Kang! eps.17

Kang! eps.17

Niswatuzzahra. Ayah-bundanya memanggil Niswa pun demikian teman-temannya. Kelahiran asli Pekalongan dua puluh lima Desember, tepat ketika umat kristiani merayakan natal. Ibarat permata Niswa adalah permata yang tak pernah dimiliki oleh orang lain selain ibundanya. Matanya yang jelita bak pelita di langit raya, wajahnya yang ayu, hidungnya yang lentik, pipinya yang ranum, tabiatnya yang santun, cerdasnya yang menghiasi akhlaknya, akhirnya siapa yang tak kenal dirinya. Saban pagi, Niswa berangkat ke kampus diantar kakak laki-lakinya.
Niswa terhitung sebagai santri laju, yaitu santri yang belajar di pesantren tetapi bermukim dirumah. Meskipun begitu tidak mengurangi kekhusyuan Niswa dalam menuntut ilmu, bahkan hampir semua kegiatan pondok Niswa ikuti. Seperti malam ini, malam lomba berpidato mamperingati Maulid Nabi Muhammad s.a.w. Suaranya lantang, vokal yang jelas, materi yang memikat.
Itulah asbab desiran dalam hati Barok. Seperti dalam Thauqul Hamaamahnya Ibnu Hazm. Dalam kitab itu dikatakan, banyak orang yang tiba-tiba jatuh cinta pada seorang yang tak dikenalinya. Nama dan tempat tinggalnya pun ia tidak mengetahuinya[1]. Mungkin seperti itu pula yang tengah dirasakan Barok pada gadis di atas panggung itu.
Sejak saat itu ingatan Barok tidak hanya dipenuhi hafalan-hafalan dan diskusi, tetapi telah ditinggali pula oleh penghuni barunya, Niswatuzzahra. Kalau sudah demikian, biasanyas Barok membuka kitab, atau kalau tidak dia shalat sunnah muthlak, sampai-sampai Fadil menjulukinya Si Sunah Muthlak, saking seringnya Barok melakukan shalat muthlak seperti hobi saja.
Dilain waktu ketika kerinduan menyerangnya, tampak Barok menggelar sajadah, shalat dua rakaat lantas membaca beberapa zikir. Diakhir doa, terkadang tampak Barok menulis entah apa. Teman-temannya tak ada yang tahu, bahkan Fadil dan Ridopun tak diberinya tahu.
Namun, pada suatu kesempatan Barok tertidur disajadahnya. Buku yang terbuka diatas dampar menarik hati Fadil untuk membacanya. Dibacalah olehnya sebuah puisi:
Cinta...
Sebuah ungkapan yang sulit diuraikan
Walau hakikatnya kita telah tahu apa makna cinta itu

Cinta telah menjadi sebuah lingkaran cahaya
Yang awalnya adalah akhir
Dan akhirnya adalah awal
Yang akan memeluk semua yang hidup

Cinta karenaNya
Kan membuat hati jadi tenteram
Kan menyejukkan hati semua insan

Dengan rasa cinta kepadaNYa
Dialah pemilik cinta sejati
Dialah yang memberi cinta pada hambaNYa
Raihlah cintaNya dan bercintalah karenaNya

Kini, Fadil mengerti sudah apa yang tengah dilanda sahabatnya itu. karibnya tengah dirundung cinta. Benar saja ia terlihat berbeda, semangatnya bertambah satu tingkat diatas biasanya. Terkadang terlihat begitu bahagia, juga melamun, juga lebih banyak menuliskan puisi-puisi cinta.
“Rok, kamu kenapa? Seneng banget kayaknya.”
“Hehe... Anak muda Dil.”
“Aku pernah baca yang itu, lingkaran apa itu.”
“Eh...”
“Bukan-bukan. Aku membaca sebuah saja yang mungkin tanpa sengaja masih kau buka diatas dampar.”
“Hem... Nanti kalau sudah waktunya kau akan baca seluruhnya Dil.”
“Siapa dia Rok?”
“Siapa lagi kalau bukan singa podium itu Dil.”
“Oh... Oh... sahabatku dirundung asmara dengan Nyai Niswatuzzahra rupanya.”
“Eh, jangan keras-keras Dil.”
“Sowan ke Abah Rok. Lekas segera sowan.”
“Nantilah.”
“Mau nunggu apa ente. Mau pacaran?!”
“Enggak Dil. Nunggu hati semakin mantep. Tenang aja, nanti sowan ke abah kalau sudah waktunya.”
“Janji, ya. Awas kalau ente tak bisa jaga kehormatan. Lebih baik kita putus saudara dunia akhirat.”
“Hehehe... Enjeh Pak Ustad.”
“Eh, malah ngeledek.”
Dan akhirnya mereka berdua malah kejar-kejaran seperti anak kecil. Namun itulah persahabatan yang telah lama terjalin. Dari ruang tamu asrama putra Rido menggeleng-geleng.
Sore ini, Pak Kiai mengajak khataman al-Quran. Seperti biasa ada sekitar sepuluh santri yang ikut khataman. Mereka duduk melingkar di ruang tamu ndalem. Kang Tejo yang memimpin khataman. Setelah tawassulan, santri yang sudah memegang mushaf langsung membaca tiap santri tiga juz.
Sementara di luar, santri kelas Ibtida’ tengah merapalkan nadhom Alala. Wejangan yang berisi tatakrama santri dalam menuntut ilmu. Didalamnya diterangkan seorang santri tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan jalan enam perkara, dijelaskan dalam kitab: rupane limpat cerdas, loba, sobar, ana sangune, lan piwulange guru, lan sing suwe mangsane. Setiap pencari ilmu yang ingin berhasil dalam mencari ilmu maka ia haruslah menjadi seorang yang cerdas, bijaksana, sabar, memiliki bekal, pengajaran seorang guru, dan waktu yang tidak sebentar.
Adzan yang dikumandangkan Kang Makmur dari massjid menyudahi semua aktivitas santri. Semuanya menuju ke masjid.



[1] Dalam buku Dibawah Naungan Cinta terjemahan dari Thauqul Hamaamah ibnu hazm oleh Aniah Monif al-Hasyir. Pondok Pesantren Basmala, cet ke-1, November 2013, hlm. 42. 

0/Post a Comment/Comments