Kang! eps.21

Kang! eps.21

Aku, “Fadil.”
Masih sangat pagi sekali ia terbangun, masih pukul 3.00 dini hari matanya sudah sulit untuk terpejam lagi. Segera ia geraikan selimutnya, beranjak dari tempat tidur, tertunduk berjalan sambil mengucek mata menuju keluar kamar empat kali tiga meternya. Meninggalkan Rido, Barok dan tiga kawan pengurus Darul Khasanlirboyo.net yang lain. Menyalakan lampu kamar kemudian menuju kamar mandi. Sesuci lantas kembali ke kamar.
Segera saja ia kenakan sarung, baju koko dan kopiah songkoknya. Menggelar sajadah kearah kiblat. Takbiratul ihram,”Allahu Akbar,” Shalat lail didirikan.
Pemuda itu tanggung, berusia 22 tahunan semester lima jurusan bahasa dan sastra arab di kampus Islam Negeri satu-satunya di Pekalongan. Badannya agak berisi, tinggi tubuhnya ideal. Rambutnya lurus, mata bulat blalak, dan kuping yang lebar. Namanya Abdullah Fadil.
Setelah usai shalat ia menuju ke kamar pengurus asrama putra membangunkan pengurus bagian keamanan untuk segera membangunkan para santri untuk segera bermunajat malam. Begitulah tradisi yang ditanamkan di pesantren. Disiplin terhadap waktu serta pengabdian penuh terhadap ilmu dan kyai.
            Malam ini gemintang cerah, seperti biasa kawan-kawan santri dan aku menikmati panorama indah ini setiap usai setoran al-quran kepada abah. Namun malam ini aku urungkan niatan untuk menikmatinya. Aku langsung menuju kamarku di lantai dua asrama putra. Ada sesuatu yang harus segera aku tahu di dalam sana.
 Siang tadi usai kuliah aku terima surat balasan Najma tepat satu minggu setelah kuberikan suratku padanya, tepatnya pada tanggal 5 Juli 2014 surat balasan ini aku terima langsung dari Najma.
Tidak kalah rapi, surat itu ditulis dengan font Adobe Caslone Pro ukuran empat belas, dicetak, dilipat dua bagian dan dimasukkan kedalam amplop berwarna  cokelat.
            Saat itu aku sedang jalan kaki menuruni tangga dari lantai dua usai kuliah Semiotik, suara yang senantiasa aku ingat memanggilku,”Fadil.” Singkat saja panggilan itu. Aku menoleh ke arah belakang, tepat dua anak tangga dibelakangku Najma berdiri memegang amplop berwarna cokelat di tangan kanannya.
Agak tersengal setelah berlarian dari kelas, Najma membetulkan alur nafasnya dan tangan kirinya membenarkan posisi tas dan kerudungnya. Lalu mengucapkan kata yang kedua,”Ini!”Dengan menyerahkan amplop itu Najma langsung turun dan pergi mendahuluiku.
Aku pandangi punggung yang segera tertelan tembok gedung akademik. Setelah tubuh Najma lenyap dari pandangan, aku tatap agak lama amplop cokelat itu, kubolak-balikkan, lalu segera saja kumasukkan kedalam tasku. Aku berjalan lagi. Pulang ke pondok.


To Fadil
Kadang ada sesuatu yang tidak tahu adalah jawaban terbaiknya. Tidak semuanya harus kau tahu. Begitu juga untuk masalah yang satu ini. Biarkanlah isi hatiku tetap menjadi misteri, dan biarkanlah Tuhan yang menjawab. Kita tunggu bersama jawaban Tuhan. Jawaban Tuhan tidak berarti harus “iya” sesuai dengan kehendak hatimu. Jawaban Tuhan, itulah terbaik yang telah Tuhan persiapkan buatmu. Tidak harus aku menjadi sesuatu yang kau miliki.
Semua ini gak bakal ada ujungnya kan, balikin semua ke Allah.
Najma.
***
Surat kedua
Aku buka lagi lipatan surat balasan dari Najma itu untuk yang kesekian kalinya tepat saat adzan dhuhur berkumandang dari masjid pondok. Surat itu sudah lama kubiarkan tergeletak diatas meja kamarku, membiarkan amplop cokelat membisuinya dengan sangat. Setelah satu minggu, aku mulai tertarik untuk mengambilnya selepas kuselesaikan menulis tugas Diakronikku.
Aku baca dengan seksama, kata per kata, singkat memang. Tapi aku kira itu layaknya uranium yang sedikit tapi mampu bereaksi inti dan meledakkan seluruh pulau Jawa.
Aku paham, sepaham-pahamnya isi surat dari Najma itu. Bayangku pun kembali pada sebuah forma yang merefleksikan pada objek kegundahan hati Najma.
Seperti biasa Najma duduk paling belakang di bangku kelas. Dia suka menyendiri.  Dia terhitung mahasiswi cerdas di kelas, suka melamun tapi tetap rajin.
Aku suka mengamati Najma, sikap yang aneh bagi mahasiswi baru, tidak nampak pada air mukanya keceriaan sedikitpun. Kosong. Hal itu nampak jelas, saat kelas istirahat.
Tepat saat itu kuliah malam. Sekitar pukul 18.00 aku melihatnya sendiri, duduk di bangku kantin. Tatapan lelah dan sayu, memegangi bolpoin dan mencoret-coret kertasnya. Tatapan yang sembilu, sedih. Aku tahu persis adegan yang disuguhkan Najma malam itu. Adegan kesedihan yang dalam. Hal itulah yang sangat menginspirasi diriku untuk mulai menulis surat balasan dari Najma. Akupun mulai membalas surat dari Najma:

Buat Najma,
Bayangkan, seandainya waktu tiba-tiba terhenti. Bunga-bunga di taman lupa bermekaran. Burung-burung berhenti berkicau. Bumi lupa berotasi. Dan alampun berhenti berputar. Ini tanda kegalauan yang dalam.
Pada suatu jeda yang kau buat bisu itu, kau mendengkuri kenyataan makna kegalauanmu. Apatah mau dikata, kau inginkan sesuatu yang jauh. Jauh. Sejauh perasaan rindumu kepadanya.
Terlihat sembilu alunan layu pada raut wajahmu. Aku kenal kau sejak awal semester masuk kelas. Wajahmu yang berkarakter, lewat matamu yang pandai mengisahkan alur hidupmu. Terkadang sembilu, terkadang berbinar, terkadang entah kenapa mata itu tampak memelas, memandangku tanpa makna. Kadang matamu mengisahkan kemandekan alur rasamu...
Rasa yang mampu memberimu sebuah kekuatan. Kekuatan yang mampu membungkam setiap kata darimu. Kekuatan yang mampu membuatmu tetap bertahan sejauh ini. Alangkah rapuhnya dirimu tanpa kekuatan itu.
Sebuah kekuatan yang menjadi sandaran hidupmu, gelak  tawamu.  Kekuatan yang dipancarkan oleh seorang pemuda kediri. Nan jauh disana. Apatah mau diprotes jarak Pekalongan-Kediri yang membentang. Memisahkan jeda hatimu dengan pangeran Kediri itu. Jeda yang membuat sembilu kelopak matamu. Jeda yang mampu membungkam luapan cintamu. Walau terkadang mata itu bercerita kerinduan hatimu. Sekedip kemudian dukalara keraguanmu.
Mata yang selalu pandai bercerita, mengisahkan ketidaktahuan kapankah jeda itu akan segera berakhir.”Aku mau kegundahan, kehilangan, kegalauan, kerinduan, jeda hidup, ketidakbersamaan. Asal semua itu, kisah itu terjadi bersamamu.”
Matamu berkisah, seolah tidak ada lagi tempat untuk orang lain. Seolah mata itu berkata; “bahwa hanya dia laki-laki yang pantas bersanding denganmu”.
            Aku hanya tidak tahu mengapa aku harus masuk kedalam adegan kisahmu itu. Aku terlalu tahu kekuatan cinta. Kekuatan yang mampu merubah segalanya. Apapun itu, mampu dirubah oleh satu kata; “cinta”.
Aku hanya termenung melihatmu menyuguhkan alunan baladamu. Menarikan tarian kerinduan yang membeku, tertahan dalam sebuah jeda. Melihatmu menampilkan kolosal kisahmu. Aku tak tahu kenapa harus kamu. Terlalu banyak kata tanya “How?” yang harus kita selesaikan jawabnya. Bermakalah; mungkin. Mungkin jawaban yang bereferensi banyaknya. Aku hanya tak tahu rasa ini.
Aku ingin kata yang mewakili rasaku ini adalah sebuah kata lain; yang lain dari kata cinta. Suatu kata yang setingkat diatas kata cinta. Perasaan yang -apa adanya- kurasakan. Se-apa adanya aku sayang kamu. Mencintaimu dengan sederhana. Se-sederhana makna kata apa adanya mencintaimu secara sederhana. Bagai kata yang tak terungkapkan, membeku dalam dasar jiwa. Rasa yang tertulis dalam gerak tingkahku. Sebuah rasa yang terhidu hanya oleh kamu. Rasa yang tak akan terungkap hanya dengan rangkaian kata. Tetapi mengalir dalam setiap hari demi hariku. Sesederhana teh hangat dan wafer tango.
Aku tak akan menghayal lebih tentang rasaku. Hanya akan menjalaninya hari demi hari. Menemani setiap nafasmu dengan dia-vice roy kediri-. Karena semua bagian hidupmu selalu membawaku untuk lebih dekat merasaimu.
Teruslah tertawa, karena hanya dengan itu aku dapat merasakan hadirmu, dalam sembilu. Merasakan hadirmu apa adanya dirimu. Sembilumu, binarmu, sedihmu, tawamu. Apapun itu, asalkan semua itu tentang dirimu. Penjaga mata indah yang terhias oleh lensa.



0/Post a Comment/Comments