Seberkas lanskap orange mulai membuat garis diujung ufuk timur. Semburatnya mengingatkan manusia untuk memasuki waktu Dhukha. Betapa waktu Dhukha adalah misteri bagi datangnya petunjuk. Sebagai tanda pula bagi santri yang sekolah untuk bergegas menyiapkan diri berangkat ke sekolahan.
Jejak-jejak langkah itu mulai menderap ubin pondok yang menua dimakan kusam. Baju yang kusut tanda tak disetrika dipakai untuk berangkat ke sekolah. Hanya saja baju itu wangi baunya digosok dengan minyak-minyak untuk jumatan.
“Aku mangkat kuliah Kang.” Rido pamit pada Fadil yang sedang membaca al-Quran di teras kamar.
“Seng ati-ati Do.”
“Siap, Pak Ustadz.” Rido membalas Fadil dengan acungan jempol.
Rido berangkat sendiri ke kampus melintasi mimbar-mimbar kota ini. Melewati banyak lampu merah dan persimpangan jalan. Diujung paling utara Pekalongan tempat yang sedang ia tuju. Suara klakson, mobil, bis, motor bersautan menemani pagi. Becak dan dokar mulai sulit dijumpai dijalanan kota ini. Tampak hotel-hotel baru dibangun dipusat kehidupan kota. Entah siapa yang akan meniduri kasur-kasurnya yang empuk. Mungkin orang-orang dari Jakarta yang akan meninggalinya. Membawa segala sesuatu yang aneh-aneh bagi kehidupan orang desa sepeti Rido.
Setelah tiba pada bangunan yang tampak hijau pada kiri jalan, Rido menurunkan kecepata motor dan masuk kedalam bangunan megah itu. Kuliahnya hari ini akan dimulai pukul Sembilan. Untuk mengisi waktunya, Rido mulai meneruskan membaca al-Hikamnya Ibnu Athoillah. Dibacanya lembar demi lembar penuh penghayatan. Dirinya begitu menikmati hidangan dari Mesir itu. Dan tak lama kemudian dirinya merasakan pemahaman yang berdatangan begitu derasnya mengobati dahaga pengetahuannya. Pencariannya masih terus berlangsung tanpa henti wahai pembaca yang budiman.
Pada seperempat jam sebelum jam kuliah dimulai ia yang tengah duduk di teras masjid kampus melihat dua orang yang tengah berbicara. Sungguh aneh dua orang yang dilihatnya itu. Dilihatnya seorang yang penuh kedamaian senantiasa menjawabi segala keluh kesah dari seorang lagi yang tampak begitu kusut dan tak terurus. Ia pandangi lekat dua makhluk itu, al-Hikamnya masih terbuka. Mahasiswa yang berseliweran tak dilihatnya lagi. kini tatapan matanya lekat memandang dua makhluk yang tengah berdialog tepat dipelataran masjid kampusnya. Matanya lekat dan telinganya seksama menyimak apa yang tengah mereka perbincangkan.
“Begitukah kejadiannya? Apakah kau tidak pernah mengikuti pengkajian di pondok-pondok?, sehingga untuk Tuhan yang sebenarnyapun tak engkau tahu?” Tanya seorang yang bercahaya kepada seorang lagi yang kusut tak terurus.
“Bagaimana aku akan tahu kebenaran yang kau bicarakan, sedangkan di pondok-pondok begitu banyak pendapat yang diajarkan. Ada yang ini. Ada yang itu. Banyak sekali pendapat-pendapat yang diajarkan tanpa kontrol untuk mengikuti salah satunya.” Tampak seorang yang kusut protes kepada yang satunya lagi.
Rido masih seksama menyimak mereka berdua. Dilihatnya dua orang itu semakin seru membincangkan sesuatu yang menarik hatinya. Ia pusatkan seluruhnya untuk memahami apa yang tengah alam persembahkan untuk dirinya. Rido tampak lupa kalau hari ini ada jam kuliah yang harus ia datangi. Mungkin saja ia tak lupa, namun duduknya masih rekat pada lantai pelataran masjid kampusnya itu. Dan seluruh konsentrasinya tersedot pada adegan dua makhluk yang tak dikenalnya itu.
Lantas seorang yang dipahami sebagai Manusia melanjutkan,“Aku mengikutinya hanya menurut kehendak nafsuku, aku mengikuti pendapat “ini” karena mudah, simpel, tidak berat, aku mengikutinya atas pertimbangan hawa nafsuku bukan dari petunjuk seorang guru mulia. Sehingga bertahun-tahun pula kehidupan spiritualku, moralku, intelektualku hanya mengacu pada nafsuku; bukan pada petunjuk seorang yang wala’ dan bara’nya diketahui, seorang yang jarh dan ta’dilnya tidak lagi diperdebatkan karena ilmunya yang menyeluruh, dalam, dan dapat dipercaya bukan karena mengikuti hawa nafsu yang logika akal sehatpun digunakan sebagai alat pembenarannya.”
“Lagi-lagi hanya penyakit yang aku dapatkan. Sekarang bukan pikiran saja yang terserang penyakit. Tetapi penyakit hati yang mulai menggejala. Hatiku mulai ditumbuhi ujub, dengan meyakini bahwa pendapatkulah yang terbenar dan yang lain salah. Padahal ada satu hal yang sering kali aku lupakan. Darimanakah pendapat itu aku ambil. Dari orang yang jujurkah? Dari orang yang cerdaskah? Dari orang yang pengetahuannya integralkah? Dari orang yang epistem agamanya kuatkah? Atau dari sekedar orang yang punya ilmu? Atau dari orang yang sekedar ahli? Atau dari orang yang ahli ilmu juga berakhlak? Atau dari orang yang ahli ilmu, ahli ibadah juga adil? Dari siapa pendapat itu aku ambil?! Terkadang aku lupa untuk menimbang hal itu. Padahal aku meyakini bahwa tak ada yang pantas mengajarkan kebaikan, kecuali dari orang yang baik. Aku tak mungkin ittiba; padahal seharusnya iqtida’, akupun tak seharusnya iqtida’ padahal cukup ta’assi.”
“Sungguh. Aku tak mengenal perdebatan yang seperti itu dibangku kuliah.” Batin Rido.
Pada tempat parkir tampak mobil hitam dimatikan mesinnya. Tak berapa lama tampak seorang mengenakan kemeja cokelat dan celana hitam turun dari mobil itu. Pada saat itulah kesadaran Rido kembali saat lelaki yang mengajar kuliah pagi ini keluar dari mobilnya dan menuju kelas Filsafat.
***
Tentang diriku dan al-quran.
”Do, sampai juz berapa setorannya?” Tanya Kang Slamet sehabis Rido menyetor hafalannya pada Kiai Hasan.
“Alhamdulillah sudah juz sepuluh Kang.” Jawabnya pada Slamet.
“Masih dua puluh lagi to?”
“Enggeh Kang.”
“Semangat Kang. Biasanya Abah itu ketat dengan santri yang nyambi hafalan.”
Terlihat beberapa santri berlarian di pelataran depan asrama putra. Sambil kembali ke asrama mereka saling melepas canda. Melupakan beban kehidupan yang semakin hari semakin menggung. Melupakan kiriman uang dari orang tua yang datang terlambat. Kembali mengambil hak mereka sebagai anak-anak untuk bermain riang dan penuh tawa.
Ditengah perjalanan dari Masjid menuju kembali ke kamar. Rido melihat dua orang yang kemarin dilihatnya pertama kali di masjid kampus itu. Dua makhluk itu sering kali datang secara tiba-tiba pada Rido. Seolah keduanya adlah petunjuk dan permasalahan yang Tuhan kirimkan sebagai guru mulia yang mendatanginya dengan jelas.
Dua makhluk itu datang tak mengenal waktu dan tempat untuk membincangkan sesuatu didepan Rido. Seperti saat ini dua orang yang bercahaya dan kusut itu mulai berbincang pada saat Rido memulai meneruskan membaca al-Qurannya pada Juz sebelas.
“Aih, betapa kasihannya kau selama ini Manusia.” Petunjuk bergumam, sambil terus memancarkan sinarnya pada malam yang semakin kelam menyelimuti Manusia.
“Benarlah apa yang kau katakan Petunjuk? Aku meyakini bahwasannya al-Quran bebas tafsir. Aku boleh menafsir al-Quran semauku selama aku melandasinya dengan sebuah catatan yang kaya akan ilmu pengetahuan. Tanpa, harus orang mengetahui akhlakku, moralku, kecerdasanku.”
“Aku boleh memaknai al-Quran semauku. Sebab, saat itu aku tunduk pada berhala hawa nafsu yang sudah aku buatkan kuil di dalam hatiku. Apakah ada yang mau menjamin kebenaran pendapatku. Walau terkadang aku berpikir bahwa tentu aku orang yang berakhlak karena mengetahui banyak ilmu al-Quran. Padahal sekali-kali tidak, terkadang aku memakai kopiah agar aku tampak sebagai seorang yang taat, aku ujub lewat bahasa agama. Terkadang aku kebingungan siapa seharusnya yang aku ikuti. Aku sudah kehilangan niat benarku. Siapa yang bisa membenarkan aku wahai Petunjuk?”
Saat itulah Petunjuk mulai bercerita kepada Manusia yang sedari tadi kehilangan semangat “Bala”nya itu.
“Manusia aku pernah mendatangi sekelompok manusia yang meyakini, bahwa tak ada pakaian muslim, tak ada pakaian islam yang pasti. Bahwa yang pasti dalam islam adalah menutup aurat yang sudah ditentukan oleh imam mazhab fiqh. Salah satunya adalah Imam Syafii. Ketika kau mengikuti mazhab ini berarti kau harus menghormati sistem yang mengatur dalam mazhab ini. Kau tidak dipaksa memakai sarung dan baju koko serta kopiah, tidak juga baju gamis. Terserah kau mau pakai baju model apapun sesuka hatimu selama kau mengikuti sistem dan peraturan yang ada dalam mazhab itu. Saat itu kau hanya boleh mengikuti satu pendapat, dan tidak boleh mencampuradukan semau hatimu. Ketika hal itu kau lakukan, berarti kau telah menghilangkan ketaatanmu pada seorang guru dengan penghianatan dengan menyembah berhala nafsumu.” Jawab Petunjuk.
Namun, akhirnya Manusia termenung. Bagaimana bisa aku memahami hal kebenaran dalam al-quran, jika al-quran itu sendiri adalah sebuah kitab suci yang mengandung i’jaz, bagaimana kalau aku terjebak pada tanda itu sendiri, aku lebih memperhatikan i’jaznya. Dari pada melaksanakan apa yang tanda itu tunjukkan. Aku terlena pada al-quran, sehingga aku lupa apa yang al-quran informasikan. Bagai rambu-rambu lalu lintas yang terbuat dari emas. Aku tentu lebih memerhatikan rambu-rambu itu dari pada pesan yang diinformasikan oleh rambu-rambu itu. Hasilnya adalah; aku hanya bisa menghafal al-quran tanpa mengetahui apa sebenarnya yang diinformasikan oleh al-quran.[1]
Aku terjebak pada tanda. Lagi-lagi aku menambahkan satu berhala dalam hatiku. Aku berusaha sekuat tenaga menghafal al-quran, dan itu hanya rutinitasku saja. Lantas kapan aku akan mengamalkan isinya, perintah Tuhan yang “Alastu Bi robbikum?” Aku terlalu terlena menghafal peraturan. Aku terlalu terlena menghafal undang-undang. Namun aku lupa melaksanakannya. Sehingga banyak pejabat yang tahu aturan, tetapi masih korupsi, memakan uang yang bukan haknya. Sebab, sejak kecilpun sudah diajari untuk menyembah berhala di hati dan dalam pikirannya.
“Petunjuk, aku lupa dengan “Rubba qoriil quran wal quranu yal’anuh”. Bagaimana keadaanku ini wahai Petunjuk, bisakah kau menolongku, membawaku kepada satu kebenaran. Aku sudah lelah dengan semua omong kosong ini. Aku ingin menjadi orang yang termasuk ‘Syafi’an li Ashabih’. Bukankah sudah jelas, ‘Ashabih’ bukan ‘Qurraih’ atau ‘Khuffadhih’? Namun, kenapa aku masih saja mengekuti hawa nafsuku dan menjadikannya ittiba’. Aku tersesat petunjuk, aku tersesat. Aku jahil petunjuk, aku jahil!” Manusia mulai merengek lagi kepada Petunjuk di dalam mimpi-mimpiku.
“Petunjuk, aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang akan sesamaku katakan kepadaku. Aku lebih menyukai kebenaran daripada kemunafikan. Aku lebih suka kesepian kalau memang harus aku ditinggalkan golonganku sendiri karena aku tidak mengikuti apa kemauan berhala yang ada dalam pikiran mereka.”
[1] Analogi dari pemikiran Sayyid Naguib dalam buku Sungai Tak Bermuara karya Ismail Fajri al-Atas. DIWAN, cet. Ke-1, 2006, hlm. 112-113.
Post a Comment