” Hatiku bertanya-tanya.
Perjalanan malam ini, tujuanku selepas dari bandara langsung ke rumah sakit, tidak ke hotel adikmu. Setibanya dirumah sakit betapa terkejutnya aku. Kau sudah tidak seperti beberapa hari saja yang lalu. Sekarang selang dan peralatan itu semakin banyak saja.
“Sembuhlah Za, tolong sembuhlah, demi kami orang-orang yang sangat mencintaimu.” Harap hatiku melihat kekasih hatiku terkulai lemas.
Melihat monitor ECG disampingmu yang naik-turun membuatku semakin cemas, apalagi suamimu. Bagaimanapun juga suamimu adalah orang yang paling cemas melihat keadaanmu. Beberapa jam kemudian, kondisimu kembali normal. Dokter yang sedari tadi bekerja keras kini keluar dari kamarmu, menjelaskan bahwa tidak ada yang boleh masuk, agar kau bisa beristirahat dengan tenang. Suamimu meminta agar aku menemaninya sampai hari kau dibawa pulang. Rencana kepulanganmu pun mundur karena keadaanmu yang tidak memunginkan.
Ya sudah aku menginap ke hotel adikmu. Malam ini, aku tertidur pulas sekali.
***
Kekasihku, Selamat jalan...
Pukul 02.00 dini hari waktu Hamburg, ponselku berdering. Aku belum terbangun. Dua kali ponselku kembali berdering, aku masih belum bergerak. Jam 02.30 pagi hari, Hasyim mengetuk pintu, pada saat aku sudah terjaga. Aku berjalan membukakan pintu hotel, kemudian Hasyim masuk dan memeluk tubuhku. Erat sekali, lalu dilepaskan pelukannya itu. Kemudian menatap wajahku, lalu tertunduk lesu.
Aku bertanya,”Bagaimana keadaan kakakmu Syim?”
Yang kutanyai tidak menjawab, malahan memeluk tubuhku lagi, kali ini dengan air mata dan sesenggukan yang begitu kentara. Air matanya membasahi dadaku.
“Kang Rido, kak zzz..zzz...zzzay...zay...zayyaa... Sudah dipanggil kak. Kak Zayya tadi pagi meninggal dunia pukul 2.00.” Hasyim memelukku semakin erat.
Oh Tuhan, apakah ini, apa yang sedang terjadi, jiwaku melayang, mataku sembab menahan haru, pikiranku menerawang jauh namun tak sampai menjangkaunya, semakin pilu didalam hatiku. Mataku basah. Berkelabatan hadirmu dalam anganku. Kau hidup dalam jiwaku namun kau meninggalkanku dalam nyatanya dunia Za.
***
Pukul 03.00 setelah aku dan Hasyim bersih-bersih diri, kami menuju rumah sakit untuk mengurus jenazah kekasih hatiku. Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Arif duduk di bangku lorong rumah sakit.
Melihat kedatanganku, Arif langsung berdiri dan memeluk tubuhku.
“Rif, yang sabar. Kita semua kehilangan Zayya, kita semua mencintainya.” Ucapku membesarkan hati suami kekasih hatiku.
Arif tidak membalas sepatahpun namun pelukannya semakin erat. Entah seberapa besar kesedihannya. Hatinya kehilangan separuhnya, dan kehidupannya diambil sebagiannya. Matanya begitu kentara memerah, mukanya jelas menggambarkan kesedihan yang dipikulnya. Arif melepaskan pelukannya dari tubuhku dan jatuh terkulai.
Pukul sembilan pagi setelah suamimu sadar. Ia mengurus kepulanganmu di bagian administrasi rumah sakit, sementara aku dan Hasyim mengurus kepulanganmu di bandara. Pilu rasanya, melihat wajah orang yang dikasihi tak bernyawa, lebih haru lagi melihat kesedihan pada wajah suami kekasih hati, yang sekaligus adalah sahabat kita.
Langit Jerman pagi itu terasa bermuram durja, tetes saljunya menyentuh bumi dengan lembutnya. Di kanan-kiri jalan butir-butir itu menggunduk, jalan-jalanpun ditutupi butiran putih selembut kematian yang menghampiri jiwa-jiwa penuh cinta itu.
Setelah semua urusan administrasi beres. Besoknya, tepat pukul 13.00 waktu Hamburg, jenazah Zayya diterbangkan ke Indonesia. Aku, Arif dan Hasyim menahan duka dalam diam, tertunduk lesu didalam pesawat. Arak-arakan awan di ketinggian ini terasa teduh, terasa semua awan itu tertunduk hormat kepada pesawat yang membawa jenasah Zayya itu.
***
Dikebumikan. Sehari selepas kepulangan Zayya ke tanah air, tibalah hari untuk mengebumikan jenazahnya di pemakaman. Suasana haru menyelimuti rumah megah di jalan bangsa Pekalongan. Bendera kuning menceritakan apa yang tengah terjadi di dalam rumah kepada setiap orang yang melewatinya. Zayya telah berpulang meninggalkan suami, ayah-ibu dan kekasih hatinya. Benarkah Rido kekasih hatinya?
Dipemakaman, jenasah Zayya dikebumikan dengan suasana khusyuk dan haru. Terlihat para sahabat, sanak saudara dan kawan-kawan semasa kuliah datang bertakziah. Setelah prosesi pemakaman usai, semua orang melangkah pulang; hanya menyisakkan seorang yang sedari sepinya pemakaman berbicara pada nisan. Rido berbicara sendiri mengisahkan semuanya kepada Zayya. Mengisahkan semua kejadian semenjak dua tahun lalu kepada batu nisan yang membisu. Batu nisan yang tak dapat menjawabi apapun yang dikatakan Rido. Nisan yang tidak mampu menangisi sesedih apapun yang dikisahkan oleh Rido.
Angin sore menggoyangkan pohon ringin besar ditengah makam, mengguguri Rido dengan dedaunnya; yang masih saja berbicara sendiri menceritakan semua kisah itu pada makam Zayya.
“Za, sekarang kau sudah meninggalkanku, suamimu, dan semua orang yang mencintaimu. Kau telah kembali kepada Cinta Za. Semoga kau selalu bahagia disisiNya. Aamiin...” Ucap Rido setelah semua curahan kisahnya diceritakan kepada nisan kekasihnya, sesaat sebelum Rido melangkahkan kaki pergi meninggalkan sendirian makam Zayya, kekasih hatinya.
Siapa yang tahu, diluar makam yang sepi, seorang wanita dengan setia menunggui Rido yang sedari tadi berbicara dengan nisan Zayya. Wanita itu berkerudung lipat, ujung-ujung bajunya tergerai oleh angin yang berembus dari utara pemakaman. Wajahnya bundar, tatapannya tajam, senyumnya adalah simponi keindahan, dialahNur Rahmah.
Post a Comment