Kang! eps.19

Kang! eps.19

Rutinitas sekolah, berarti tanpa sadar Najma dan Faisal akan bertemu. Saat shalat berjamaah di masjid berarti Najma akan bertemu dengan Faisal. Suatu malam isya’, saat Ustadz Jamaluddin dirawat di rumah sakit. Seorang pemuda tampan mengimami, membacakan awal-awal ayat al-Baqarah. Merdu, sudut-sudut masjid menggemakan lantunan ayat-ayat cinta itu. Meresonansi melaui medium udara menggetarkan relung-relung hati yang senantiasa hanya berharap kepadaNya.
“Allahu Akbar, sami’a Allahu liman khamidah, Allahu Akbar...,” Semua gerakan shalat diikuti oleh makmum yang penuh.
Sampai saat imam mengucap salam,”Assalamu’alaikum Warahmatullah,”Faisal menengokkan wajahnya ke arah kanan,”Assalamu’alaikum Warahmatullah,” Kemudian ke kiri.
Setelah itu suara dalam masjid kembali menggema oleh dzikir berjamaah selepas shalat.
Saat itulah para pelajar putri berbisik saling bertanya-jawab dan memastikan bahwa imam shalat barusan adalah Ustadz Faisal Abdullah bin Jamaluddin.
Niku sinten? leres gih Ustadz Faisal? ” Bisik Najma pada Sarah.
Gih Naj, sae gih suantene. ” Jelas sarah dengan bahasa krama.
Inggih.” Jawab Najma singkat dan tersipu menunduk.
Bersamaan dengan itu pula, Najma merekam momen indah berjamaah dengan pria yang kedua kalinya ia temui setelah perjumpaan di persimpangan asrama itu.
Mulai rabu malam itu suara Ustadz Faisal akan tetap menghiasi masjid Nur Rahman sampai tahun-tahun berikutnya, sebab sejak saat itu, Ustadz Jamaluddin mewariskan posisi imamnya kepada Faisal karena fisiknya yang sudah mulai menua.
Juli 2013. Seorang lelaki bukan dirimu yang datang menghampiriku. Dia mencoba mengisi ruang hampa yang kau ciptakan. Percuma saja. Dia hanya menyiksa diri. Sebab kehampaan ini adalah ruang keberadaanmu.
Tertanggal dua puluh delapan juli, dia-untuk yang pertama kalinya-mengirimiku sepucuk surat. Memang manusia hanya bisa menampilkan topeng dirinya selama perjalanan hidupnya. Anak bodoh itu merengek dalam kesetiaanku padamu. Dia kira setelah aku terpisah jauh darimu, ladang hatiku akan tak berpenghuni. Salah besar, kau tetap yang memilikinya Faisal. Tak akan pernah ada yang lain, sampai Tuhan memberikan jawabNya.
***
Setiap pagi, dering jam weker adalah nyanyian ketakutan bagi Najma. Ketakutan untuk menghadapi rasa pedih yang sama, hanya saja terjadi pada hari yang berbeda. Atau malah bertambah dua kali lipat rasa takutnya. Menanggung perasaan yang selalu digantungkan oleh seorang laki-laki.
Wanita muda itu, benar-benar menyedihkan keadaannya, mengurung diri dalam keramaian, meramaikan suasana hati disaat tubuh mulai disandarkan pada pembaringan. Malam hari adalah mimpi-mimpi buruk yang terjadi sebelum matanya terpejamkan.
Najma Bathul, nama lengkap wanita itu. Benar-benar payah keadaannya, matanya mengisahkan kepedihan hatinya. Satu tahun yang lalu Najma pulang ke kampung halamannya -kota tepi pantai yang dicintainya- Pekalongan. Selepas dari pesantren dan lulus SMA, Najma melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah di Perguruan Tinggi Negeri Islam satu-satunya di kota batik itu.
Persis seperti pagi ini. Cahaya mentari menyoroti lagi kamar empat kali tiga meter yang terletak persis di sisi sebelah kiri rumah megah dipinggir jalan pemuda No.19 Pekalongan. Cahaya yang mencercap warna-warna menembus melalui remang sekat korden jendela kamar Najma.
Wanita itu sudah bangun sedari shubuh tadi, masih membolak-balik kertas yang diwahyukan hampir 15 abad yang lalu. Waktu dhuha yang mulai menggerayangi bumi, perlahan tapi pasti menjamah tubuh Najma untuk segera tersadar lantas shalat dhuha. Dua rakaat cukup untuk pembuka doa kepada Tuhan yang KunNya senantiasa berkelindaan dengan setiap desiran dua atom.
Saat shalat berarti reget  beban hatinya terkikis, sedikit menenangkan gejolaknya.
“Allahu Akbar.” penuh takzim Najma bertakbiratul ihram.
Saat mengangkat takbir mata Najma tertuju pada tempat sujud, meresapi kalimat yang menjadi differensiasi antara Yang Maha Tinggi dengan ciptaanNya.
“Bismillahirrahmanirrahim.”
Saat mengucap basmallah lalu menyebut Rahman dan Rahim terbukalah secercah harapan untuk bangkit dari keterpurukan. Rahman yang senantiasa terserap kedalam hati, menyemai kedamaian bagi Najma. Najma mulai merasakan pancaran Rahman yang menyebar kedalam setiap sel tubuhnya. Mendorong kelenjar air mata untuk mengontraksi otot-ototnya lalu mengeluarkan butiran bening menetes lewat celah kelopak matanya, Najma menangis, menitikkan air mata, betapa seyogyanya tidak ada pertanyaan untuk setiap apa yang DIA lakukan, tapi pertanyaan yang perlu terlontarkan adalah bagaimana bersikap yang tepat pada setiap kondisi yang tepat adalah hal yang terbaik. 
Najma masih sesenggukan saat berdiri dari ruku’,”sami’a Allahu liman khamidah,” Tuhan senantiasa mendengarkan hamba-hamba yang memujiNya, berdoa hanya kepadaNya dan memohon agar senantiasa taat kepadaNya.
”Allahu Akbar.”
Bertambah dalam larutnya shalat saat Najma mulai bersujud, berserah hanya pada Dzat yang Maha Mengabulkan do’a. Meresapi doa dan setiap apa yang telah terjadi.
Begitu terulang saat rakaat yang kedua didirikan, Najma masih khusyu’ dengan penghambaannya. Lantas ditutup dengan dua kali salam,”Assalamualaikum Warahmatullah.”
Najma mengucap syukur lantas mengusapkan kedua tangannya, saat itulah ingatannya kembali pada seorang laki-laki yang pergi tanpa berucap salam setelah kedatangannya. Kenyatannya memang ada seorang laki-laki yang datang dengan kata-kata indah dan rayuan begitu manis dan memang  begitu kurang ajar. Namun disisi yang lain, ada sebagian lelaki yang tetap setia menjaga hatinya, meneguhkan cintanya hanya untuk seorang wanita.
            Terakhir, shalat dua rakaat itu Najma tutup dengan doa yang senantiasa diajarkan oleh guru-guru ngajinya dari balik bilik-bilik pesantren Dar Rahman.
***
Setelah shalat, wajah itu kembali murung, tertutup rona kosong dalam gerak matanya. Tatapan kosong. Bukan, bukan karena shalatnya tidak khusyu’, khusyu’ sekali malahan. Tetapi beban yang menggelayuti hatinya itu yang terlalu berat. Kau tahu kisahnya bermula sejak sesuatu yang diharapkan tiba-tiba menggantung di awan-awan begitu saja. Kisahnya dengan seorang pemuda.
Sesekali datang pesan-pesan singkat dari sahabatnya untuk tabah, terus memompa semangatnya agar baik kembali keadaannya. Lebih semangat lagi. Kembali ceria lagi.
“Saat sesuatu tengah diambil darimu, pada saat yang bersamaan pula telah datang suatu hal yang lebih baik bagi kita sebagai penggantinya Najma. Semangat.” Suatu kali Marwa mengirimi pesan singkat untuk menyemangati Najma.
Dihari yang lain, Marwa membawakan makanan ringan kesukaan Najma. Sedikit membantu Najma agar tidak terlalu lama menyendiri dalam lamunan, dan kalau tidak sesering mungkin diawasi bisa jadi keadaan fatal akan menghampiri Najma. Keberadaan teman-teman di kampus begitu berarti untuk menjadi penawar lara bagi dirinya, yang senantiasa menyadarkan dirinya dari setiap  ilusi.
Dua tahun yang lalu, tepatnya perempat awal 2010. Datang seorang pemuda kepada Najma, menyediakan seluruh hatinya untuk menerimanya. Hari demi hari Najma lalui dengan melukis wajah pemuda itu pada setiap waktunya.
Saat Najma menghafal, wajah pemuda itu datang. Tidak, bukan sesederhana itu. Saat Najma melakukan apapun, tidak hanya menghafal. Kehendak rasanya senantiasa sudah terikat dengan laki-lakinya. Sehingga tanpa harus disengaja, lukisan wajah itu nampak didepan setiap kedipan matanya. Hidup di dalam dasar alam bawah sadarnya. Disemai dengan harapan yang semakin membesar dalam hati Najma untuk suatu saat akan hidup bahagia dengan laki-lakinya.

Dua tahun berselang, tahun kelulusan dari sekolah menengah atas tiba. Najma pulang ke kota asal dan itu membuat jarak yang tak dapat dihindari. Dari situlah kisahnya dimulai. Najma Bathul yang terpisah dengan pemuda Faisal Abdullah.

0/Post a Comment/Comments