![]() |
Kang! eps.30 |
Pernikahan.
Apakah pembaca sadar bahwa kisah seorang santri yang seorang belum penulis sampaikan. Tentang kisah cinta yang dialaminya. Sebuah kisah yang menjadi jalan kesunyian bagi pendewasaan kehidupan jiwanya. Kisah Kang Rido belum lagi penulis sampaikan tetapi pembaca sudah merasa paham tentang cinta. Tenanglah sejenak, minum segelas teh dan tenangkan kepala. Kita simak bersama tentang kisahnya. Mari, kita hayati bersama. Memahami tentang makna dibalik kata cinta. Karena cinta hanyalah sebuah makna belaka. Tanpa sebuah teori dan definisi aphoristic. Baiklah, mungkin setiap orang sudah memiliki sendiri kisahnya. Kalau demikian kita anggap saja kisah yang akan tersaji adalah curahan hati seorang Rido tentang kehidupan cinta dalam hidup dan kehidupannya. Kisahnya adalah kepiluan segala curahan isi hati. Penulis mewakili Rido memohon kepada pembaca untuk mendengarkan segala curahan isi hati Rido. Bukankah pembaca juga mencurahkan isi hati kepada sahabat, orang tua, atau malahan kepada kekasih terkasih? Baiklah kita mulai saja kisahhya:
Alunan instrumen musik meresonansi gendang telingaku. Intrumen-instrumen yang terus menyayat dunia mayaku. Menghayalkan rasa yang terus menjalari hatiku. Inikah perdu? Inikah mutualisme? Inikah? Inikah? Inikah? Rido mereka-reka tentang apa yang tengah terjadi pada dirinya. Setelah hampir sepuluh tahun lebih di Darul Khasan ia pulang ke Tuwarih membantu mengajar Pak Hasan dan membangun sebuah usaha untuk menghidupinya.
Banyak pertanyaan yang terkadang diam dan berhenti adalah jawabnya. Malam itu menjadi puncak segala hayalku. Bahkan kerbaupun lebih bisa kutaklukan daripada dorongan rasa ini. Benarlah sabda Nabi “orang yang kuat adalah orang yang bisa menundukan gejolak jiwanya.”
Inti dari perasaan cinta itu entah apa. Sesuatu yang abstrak dan terus bergerak berputar-putar dalam jiwa. Mencoba melihat kedalam diriku, sebenarnya apa yang aku inginkan akan tampaknya dirimu dalam setiap imaji hayalku. Menggelayutiku bak anak yang tak mau jauh dari perlindungan ayahnya.
Duniaku berbeda dengan duniamu. Kau memandang dunia dengan cara yang berbeda. Namun, itulah kesamaan kita. Selalu mencari sisi lain dari dunia yang metafora ini. Mencoba mencari makna dari setiap potongan pazzle yang Tuhan tebarkan dalam setiap adegan kehidupan ini.
Begitu pilukah keadaan Rido sehingga kisah dari seorang pemuda dua puluh enam tahun yang lebih banyak diam dan suka membaca kitab dan mengoleksi buku ini harus dimulai dengan curhatan lara dan kebingungan. Baiklah, mungkin kisahnya belum utuh, kita dengarkan saja dengan hikmat curahan hatinya kepada kita. Siapa tahu sebuah solusi dapat kita pahami untuk membantu Rido yang dirundung duka. Baiklah, mari kita dengarkan curahan segala isi hati dari Kang santri, Muhammad Mukhtar Rido.
***
Pesta Pernikahan.
Kewarasanku sudah kau renggut Za, aku tak ubahnya seorang yang selalu asing dalam kehidupan ini. Betapa segalanya adalah kau, doaku, usahaku, belajarku, semuanya kuniatkan untuk meminangmu dalam bahagia. Namun, semuanya hanyalah sebuah kisah. Kisah yang tinggal hanyalah kisah belaka.
Pagi-pagi itu, datang utusan dari ayahmu, membawa bingkisan yang dibalut dengan berbagai hadiah yang pernah aku berikan padamu. Mereka garang sekali, dengan lantang kerah bajuku direnggutnya, bak anak kecil aku di tarik lalu diangkatnya, tepat diwajahku, mulut busuk itu berkata,”Jangan ganggu neng Zayya lagi pecundang tengik.”
Setelah itu tubuhku dibanting kelantai kantorku, dengan kasar pula bingkisan itu dilemparkannya tepat mengenai kepalaku.
“Itu undangan pernikahan neng Zayya, tuan masih berbaik hati mengundangmu bajingan!!!” Bentak utusan ayahmu Za.
Seminggu setelah kejadian itu, aku mendatangi pesta pernikahanmu dengan pemuda berjanggot itu. Aku melihat dengan jelas sekali calon suamimu itu, bahkan sempat aku menjabat tangannya dan berkenalan, Arif namanya. Namun tak lama, dua orang yang kemarin datang ke kantorku terlalu tajam memandangiku di balik tubuh calon suamimu, ternyata itu adalah dua bodyguard calon suamimu.
Aku berjalan menjauh dari suamimu dan mengambil makanan yang disuguhkan oleh keluarga besarmu. Mencicipi somay kesukaanmu, minum es teh dari mbak-mbak yang menjaga stand makanan itu.
Tak kusangka pernikahanmu megah sekali, seluruh pejabat kota kau undang. Ayahmu mungkin saja telah menghabiskan uangnya setara dengan penghasilan kantorku, mungkin.
Aku menikmati sekali panggung gambus yang bertalu-talu, ta’lab, fashbir alal maktub, wayahdana semua rancak kusuka. Bahkan, aku kenal seorang vokalnya, Husen teman kuliahku dulu.
Akupun menyempatkan diri untuk menari zapin bersama tamu-tamu yang lain. Disana, diatas kursi kayu aku melihat ayahmu tersenyum memandangi para tamu yang turut berbahagia atas hari pernikahanmu. Begitukah model para pejabat menggelar pesta untuk anak-anaknya? Kutahu sudah dua tahun sejak terpilihnya ayahmu menjadi anggota dewan kota segala macam kehidupan gaya santri telah beliau tinggalkan. Menyedihkan sekaligus menyakitkan.
Adik-adikmu sesekali mendatangiku, menanyakan kabarku dan menguatkan hatiku untuk selalu sabar menjalani kehidupan, tapi entahlah aku hanya seperti anak kecil yang meletus balonnya karena ditusuk dengan jarum.
“Yang sabar kang. Allah pasti sudah menyiapkan yang terbaik buat Kang Rido.” Hasyim menyabarkan lukaku karena pernikahanmu, Zayyaku.
***
Lama sekali, pestamu belum dimulai, kau pun tak muncul-muncul disaat terakhir kali dimana aku bisa memandangimu sepuas hati. Kau tak kunjung keluar setalah hampir seluruh kursi telah dipenuhi tetamu yang dating. Semuanya menunggumu di depan altar sucimu.
Taukah kau, waktu itu tetamu undangan saling melempar pandang, mata mereka saling melempar tanya akan keberadaanmu, juga mempelaimu yang kini senyumnya menjadi masam. Ayahmu juga sudah tak berada diatas kursi tuanya. Ibumu yang memang sedari pagi tak kulihat, kini kebingungan mencari mempelaimu yang sudah masuk kedalam rumahmu .
Kita semua menjadi panik dengan keadaan ini, dan kau tetap tak keluar-keluar memperlihatkan wajahmu kepadaku untuk yang terakhir kali. Karena yang kudengar dari para tamu; setelah pernikahanmu selesai, kau akan diajak terbang ke Wina, Austria, tempat yang dulu waktu kuliah aku janjikan padamu.
Dua jam tepat aku menunggumu, namun kau tak juga kunjung datang. Akhirnya lamat-lamat kudengar kabar dari dalam rumah besarmu, kau jatuh pingsan, para tamu menjadi jadi panik. Beberapa bahkan masuk kedalam rumahmu, akupun mencoba masuk ke rumahmu. Namun, dua orang yang kemarin datang ke kantorku menghadang di depan daun pintu, akupun mundur kembali dan mendongak-dongakkan kepalaku melihat kedalam seisi rumah.
Seperempat jam kemudian kau dibopong calon suami dan adik-adikmu keluar rumah. Bersamaan dengan ambulans yang sudah sejak lima menit tadi meraung-raung didepan rumahmu, kau dimasukkan kedalam ambulans, tak tahu kalau aku datang untuk melihatmu tersenyum; namun kau terserang penyakit yang sudah sejak kuliah mengidap dalam kepalamu. Aku tak melihatmu memakai gaun putih itu, malah dari hidungmu keluar darah yang tak mau berhenti, kita semua panik.
Hari kebahagiaanmu waktu itu berubah menjadi kesedihan bagi semua orang, dan rasa gila inipun menyerangku. Kau tak tahu setelah aku pulang kerumahku, orang-orang rumah dan karyawanku ketakutan melihat tingkahku, aku meraung-raung sendiri, membanting semua barang yang ada disekitarku, aku gila za. Gila entah mengapa, yang aku tahu kau menikah dan kau berdarah. Aku kalap memikirkanmu. Dua hari selanjutnya aku sudah berada dirumah sakit, mereka kira aku benar-benar gila dalam kesadaaran gilaku. Padahal aku masih bisa mengingat mereka, ayah, ibu, Malik, dan Sofia.
***
Betulkan pembaca? Kisah Rido terlalu kasihan jika kita tinggalkan dia sendiri meratap nasib. Seorang santri yang pernah mengaji memahami segala ajaran kini dirundung lara. Pada malam-malamnya Rido menyendiri berjalan melawan kedinginan menuju lapangan, ditempat paling tinggi dari Tuwarih. Memandangi seluruh hamparan yang berkerlipan, hatinya gemuruh oleh panggilan zikir, matanya bermunajat dengan permohonan kalam dari Yang Maha Kasih. Apakah Rido telah mencapai maqam Nabi Musa sehingga menuju puncak bukit dan mengharap kalam? Entahlah pembaca, penulis juga tak menahu tentang kedudukan penghambaan seorang Rido kepada Tuhannya. Pada saat mengajar dan berbicara sering kali Fadil dan Barok tak memahami ucapannya. Apakah Rido telah melihat realitas sejati dan dirinya hilang dari keberadaan menuju realitas fana? Apakah cinta yang dialaminya begitu kuatnya, sehingga pemahamannya menaiki tingkat yang tak berbatas? Ataukah Tuhan telah memanggilnya melalui cinta untuk menjadi seorang kekasih terpilihNya? Entahlah pembaca, penulis tidak boleh memutuskan perkara yang isi hati adalah pemeran utamanya. Baiknya kita simak lagi perkataannya. Siapa tahu ada sebuah jawaban mengenai cinta sejati yang kita idam-idamkan.
***
“Aku tak boleh berhenti.” Gumamku tersengal-sengal merapikan baris pernapasanku setelah berkilo-kilo berjalan dan berlari menuju kebebasan.
Seminggu kemudian aku kabur dari rumah sakit jiwa, aku tidak betah hidup bersama dengan otak-otak yang tidak dapat berkontemplasi, aku kabur pada larut malam, dengan mengendap-endap lewat taman samping rumah sakit ; dan akhirnya aku kabur lewat pintu gerbang yang terbuka. Aku lari, sekuat mungkin aku dapat lari, hanya dengan memakai celana kolor dan kaus dalam, tanpa alas kaki dan tanpa sepatu kerjaku.
Aku lari sekuat tenaga, takut satpam penjaga rumah sakit jiwa mengejarku. Akhirnya setelah hampir dua jam setengah aku lari menyusuri trotoar jalan, gang-gang sempit, dan toko-toko, aku pingsan didepan Gereja Katholik besar. Setelah beberapa jam aku pingsan karena kelaparan dan kecapean, aku siuman. Aku melihat dua orang muda dan seorang lelaki tua bersongkok hitam. Ternyata aku dipondok pesantren seberang gereja.
Mereka menemukanku sewaktu akan pergi membersihkan masjid untuk shalat jumat. Di pinggir jalan depan gereja mereka menemukan aku sudah terkapar tanpa sadar. Mereka membawaku ke pondok al-‘Arifiyyah, Kebulen, Pekalongan kota. Membawakan aku sebuah sarung, kopiah dan baju koko warna putih untuk shalat jumat.
Aku masih sadar dalam kegilaanku padamu. Sungguh kutaktahu dimana kau sekarang. Aku akan segera mencarimu, Za. Namun, Pak Kiai melarangku, beliau ingin aku menetap sementara waktu dipondoki. Ucap beliau setelah pulang shalat jumat.
Aku tidak peduli, aku sudah gila kepadamu. Malam harinya aku nekat untuk kabur lagi, dan akupun kabur setelah tengah malam tiba. Aku kabur, namun aku bingung, kemana tujuanku, selain itu aku juga sudah tidak memegang uang. Akhirnya aku pergi kepasar kota, bekerja serabutan, memangguli beras, gula, garam dan lainnya.
Za, semingu di pasar; aku melihat selebaran yang ditempel di tiang-tiang listrik; menggambarkan fotoku, beserta beberapa keterangan mengenai ciri fisikku. Dibaris terakhir ada nomor telepon ibuku. Ternyata orang-orang rumah mencariku. Begitu pula semua akun media sosial milik Fadil dan Barok terpampang menunggu kabar dari orang yang menemukan diriku.
Aku pergi dari pasar, aku kembali ke pondok al-‘Arifiyyah. Ternyata Pak Kiai sudah tahu tentang keadaanku. Namun, setelah kujelaskan maksud hatiku untuk mendalami ilmu agama dipondok ini, membuat beliau menerimaku kembali untuk menetap di pondok ini.
“Za bagaimana keadaanmu disana?”, batinku meradang rindu.
***
“Sabar!!! Sabar!!! Sabarlah!!! Tunggu.” Pernahkah kau ingat janji itu Za.
Aku ingin menghidupkannya dalam dasar jiwaku. Sampai suatu saat; hari yang kau janjikan itu nyata. Suatu hari, entah dimana? Dan aku pilih wina, Austria. Dipuncak gunung Kohlenberg. Yah, disitulah tempatnya. Tuhan akan memberikan jawaban itu. Lama bukan. Impian yang lama, yang telah begitu lama hidup dalam jiwaku.
Aku bahkan tak pernah seyakin ini pada mimpi. Setelah aku selesaikan gelar masterku. Tunggulah. Ku yakin pada Tuhan, kau wanita yang setia. Karena aku selalu bermimpi hari itu akan datang. Dan pada waktunya nanti, aku percaya Tuhan telah memastikan datangnya hari itu. Dimana? Entah, bukan entah. Tapi disana, tempat impian yang pernah kita bicarakan.
Keliling eropa. Di jerman, Leipzig. Apa tidakkah kau percaya? Aku percaya, karena kita telah sama-sama tahu. Cerita ini masih butuh banyak lagi pazzle untuk dirangkai. Dan aku percaya kau akan jadi wanita yang baik dan Tuhanpun akan merubahku menjadi lelaki yang lebih baik. Sampai benar janji Tuhan yang telah menciptakan untuk manusia secara azwaja, berpasang-pasangan. Sampai jawaban dari Tuhan itu dating kepada kita. Tuhan telah banyak memberikan jawaban. Dimulai saat potongan-potongan pazzle itu terangkai dalam kotak kehidupan. Bukankah, kau ingin aku menunggu.
Bukan sekedar menunggu impian itu. Sampai gelar S3, kemapanan, perusahaan yang akan aku pimpin. Aku yakin itu. Karena Tuhan mengalirkan kepadaku darah anak gunung yang selalu memabara menempa kehidupan. Darah yang diturunkan dari kakek buyutku. Aku adalah paku juha dunia. Aku adalah keturunan yang dinanti-nanti dalam keluargaku. Paku juha. Ucapan sang bijak itu akan terbentuk menjadi nyata seiring mozaik-mozaik potongan pazzle kehidupanku tersusun. Dan, aku tak pernah seyakin ini pada seorang wanita. Dan kau adalah jawabnya.
Ya, aku akan selalu menunggu disitu dalam bagian sudut hatimu. Selagi pazzle itu disusun, berjanjilah. Kau akan sungguh-sungguh kuliah. Belajar dengan giat. Sampai benar-benar aku datang pada papamu. seperti yang aku katakan, dan kau tantangkan padaku. Tuhan, aku yakin akulah yang Kau tuliskan disanding namanya dalam kitab kehidupanku dan kitabnya. Hanya dunia yang masih memutar-mutar sampai benar-benar cinta ini akan menemukan titik terbaiknya. Akan benar-benar seimbang. Dan kau juga harus yakin bahwa ini juga proses keseimbangan itu, Za.
Jalan yang akan aku lalui masih panjang. Bahkan aku tidak yakin kita akan bertemu lagi. Tapi kau sudah memastikan bahwa dalam bagian hidupmu kita akan bertemu lagi. Entah dimana? Kujawab penuh doa di wina Austria. Sesaat setelah kuselesaikan masterku di Universitas Leipzig jerman.
Post a Comment