Surat-surat.
Ketika cinta sudah memeluk hati kang santri siapatah yang mampu menghujatnya? Apakah sama yang mereka rasakan ketimbang sebuah rayuan kosong. Cinta yang dipengaruhi oleh ilmu, keadaan spiritual, dan pemahaman tentang kehidupan tentu berbeda kualitasnya dengan cinta yang terjajankan begitu murahnya dipinggir-pinggir jalan dusta. Cinta memang tak seorangpun dapat menolaknya, dirinya adalah sebuah realitas yang memang begitu adanya. Dan sejarah adalah saksi bagi kehidupannya. Taj Mahal, Borobudur, Ramayana, Arus Balik, semua itu epos agung tentang cinta yang membuat pemiliknya berani berbuat. Setiap orang yang dilanda cinta pasti menulis, entah itu sekedar curahan isi hatinya, atau memang obat penawar kerinduan hatinya.
Dan surat adalah saksi bagi sebuah roman yang senantiasa mengembuskan napas kehidupannya. Surat-surat adalah kebahagiaan tersendiri bagi sepotong sejarah kehidupan anak manusia. Kenapa tidak, bahkan Arthur Eddington seorang ahli fisika Inggris menyurati Albert Einstein di Jerman demi sebuah kebenaran sejati tentang Gravitasi. Kenapa pula tidak, kalau Sayyiduna al-Musthafa juga menyurati para raja untuk berserah dibawah kuasa Tuhan yang Maha segala Maha. Kenapa tidak, bahkan raja-raja besar tanah jawa juga berkirim surat kepada para raja. Maka surat adalah kebiasaan dan sunnah orang-orang besar.
Dalam kisah inipun akan terpapar segala gejolak jiwa pemerannya dalam lembar-lembar surat. Segala asa akan terjawab dalam larikan-larikan kata yang terangkai dalam surat. Semua ini tentang surat. Surat-surat yang dikirim oleh seorang santri kepada sepenggal hidupnya. Surat sebagai sebuah perwujudan mimpi dari penulisnya. Surat yang ditujukan kepada seluruh cita cintanya, surat yang berisi kejujuran-rayuan hatinya. Untuk seorang yang matanya senantiasa bersembunyi dibalik lensa kacamata. Seorang yang tangannya selalu lentik untuk menulis, seorang yang bisikannya adalah kehidupan. Seorang yang kisahnya terucap dalam pandang matanya. Semua ini tentang kisah mereka berdua. Ya, semua kisah ini terangkai untuk menceritakan kisah cinta Kang Santri yang tersembunyi dibalik kamar-kamar pondok pesantren.
***
Tertanggal 15 Juli 2014 surat kedua dari Fadil datang. Demi membuka suratnya hatiku bergumam, ”Aku hanya butuh waktu untuk memulihkan semua ini, dengan atau tanpa kedatanganmu aku tetap akan pulih.”
Kau anggap aku wanita lemah, sekali-kali tidak. Aku kuat, sekuat untuk mengobati setiap rasa sakit yang lelaki datangkan. Lelaki yang pandai merayu, bukanlah pilihan yang terbaik jika persiapanpun belum dimiliki.
Kau lelaki bodoh, selesaikanlah studimu. Dengan atau tanpa aku, kau tetap akan menemukan yang kau cari. Aku tidak akan pernah membiarkanmu masuk kedalam taman hatiku. Aku hanya takut, suatu saat Faisal akan datang kembali memenuhi janjinya. Dan saat itu kau bukanlah apa-apa bagiku. Tapi, untuk sementara waktu, duduklah, jadilah teman yang mengisi keceriaan hari-hariku. Aku akan sangat berterimakasih untuk itu.”
***
kau, “Najma”
Jika mata adalah sebuah refleksi diri yang menggambarkan sejuta kehidupan hatimu. Maka, akulah orangnya yang senantiasa mereduksi setiap gambaran yang kau imajisanikan.
Kau tahu. Matamu selalu pandai berkisah. Mata yang sayu. Menatap dalam pada kedalaman diri. Mengambil sekotak harapan yang terkunci rapat oleh seorang laki-laki yang jauh di alam hayalmu.
Kau memang selalu pandai berkisah, lewat matamu, lakumu, semua yang terejawantahkan dari dorongan kehendak segala rasamu.
Kau tahu, kehidupan bukan sekedar tentang keinginan. Terkadang memberikan hal yang terbaik kepada waktu adalah obat yang paling manjur untuk mendamaikan kau dengan waktu. Segala yang terjadi dalam waktu memang tak seharusnya melemahkan kekuatanmu untuk melanjutkan kehidupan. Seberapapun kerasnya kesetiaan yang kau persembahkan akan berbanding lurus dengan pesakitan yang akan kau rasakan.
Terkadang, diri memang lupa untuk siapakah sepantasnya kesetiaan itu diberikan. Kau tahu, diluar sana ada yang setia teratasnamakan sebuah agama, ideologi, politik dan ya piuh... kadang cinta digeneralisasikan kesana.
Seperti kau, kesalahan subyek yang harusnya tak pernah kau datangi. Setelah kau tahu, hatimu ringkih, serapuh tangis yang senantiasa memecah setiap sepertiga malammu.
Harusnya kau kuat tidak terakarkan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, malah kekuatanmu harus terkuadratkan, melipat ganda untuk lebih berani menjalani kehidupan.
Tahulah kau, “jika” adalah sebuah retorika analogis akan keadaanmu. Sebuah satire akan kesedihanmu. Keberadaanmu dalam jaring raksasa kehidupan tentu sudah digariskan oleh Kain yang bertitah Kun pada kehampaan maujudat, sehingga fayakunpun mewujud dalam kelindan waktu egomu. Sambutlah Najma.
Seorang laki-laki tak akan pernah datang tanpa suatu tujuan. Dalam hatinya ada sebuah dorongan yang membuatnya berani mendatangimu.
Bukan karena apapun yang menjawab pertanyaan mengapa. Namun memang dorongan rasa itu lebih kuat daripada jawaban-jawaban yang kau minta dari pertanyaan mengapa.
Rasa itu tak akan tumbuh pada sembarang laki-laki Naj, tapi hanya pada laki-laki yang jujur mengakui rasa yang menggelayutinya. Sejujur-jujurnya tanpa interpretasi apologi, tetapi sebuah ontologi lebih tepatnya.
Sesuatu yang tak akan terpahami sekedar hanya dan jika hanya dengan premis-premis wacana. Tahulah, Naj. Itu juga bukan karena gejala neurologis syaraf yang mempersepsikan keberadaanmu menjadi sebuah persepsi akan perasaan yang disimpulkan sebagai sebuah cinta.
Jika begitu maka Kain telah membuatnya begitu sepele Naj. Padahal hal itu merupakan sesuatu paling suci yang dapat manusia miliki. Maka, jika hal itu telah datang sambutlah Naj, dan aku datang untukmu. Duduk dibagian kosong taman hatimu.
Post a Comment