Kang! eps.31

Kang! eps.31





Pencarian.
Setelah keluarga dari Tuwarih mendapati Rido berada di al-Arifiyyah semuanya menjadi lega. Begitu pula Fadil dan Barok yang kini tengah sesenggukan melihat kembali sahabat yang hilang. Takut kehilangan lagi akan sahabat yang senantiasa menemani. Setelah Dayat seorang sahabat sejati yang pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
            “Dil aku akan pergi ke Mesir.”
            “Untuk apa ke Mesir Do?” Tanya Barok.
            “Tuhan telah mengatakan demikian. Bacalah ayat al-Baqarah maka kau akan menemukan itu Rok.”
            “Do, sadarlah kita semua mencintai kau. Kembalilah seperti dulu Do. Kita semua sayang padamu. Apakah semua karena cinta yang…?!” Fadil terpotong demi melihat Rido yang membalik arah.
            “Jangan, jangan kau salahkan cinta Dil. Bukankah kau terlalu tahu makna cinta. Semua ini bukan lagi sekadar tentang Mazayya Mumtaza Dil.”
            “Lantas apa?!” Barok sedikit keras.
            “Semua ini tentang perjalanan sunyi, tentang perjalanan menggapai cinta Rok.”
            “Baiklah. Sekarang pergilah gapai cintamu itu.”
            “Sabar Rok. Sabar, memang seperti itu keadaan orang yang sudah di maqam cinta Rok. Terlalu banyak kisah yang kita tahu akan hal ini. Bukankah Sayyidi Owais al-Qorni juga menjalani perjalanan cintanya dari Yaman ke Madinah menemui Kekasihnya s.a.w?”
            Fadil masih melanjutkan kata-katanya,”Sudahlah. Baiknya kita biarkan dia pergi ke Mesir. Nanti kita sampaikan dengan baik kepada keluarga di Tuwarih.”
            Setelah menemui Rido dial-Arifiyyah, Barok dan Fadil kembali ke Tuwarih menyampaikan pesan kepada keluarga besar disana tentang tekat Rido yang akan pergi ke Mesir.
            Malam telah menyambut ladang-ladang Tuwarih. Mengisahkan setiap petani yang mencintai bumi dan mentari tanpa pamrih. Tanpa tahu inflasi pasar, tanpa tahu pasar saham, yang mereka tahu adalah mencintai ladang-ladang mereka dengan menanaminya padi begitulah jalan cinta seorang petani. Jalan cinta, Siapakah yang mampu melihatnya maka ia akan menempuhnya seberapapun jauhnya. Begitu pula yang telah dilakukan seorang pecinta agung dari bumi Andalusia Ibnu ‘Arabi. Semuanya telah melakukan perjalanan cinta demi menuju cinta sejatinya. Apakah Rido juga termasuk kedalam bagian itu? Entahlah, mari kita lanjutkan kisahnya.
***
Za, sudah genap lima bulan aku mencari-cari kabarmu; melalui teman-teman terdekatmu, namun meraka tak tahu. Aku sedih sekali, sembari menunggumu aku menyusuri jalan cinta di Mesir Za. Menemui seorang bijaksana dari tanah Kinanah negeri para Nabi. Aku habiskan waktu di kebun penuh pepohonan milik Guru Mulia. Aku sampai diharibaan Guru mulia diantar oleh Prof. Rahman dosen di kampus pasca sarjana dulu. Selama pencarianku ini aku belum menanyakan soal dirimu pada keluarga besarmu, aku masih trauma dengan para lelaki penjaga suruhan ayahmu itu.
Aku hanya terdiam dalam kegilaanku kepadamu, mengenang kembali setiap kejadian yang pernah aku adegani bersama dirimu. Setiap kuliah kau memakai baju berwarna biru, aku suka sekali. Namun kini untuk sekedar melihat bayang-bayangmu saja aku tak bisa.
Genap setengah tahun aku menapak jalan kesunyian. Namun keberadaanmu belum juga aku temukan. Terakhir kali, aku mendengar kabar dari para karib bahwa kau sudah tidak berada di Indonesia, kau pergi berobat keluar negeri. Aku tambah gila, aku semakin menggila. Akhirnya setelah tepat dua tahun aku berada di Mesir aku berencana pulang.
Tepat saat musim penghujan tubuhku telah dibawa pulang ke pedalaman Pekalongan, Tuwarih. Setelah dirumah, aku kembali membangun bisnisku yang selama ini telah hidup dalam ketidak tentuan arah. Aku kembali sehat, menurut penilaian mereka, namun aku tetap gila padamu Za. Dalam kesadaran gilaku aku bekerja, mencarimu, dan menabung untuk membawamu terbang ke Austria. Kemarin, aku dengar kabar dari adikmu. Iya, kemarin adekmu datang kekantorku membawa kabar kalau kau memang sudah berada di Jerman untuk pengobatan syarafmu yang katanya sudah tidak dapat ditangangi lagi oleh dokter Indonesia.
Dua hari kemudian aku berencana menyusulmu di Jerman, dan ayah-ibuku sudah tak tahu lagi bagaimana caranya mereka menghentikan aku; akhirnya mereka mengizinkan aku pergi menyusulmu dan berdoa untuk kebaikanku. Dengan kondisi kantor yang sudah stabil aku pasrahkan kepada adik tertuaku; Malik untuk memimpin kantor percetakanku yang sekarang sudah memiliki tiga cabang Za.
Satu bulan kemudian setelah aku mengurus segalanya, aku berangkat ke Jerman. Dengan ditemani adikmu, Hasyim; aku berangkat.
***
Di rumah sakit Asklepios klinik Bamberk Hamburg jerman aku dan Hasyim menuju padamu, setelah perjalanan udara yang melelahkan akhirnya aku dan Hasyim tiba di jerman. Udara yang dingin menusuk kulit, sebab kedatanganku bersamaan dengan dimulainya musim dingin disini. Aku menumpang taksi dari bandara bersama Hasyim, jalan-jalan disini berselimut salju, jalanan licin, setiap nafasku mengeluarkan asap. Aku terkapar, terkena insomnia. Adikmu Hasyim tetap tenang Za, membawaku ke rumah sakit. Kata pak sopir, ini sudah hal biasa bagi para pendatang baru yang datang ke Jerman pada musim dingin.
Setelah sekitar dua puluh lima menit diperjalanan aku sampai dimuka rumah sakit berwarna coklat ini. Megah sekali, pantas jika kau ditangani disini. Disini memang terkenal dengan kecangggihan teknologinya. Pak Habibi dulu pernah kuliah di negeri ini dan menjadi orang besar disini; di negeri orang, namun disia-siakan dinegeri sendiri.
Aku dibawa dengan kereta dorong menuju ruang perawatan. Adikmu sungguh baik sekali, menolongku sampai sejauh ini untuk bisa menemuimu. Katanya pula, pihak keluargamu berpasrah diri menghadapi penyakitmu yang sudah sejak dua tahun lalu belum juga menunjukkan perkembangan kearah yang lebih sehat. Aku dibawa masuk kedalam ruangan tepat didepan ruangan dimana kau dirawat. Aku bahagia sekali saat mengatahui hal ini.
Satu hari setelah aku dirawat, dokter sudah menyatakan kalau aku sudah sehat. Aku dan Hasyim melunasi biaya pengobatanku, lalu menuju ke ruangan dimana dirimu berada. Saat aku berjalan keruanganmu, jantungku berdegup kencang. Hasyim berjalan didepanku, membukakan pintu kamarmu. Aku masih tertinggal dibelakangnya, pintu sudah tertutup kembali. Lalu, aku membukanya sendiri, aku masuk kedalam kamar dimana kau dirawat.
Aku melihat tubuh yang diinfus dengan banyak selang, selang-selang entah apa dipasangkan ketubuhmu, dan kepalamupun sudah tak berambut lagi. Aku menujumu dengan diam, berjalan penuh kelu dihatiku, suamimu duduk didepanmu. Iya sekarang dia benar-benar telah menjadi suamimu. Sebab sewaktu lima hari dalam keadaan sadarmu kalian berdua menikah, aku kembali kelu. Namun, aku beranikan berada didekatmu, duduk tapat disamping kepalamu.
Lihatlah siapa pemilik hidung itu, aku benar-benar masih mengingatnya. Aku dipersilahkan suamimu membacakan ayat Quran, baiklah aku bacakan surat kesukaanmu. Tak terasa air mata mengaliri kelopak matamu. Kau sadar, kau sadar Za. Aku hentikan bacaanku, lalu kau mengedip-edipkan matamu, kau sadar, matamu bergerak-gerak, dan kaupun mencoba membuka mata. Matamu mengedip, memintaku untuk melanjutkan bacaan surat al-Mulk yang terhenti. Aku lihat suamimu juga orang yang baik, rajin sholat, dan mendoakanmu. Aku telah salah menduga kepadanya.
Saat kesadaranmu itu, suamimu memanggil dokter untuk mengecek. Dan ternyata memang kondisimu membaik, kita semua bersyukur, ayah dan ibumu di Indonesia dikabari tentang hal ini. Merekapun bahagia dan memintaku untuk menemani suamimu; dan membantunya disaat kelelahan dalam menjagamu. Aku terima dan sungguh bahagia menerima hal ini.
Tiga minggu setelah kau siuman, dokter mengijinkanku untuk membawamu keluar ruangan. Dan tepat setelah satu minggu kau siuman, aku diijinkan oleh dokter dan suamimu untuk mengajakmu melihat pemandangan ke bukit Kohlenberg untuk mewujudkan mimpi yang telah lama membisu tanpa kekasih. Bersama Hasyim dan seorang perawat penjagamu kita pergi menuju Kohlenberg. Suamimu memilih untuk beristirahat dirumah sakit sembari mempersiapkan kepulanganmu bulan depan, senang bukan kau telah diijinkan pulang.
Setelah beberapa jam perjalanan akhirnya kita sampai di bukit Kohlenberg Za. Kau tersenyum senang melihat pemandangan dari atas sini, kau cantik memakai kerudung biru itu, kau rentangkan tanganmu, memejamkan matamu, menikmati rasa ringan di kepalamu, kau bercanda dengan perawatmu, aku dan adikmu tersenyum bahagia melihatimu. Andai saja, kau belum menikah, hari ini aku akan melamarmu Za. Namun tidak, aku bahagia melihat kau sehat kembali. Akhirnya setelah puas menikmati bukit Kohlenberg kita kembali kerumah sakit. Sesampainya di rumah sakit suamimu telah menunggu kita didepan lobi. Kau memeluknya, kau sangat bahagia.
“Terima kasih Rido. Berkat kedatanganmu, Zayya tersenyum.”, Arif mengucapkan rasa terimakasihnya kepadaku, dan hanya kujawab dengan simpul senyum di bibirku, tanda aku sangat senang membantunya.
***
Setelah hampir satu bulan, aku izin pulang ke Indonesia pada suamimu; sebab kau sudah semakin membaik. Aku pulang sendiri, Hasyim ingin menemani kakak iparnya merawatmu sampai bulan depan kepulanganmu. Hasyim menolongku membawakan oleh-oleh, baik sekali adikmu. Mengantarku sampai tiba dibandara, dan dia memelukku, terharu menahan tangis melihat perjuanganku selama ini untuk bertemu denganmu, sekaligus berterimakasih atas kedatanganku yang membuatmu tersadar kembali. Cincin disakuku masih tetap, dan kubawa pulang. Dan entah siapa yang akan memakainya menggantikanmu.
“Kakakmu sudah melupakanku Syim, dia bahagia dengan suaminya.” Aku mengajak adikmu berbicara sembari menunggu jam tinggal landas pesawatku, Za.
“Tidak kang. Bahkan, kak Za bilang kepadaku bahwa dia memeluk suaminya agar kang Rido tidak lagi mencemaskan kak Zayya. Dia masih mencintaimu kak. Namun, keadaan telah berubah, kak Zayya telah menikah dengan orang lain. Diapun mengidap penyakit, terlalu sulit untuk menghadapi keadaan ini kak.” Jawab adikmu panjang lebar menguatkan ketegaranku.
Aku hanya tertunduk mendengar penjelasan adikmu Za.

”Syim, jaga kakakmu, aku selalu mendoakan untuk kesehatan dan kebahagiaannya, bersama Arif suaminya, aku akan bahagia di Indonesia. Aku sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Lagipula, adikku Malik, kemarin menelepon, mengabari bahwa perusahaan semakin berkembang. Jadi, aku tidak akan lagi mengganggu Zayya. Aku akan fokus pada pekerjaanku...”, namun, air mataku mengalir menahan kata yang terucap, Za. Membuat adikmu Hasyim memeluk erat tubuhku, menegarkanku supaya tetap semangat menjalani kehidupan. Serta melepas berat kepulanganku ke indonesia.

0/Post a Comment/Comments