Kang! eps.22

Kang! eps.22

Seperti biasa kuliah filsafat selalu menyenangkan, hari ini pukul 9.50 kuliah Filsafat Islam diisi pembahasan indah mengenai wujud, buku terjemahan karya Mulla Sadra menjadi pegangan wajib.
Pertentangan antara aliran Suhrawardi dan Sadra begitu menawan dijelaskan oleh Doktor Fajri. Aliran Sadra menganggap asal segala sesuatu adalah wujudnya, ‘asalah wujud, sedangkan aliran pendahulunya -suhrowardi- menganggap bahwa hakikat atau maahiyyah segala sesuatulah yang menjadi sumbernya.[1]
 Aku selalu tertarik dengan filsafat islam, membangun jati diri melalui penjelasan-penjelasan logis. Namun, hal yang aneh terjadi padaku, ada sesuatu yang tak begitu logis untuk kupahami. Sesuatu yang sudah jelas dari Najma berupa penolakan yang nyata tetapi rasa masih saja berkehendak yang lain.
“Dahulukanlah logika, kemudian realita, sesudah itu baru rasa” Kata Doktor Fajri menutup materi. Membuat seisi kelas tertawa, lucu sekali sebab sebuah satire yang terangkum dalam kata-kata yang singkat, elegan dan mudah dicerna. Dan saat kuliah pagi itu selesai, jam di dinding tepat menunjuk pada pukul 12.20.
Selepas kelas usai, aku bergegas keluar mencari Marwa untuk menitipkan suratku kepadanya. Marwa adalah teman dekat Najma dari jurusan Ekonomi. Aku diminta menemuinya di taman yang terletak di tengah komplek kampus.
Kebetulan sekali saat berjalan menuju taman aku berpapasan dengan Rido. Jadi, aku tidak sendirian menemui Marwa. Rido adalah sahabat terbaikku yang selalu mendapat juara kelas setiap tahun di SMA dulu. Jalannya tegak, pandangannya gagah kedepan, mata dan telinganya selalu awas, dan terakhir tentu saja dia pintar. Dengan tubuh berbobot 58 kg dan tinggi 175 cm, sangat ideal untuk seorang pria.
Saat berjalan dengan Rido kita berdua membicarakan tentang perayaan maulid Nabi yang akan segera diselenggarakan di pondok nanti malam. Pondok akan ramai sekali oleh para santri yang bersuka cita atas perayaan kelahiran manusia sejati yang menjadi suri tauladan seluruh penduduk bumi.
Setelah kurang lebih tiga menit berjalan aku melihat wanita duduk sendirian menunggu, lantas aku membuka:
“Assalamualaikum. Marwa?” 
“Waalaikumsalam. Iya betul. Fadil? Pasti dapat nomor teleponku dari Najma.”
“Iya. Maaf tidak sempat minta izin dulu. Oiya, Najma kemana tidak masuk kuliah?”
“Hmm...”Menghela nafas panjang dan menunuduk. Lantas menjawab,” Dia sakit Dil. Sudah dua hari sejak ahad kemarin.”
“Kenapa?” Dengan rona yang khawatir Fadil bertanya.
“Tenang, sakit panas biasa. Besok sama temen-temen mau jenguk, mau ikut?”
“Besok ya. Maaf tidak bisa, aku ada kuliah sampai sore. Em, ini saja aku minta tolong kamu. Tolong sampaikan suratku ini kepada Najma. Semoga lekas sembuh buat Najma.”
“Aamiin. Surat apa Dil?” Tanya Marwa penuh selidik.
“Sudah sampaikan saja. Terimakasih ya, Assalamualaikum.”
“Hmm..,” Marwa mendengus kesal lalu,”Waalaikumsalam.”
Setelah pertemuan di taman dengan Marwa, Fadil pulang bareng bersama Rido. Dijalan menuju pondok Fadil memikirkan Najma yang sakit. Melamun. Melintasi menara-menara masjid kota ini. Pekalongan.
***
Selasa ini, sore yang telah dijadwalkan Marwa. Dia pergi menjenguk Najma yang sudah dua hari semenjak ahad lalu terbaring sakit. Marwa terlalu tahu apa penyebabnya. Najma pastilah terlalu banyak melamun. Terlalu sulit membedakan nyata dan hayal. Saat dikampus kondisinya lebih baik lagi. Najma dapat berinteraksi dengan kawan-kawan. Kondisi yang berbeda tampak saat Najma kembali ke rumah. Sendiri dan sepi yang mengepungnya dari berbagai arah, hanya tembok bisu yang menemani waktunya saat sendiri di rumah.
Berbicara dengan orang rumah bukanlah solusi yang Najma pilih. Terlalu riskan untuk diketahui oleh keluarga apalagi ayahnya. Kedatanganku adalah pelipur lara bagi Najma. Sahabat sekaligus dokter bagi Najma. Sore ini aku datang bersama Putri menjenguk Najma membawa penganan kesukaan Najma. Batagor, dan tak lupa surat dari Fadil.
Saat aku sampai dirumah Najma, ibunya yang membukakan pintu ketika kuketuk. Ibu Najma sudah sangat tahu persahabatan kami bertiga, aku-Najma-Putri. Ibu Najma langsung mempersilahkan aku masuk dan ditemani menuju ke kamar Najma.
Ibu Najma langsung mengetuk pintu kamar Najma,”Naj, ada Marwa dan Putri.” Tanpa dibukakan oleh Najma, ibu Najma langsung membuka pintu dan mempersilahkan aku dan Putri masuk.
Aku dan Putri berterimakasih kepada ibu dan masuk ke kamar Najma. Aku lihat wajah Najma pucat dan letih dengan senyum kecil yang mengembang dari bibirnya.
“Bagaimana keadaanmu Naj?” Sapa Putri sambil membalas senyum yang lebih lebar kepada Najma.
“Hm, ternyata tuan puteri sedang sakit. Ini kubawakan surat dan makanan kesukaanmu.” Lanjut Marwa.
“Hmm... Enak, surat dari siapa ni?” Gurau Putri demi melihat senyum itu mengembang lagi.
“Apa sih Putri ini.” Balas Najma geregetan.” Mana batagornya, suratnya buat Putri saja Marwa.” Lanjut Najma membalas Putri.
“Jangan Naj, ini khusus buatmu dari Bapak Penulis Fadil.” Tegas Marwa. Fadil dikenal sebagai seorang santri yang suka menulis di kampus. Cita-citanya sejak kecilpun menjadi penulis. Selain itu, Fadil dikenal karena kedua sahabatnya yang lain, Barok dan Rido.
Mata Marwa melirik kepada Putri, tersenyum menang.
“Iya. Aku kalah. Mana suratku.” Pinta Najma kesal.
“Ini Naj. Kemarin Fadil menitipkan ini padaku. Aku ketemu dia di taman kampus.” Jelas Marwa tanpa diminta demi melihat pertanyaan yang muncul dari mata Najma.
Najma menerimanya dan mulai dibuka, lalu membacanya. Sampai akhir, lalu dilipat kembali. Disimpan kedalam lemari.
Selepas itu dengan hati-hati sekali Najma meminta Marwa dan Putri agar tidak membahasnya. Tentang surat-surat itu.
 Sore itu langit hujan kembali mengguyur kota pesisir utara Pekalongan. Sampai sore pukul 16.00 Marwa dan Putri minta diri. Pulang.
***
Dua minggu setelah kutitipkan suratku kepada Marwa atau tepatnya 29 Juli 2014, surat balasan dari Najma aku terima. Surat yang panjang dan melelahkan untuk membacanya. Bukan karena tulisan yang begitu banyak, tapi hati yang terlalu lelah untuk memahami isinya.
Aku terima langsung dari Najma, pukul 13.00 setelah usai kuliah Linguistik. Najma langsung minta diri, begitu berkarakter, anggun sekali. Aku terima surat itu, aku lihat dan kumasukkan kedalam tas. Aku pulang.
Langit siang ini cerah.  Awan berak-rak menghiasi ufuk langit. Aku berjalan keselatan dari kampus. Sejauh lima kilo meter. Tepat diperempatan, aku belok kanan. Lurus menelusuri jalan. Persis pada kilo meter pertama aku menepi, masuk kedalam Pondok Pesantren Darul Khasan jalan Merak No. 5. Aku menuju kamarku. Di asrama putra Pondok Pesantren Darul khasan. Membaca khusuk surat dari Najma.
“Kang, ini jadwalmu ngajar kan?” Rido mengingatkan Fadil yang baru pulang kuliah.
“Astaghfirullah, benar kau Do. Terimakasih sudah mengingatkan. Hampir saja aku membuka suratku. Eh...”
“Surat apa?”




[1] Ungkapan ini penulis simpulkan dari Bab Asalah al-Wujud dalam buku Filsafat Wujud Mulla Sadra karya Dr. Syaifan Nur, M.A. Pustaka Pelajar, cet ke-1,  November 2002, hlm. 165-180.

0/Post a Comment/Comments