![]() |
Kang! eps.29 |
Ungkapan Persahabatan.
Pada suatu kesempatan aku ceritakan kejadian yang selalu mendatangiku dengan sendirinya itu kepada Fadil. Aku tahu dia orang yang lebih dewasa daripada Barok dalam menghadapi permasalahan. Namun Fadilpun tak dapat mengetahui apa yang tengah menimpaku dan apa yang sedang disampaikan. Akhirnya lebih baik aku simpan sendiri kejadian itu dan suatu saat aku berniat untuk menuliskannya.
“Do, jangan pernah kau ceritakan hal itu kepada orang lain. Tak aka nada yang mempercayaimu.” Suatu ketika Fadil memperingatkanku.
Suasana pagi ini seperti biasa aku dan santri-santri yang lain bangun pukul 03.00 untuk shalat lail. Setelah shalat aku sempatkan diri untuk membaca al-Quran, saat membaca pada sebuah ayat pada ayat ke enam puluh tujuh surat az-Zukhruf tiba-tiba mereka kembali mendatangiku. Dan kulihat mereka memulai pembicaraan:
“Manusia, terkadang kau tidak akan pernah menemukan dirimu mampu hidup sendiri tanpa ditemani oleh orang lain dalam kehidupanmu. Orang lain dari dirimu itulah yang disebut sebagai teman, saudara, sahabat, kawan, dan masih banyak lagi orang menyebutnya. Banyak orang yang akan kau temui dalam kehdupan yang kau lalui. Dan mereka akan berganti-ganti dan berbeda watak denganmu.” Petunjuk memulai pembicaraan.
Petunjuk masih melanjutkan,“Kata seorang bijak bestari wahai Manusia,”Janganlah kau bersahabat dengan seorang yang tingkahnya tidak membangkitkan semangatmu dan pembicaraannya tidak membimbingmu ke jalan Allah[1]. Selagi kau bernyawa maka kau akan butuh seorang yang senantiasa menemanimu dalam perjalanan hidupmu. Teman adalah salah satu syarat bagi seorang yang akan melakukan perjalanan menuju puncak yang paling mendekatkan diri pada Kebenaran.”
“Sebentar-sebentar Petunjuk, akan aku ceritakan tentang keadaanku sekarang. Kau telah tahu keadaanku yang sakit, banyak penyakit dalam kehidupanku. Sakit yang diakibatkan melemahnya sistem kekebalan hatiku. Banyaknya wabah yang menjangkiti hati dan menggerogoti pertahanannya. Berbagai keadaan yang telah aku paparkan diatas adalah hipotesis paling nyata akan adanya berbagai penyakit dalam diriku.” Manusia mulai mengeluh.
Kemudian Manusia mengatakan,“Aku mulai merasakan pesakitan dan mulai kucari-cari obatnya. Aku mengikuti seorang yang memberiku nasehat dan obat penyakit hatiku. Kemudian aku mulai kebingungan pada saat yang bersamaan ada begitu banyak orang yang memberikan pendapatnya tentang pennyakit yang mendera diriku. Kemudian aku mulai tersesat dalam kebingungan. Siapa yang seharusnya aku ikuti pendapat dan nasihatnya. Dan sampai sekarang aku masih kebingungan.”
Kulihat Manusia masih saja mencurahkan segala kegundahannya dihadapanku kepada Petunjuk,“Pendapat yang bertaburan dalam jagat raya awalnya aku ikuti semuanya, dan dengan sesuka hati aku mencampuradukan pendapat itu sesuai dengan kondisiku. Aku menjadi seorang yang kaya, rasaku. Padahal pada saat yang bersamaan kebingunganku semakin mengakar. Pada titik puncak kebingungan kulepaskan diriku dari semua pendapat itu. Kondisiku tersesat dalam kebingungan terhadap kebenaran. Aku jahiliyyah.”
“Manusia. Memang seperti itu keadaanmu. Terlalu banyak yang kau ikuti, dan dengan sesuka hati pula kau menggunakan pendapat yang ada. Padahal belum tentu orang yang memiliki pendapat berkedudukan sebagai Imam yang tadi aku katakan. Maka kesalahanmu, mengikuti seorang yang tidak sepatutnya menjadi panutanmu. Bukankah tadi sudah kita bicarakan tentang seorang yang hanya berkedudukan sebagai Muqtada, sebagai Mutaassan dan bukan sebagai Muttaba. Maka kesalahanmu Ittiba’ pada seorang yang seharusnya kau Iqtida atau sebatas Taassi saja.” Petunjuk membeberkan jawaban.
Kemudian tak berapa lama Petunjuk berkata lagi,”Hanya satu kau Ittiba’. Ittiba’ berarti kau sudah sepenuh keyakinan mengikuti seorang yang akan menasehati dan menolongmu dalam pesakitanmu. Dalam Ittiba’ itulah kau akan disembuhkan olehnya, kau harus menemukan teman dalam Ittiba’ pada dokter yang memberikan petunjuk untuk kesembuhanmu.”
“Teman adalah seorang yang membangkitkan semangatmu dalam Ittiba’. Ucapannya senantiasa memberikan petunjuk pada jalan kebenaran yang harus ditempuh dalam Ittiba’.” Petunjuk menambahi jawabannya.
“Sebentar, aku bingung Petunjuk. Bagaimana orang itu dapat aku temukan?. Bukanlah semua teman dapat mengatakan kebaikan dan ucapannya menjadi petunjuk untukku berjalan menuju Kebenaran Sejati?” Manusia bertanya.
“Tidak, tidak semuanya Manusia. Ada seorang yang ucapannya adalah obat bagi penyakit yang ada di hatimu. Ucapannya adalah paripurna dari kebenaran dan tidak ada sanggahan lagi.” Petunjuk menjawab.
“Apa? Omong kosong Petunjuk. Semua orang pandai beretorika dan menyusun kata-kata manis? Menyusun logika, semua orang dapat melakukannya.” Kulihat Manusia menyangkal jawaban dari Petunjuk yang tidak logis.
“Bukankah sudah kukatakan. Perkataan seorang teman yang satu ini, merupakan sebuah kebenaran yang tidak ada sanggahan lagi dari logika manapun. Karena ucapannya mengandung kebenaran paripurna dari seorang Muqtadan. Bagaikan sebuah cahaya lampu yang menyala. Ada dua jenis sumber cahayanya; salah satu bersumber dari baterai dan yang lain bersumber langsung dari sumber daya pembangkit PLN. Tentu yang bersumber dari baterai tidak selama dari pada cahaya lampu yang bersumber langsung dari daya pembangkit listrik. Ucapannya mampu mengandung kecerdasan yang paripurna.” Petunjuk menganalogikan.
“Kau akan menemukan teman yang seperti itu ketika kau bersungguh-sungguh untuk menemukannya. Karena sungguh merugi dirimu jika kau tidak menemukan teman yang satu ini, padahal sudah begitu jelas kebenarannya.” Petunjuk menutup.
Setelah berkata seperti itu kulihat seorang yang berkata panjang lebar pergi menghilang dibalik bacaan al-Quran. Sedangkan yang sedari kemarin mengeluh kepada Petunjuk pergi ditelan kegelapan. Satu yang kuingat dari mereka, teman. Teman yang paripurna. Aku harus mencarinya. Aku akan mencarinya, dan suatu hari nanti aku akan pergi ke Mesir.
***
Pelik bukan permasalahan yang tengah merundung Rido. Baiklah kita lupakan saja pembaca. Mungkin permasalahan hidup kita sudah terlalu rumit untuk ditambahi dengan permasalahan yang dirasakan oleh Rido. Baiklah pembaca, mari kita tuntaskan kisah tiga santri ini.
[1] Ungkapan dari kitab al-Hikamnya Ibnu ‘Athaillah yang diterjemahkan dari The Wisdom of Ibn ‘Ata Allah terbitan PT SERAMBI ILMU SEMESTA, Cet. ke-1, Juni 2004, hlm. 43.
Post a Comment