Najma Bathul
Kisah ini bermula ketika musim hujan mulai mengguyur pesisir utara Pekalongan pada tahun 2013 dua tahun silam. Truk-truk logistik antar propinsi yang setia melalui jalur pantai utara telah membuat aspal retak dan berlubang. Aspal-aspal yang berlubang itu akan segera tertutup air jika hujan tak kunjung reda, kalau tidak berhati-hati atau terlalu ceroboh bisa jadi pengendara sepeda motor akan jatuh tergelincir karenanya.
Setiap musim penghujan tiba berarti sebuah kisah terputar lagi bagi para penduduk Pekalongan, saat hujan mulai turun berarti ada sebuah kisah yang mewujud dalam sebuah kejadian. Salah satu kisah dari mereka akan kita simak. Bukan tentang batik dan masyarakat Pekalongan. Bukan pula tentang syawalan di Desa Krapyak, atau nyadranan yang masih setia dilakukan oleh setiap masyarakatnya, ataupun tentang kapal-kapalnya yang senantiasa berlabuh di pelabuhan Pantaisari. Bukan tentang itu semua. Melainkan tentang surat-surat yang ditulis oleh seorang pemudanya. Dari jalur pantura, pesisir utara pulau jawa kita akan memulainya. Dari sebuah kota yang terkenal dengan julukan kota batik, Pekalongan.
Sejauh satu kilo meter ke utara dari jalur pantura tepatnya dari pertigaan tugu pahlawan kota Pekalongan terdapat sebuah kampus terkemuka di kota ini. Ribuan mahasiswa menimba ilmu di berbagai fakultasnya. Kampus itu bercat hijau muda, gerbang megah mempongahkan bangunan kampus itu dari sisi depannya. Tidak segagah Sorbonne atau Leipzig memang, namun tak mengurangi kharisma tempat untuk menimba ilmu yang satu ini.
Sudah seperempat abad lebih usia kampus ini jika dihitung sejak didirikannya pada paruh 80-an sampai sekarang pertengahan tahun 2015. Di belakang kampus berderet kos yang ditinggali mahasiswa dari berbagai kota dinegeri ini. Mulai ujung sumatera sampai pucuk jawa timur sana. Kampus hijau inilah yang diam-diam telah menjadi saksi bisu bagi setiap surat yang telah ditulis oleh seorang pemuda berusia tanggung kepada separuh hidupnya.
Ini adalah kisah cinta kang santri setelah menginjak usia dewasa. Usia Barok, Fadil dan Rido sekarang sudah dua puluh tahunan lebih. Mereka kuliah satu kampus di sebuah perguruan tinggi negeri agama satu-satunya di Pekalongan. STAIN Pekalongan, si kampus hijau. Mereka bertiga sepuluh tahunan sudah di Darul Khasan, sekarang mereka membantu mengajar santri-santri di kelas Ibtida’.
Lembaran ini, akan menjadi penutur kisah seorang Abdullah Fadil bin Kiai Hasan dari Tuwarih. Cintanya pada seorang wanita teguh pendirian, pemilik mata yang pandai berkisah. Kisahnya yang mengantarkan pada sebuah jalan sunyi: cinta. Mari kita simak bersama kisahnya dari pelaku utama. Dari seorang perempuan : Najma Bathul.
Kisahku, “Najma.”
Tahun ini genap sudah usiaku dua puluh satu tahun. Jika kerudungku kulepaskan, gerai rambutku akan menyibak cahaya mentari. Sayang, itu tak akan pernah terjadi, keindahan panorama itu hanya ilusi. Sebuah ilusi yang menyata menghampiri setiap imaji hayalku.
Aku anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara. Dua kakak laki-lakiku sudah menikah, dua adikku tengah duduk di kelas tiga SMA dan lima SD. Semua hal yang terjadi padaku berawal saat aku dikirim oleh ayahku ke sebuah pesantren yang terbaik di Kediri Jawa Timur sana.
Saat itu usiaku masih belasan tahun. Setelah lulus dari madrasah, ayahku langsung memberangkatkan aku ke Jawa Timur. Kota yang tak pernah aku bayangkan. Selalu menakutkan jika kubayangkan aku akan hidup jauh dari orang tua. Demi sebuah gelar kota ‘SANTRI’ pula aku pergi ke rantau meninggalkan Pekalongan. Aku habiskan waktuku di Dar Rahman untuk sekolah dan mengaji dibawah asuhan Abah Kyai Jamaluddin Muhammad. Lamanya enam tahunku disana, ada sebuah kejadian yang tak akan mudah aku jalani. Sebuah kejadian yang menimpaku pada tahun ke empat, tepatnya dua tahun silam.
Kejadian itu berawal sejak aku duduk di kelas dua aliyah dan terbawa sampai sekarang usiaku dua puluh satu. Kejadian yang selalu saja terkenang dalam ingatan. Apalagi kejadian yang satu ini. Sebuah kejadian yang selalu aku ingat nilai harganya. Sejak kejadian besar itu aku suka melamun sendiri di kamar, menatap kosong dinding yang membisu, memikirkan sendiri apa sebenarnya yang tengah terjadi. Kosong tatapanku. Hanya detak jarum jam yang tak berani membisui jeda hatiku ini.
Seperti pagi ini, pikiranku tengah menghayal, dan kuhayalkan dirinya datang. Dia datang dengan seluruh istimewanya. Namun, dia datang untuk mengambil seluruh isi hatiku dan kuras seluruhnya lalu pergi lagi ke asalnya yang entah darimana.
Dia layaknya kun yang menjamah realitas fana, melebur dengan citra diri dari sebuah forma berwujud manusia dan membayangiku melalui setiap sinaran imagoku. Lagi-lagi, hanya “namun” yang dia torehkan dalam refleksi forma diri kedatangannya.
Dia adalah dialektika rasa. Kedatangannya adalah kepergiannya. Namun, tak. Aku akan menegasikan dialektikanya. Maka, kejadian ini tidak akan pernah mewujud kedalam duniaku. Tetapi, dia akan melebur dalam hadirnya rasaku. Menjadi sesuatu yang lebih indah nantinya. Tersimpan rapi dalam kenanganku bersamamu.
Aku hanya akan dapat memilikinya dengan merasainya, seutuhnya ”Faisal Abdullah”-ku.
***
Saat malam tiba, pikiranku kembali menjamah lamunan. Aku kehilangan kendali atas diriku. Aku tahu ini adalah larangan bagi diriku dan dirimu. Suatu ketika saat aku meneleponmu. Hanya, iya-hem-baik itu saja yang keluar dari dirimu. Sebenarnya siapakah yang harus membuat kisah dan berskenario, aku ataukah kau. Harusnya kau tahu, aku seorang perempuan dan kau adalah laki-lakinya. Dalam hal ini, harusnya kau yang paling berani mengambil keputusan. Besikap berani dan tegas terhadap rasamu kepadaku. Namun, kau hanya menggantungkan perasaanku, kau pergi entah kemana. Aku rasa orang-orang akan mencibir jika kita tidak segera tersadar dan mengakhiri semua tentang kau dan aku.
Orang memandang remeh apa yang kita anggap suci ini, benar bukan? Padahal kita berdua tetap menjalankan sholat, bukankah kita juga menghafal al-quran, lalu dimana letak kesalahan dari orang yang saling suka. Itu adalah pertanyaan yang harus kita jawab dalam setiap perjalanan kehidupan kita.
Jujur sajalah, pribadi malaikat itu memang ada. Begitu juga, garisan Tuhan lebih nyata adanya. Kita takkan bisa mengelak dari kenyataan bahwa kita saling suka, itu saja masalahnya, kita saling suka. Namun sesuatu yang lain juga telah tergariskan untuk kita lewati. Sesuatu yang telah membuatku seperti ini. Jatuh terlalu dalam cintamu.
Musim penghujan paruh Februari 2011 kejadian yang mengawali semua kisah ini. Pukul 14.00 saat kau pulang sekolah menyusuri bangunan pondok pesantren yang usang kembali ke bilik kamarmu. Saat itulah, kali pertama aku bersitatap denganmu. Layaknya anak remaja, kita pulang dari kelas yang terpisah antara anak laki-laki dan perempuan. Kau berjalan bersama teman-temanmu, dan akupun berjalan bersama teman-temanku. Saat pertemuan itu belum kutahu bahwa kau adalah anak ustadz Jamaluddin Muhammad pemilik Pesantren Dar Rahman ini.
Malam ini terasa lebih panjang, sebagai akibat dari diliburkannya kegiatan pesantren tanpa sebab. Malampun terasa sangat lama sekali bagiku. Untuk mengatasi kerinduan dalam hati dengan keluarga dirumah, tampak sebagian santri yang menelepon ayah dirumah, ada pula yang tengah membuka kitab tak berkharakat, adapula diantara mereka yang tengah membaca al-quran dan segala hal yang telah mereka dapatkan selama nyantri. Namun, semua kegiatan itu hanya berlaku bagi santri dewasa dan tidak untuk santri berusia sepuluh tahun sampai tiga belas tahun yang masih suka berkejaran. Hal itu yang membuat pengeras suara tak henti-henti mengingatkan, memberi pengumuman agar santri tetap belajar.
Pukul 21.30 seluruh pengurus bagian keamanan keliling asrama mengingatkan seluruh santri agar segera tidur. Malam itu Najma dan Sarah tidak ikut berpatroli keliling asrama pesantren sebab sudah dikamar sejak pukul 20.00. Lelah setelah seharian penuh mengurusi perpustakaan yang kedatangan buku baru dari percetakan milik pesantren.
Sebelum tidur, Najma dan Sarah membahas tentang laki-laki yang ditemuinya tadi di persimpangan asrama pesantren,”Beruntungnya tadi kita bertemu dengan anak Ustadz Jamal.” Seloroh Sarah pada Najma di pembaringan.
“Siapa dia, sarah?”Tanya Najma.
“Kau belum tahu? Dia putra pertama Ustadz Jamaluddin, kelas tiga MA, yang mengajar santri putri Tsanawi di asrama Tahfidz. Sudah hafal 30 juz Naj. Tampan pula, pasti pewaris utama Madrasah Tahfidz Quran lil Banat.” Jelas Sarah panjang lebar dengan penuh semangat.
“Oh... begitu.” Najma hanya ber-oh pendek saja.
“Kok, hanya ohhh saja begitu. Kau tadi tidak lihat?”Sarah geregetan.
“Iya. Aku lihat, Sarah yang cantik. Terus aku suruh ngapain?...Hem!” Balas Najma dengan sedikit geregetan pula.
Matanya yang kini tinggal lima watt itu terus mendengar seloroh Sarah yang tak mau berhenti membicarakan Faisal Abdullah.
Hampir dua jam berlalu Sarah masih saja menceritakan semua yang dia tahu tentang Faisal Abdullah bak presenter yang tengah membawakan acara gosip selebriti sedetail-detailnya.
Dan, Najma sudah terpejam saat Sarah menyadari bahwa lawan bicaranya tak pernah lagi menanggapi seruannya. Kesal, kemudian sarah mematikan lampu kamar dan tidur pulas sambil membayangkan esok bertemu lagi dengan siswa putra dipersimpangan asrama.
Sarah Abdullah bertemu Najma Bathul sejak awal masuk di pesantren. Sarah berasal dari Jepara dan Najma dari Pekalongan. Sejak saat itu mereka berteman baik dan akhirnya tali persahabatan mengikat mereka. Sarah Abdulllah adalah putri sulung dari pemilik usaha ukiran terkenal dari Jepara sekaligus pemilik pesantren Nurul Ilmi.
Sejak saat itu Najma terhitung satu-satunya siswi yang paling enggan membahas putra anak ustadz paling tersohor di kediri itu. Namun, seiring waktu berjalan justru namanyalah yang selalu disebut saat siswi-siswi membahas Ustadz Faisal. Namun pada saatnya Najjma menjadi perempuan yang akan dikenang sebagai orang yang pertama kali dekat dengan Faisal. Tidak melalui surat-menyurat, tetapi lewat pesan berantai dari mulut ke mulut yang selalu dibicarakan oleh siswi-siswi dikelas yang kelak akan membuat Faisal dan Najma bertemu.
Post a Comment