Niswatuzzahra.
Pagi ini, mentari cerah. Menyemburat orange dari ufuk timur. Mengabstrasikan siluet orange diatas hamparan hutan. Seberkas cahaya menerobos sela-sela dedaun cengkih, membuat bayang-bayang pada tanah merah yang bertingkat-tingkat. Pagi ini Barok membantu bapaknya merawat pohon cengkih. Mengerok batangnya dari lumut, memantek lubang-lubang yang dibuat oleh hama, sekaligus membersihkan rumput liar disekitaran pohon.
Seperti yang sudah-sudah Barok selalu mengambil keputusan secara insidental. Namun penuh pertimbangan. Kalau bukan karena visinya yang jauh menatap kedepan untuk kehidupan orang lain, tentu ia tak akan memutuskan untuk mengambil cuti kuliah. Awalnya memang cuti namun entah apakah akhirnya Barok juga akan menghentikan kuliahnya. Tidak ada yang tahu tentang keputusan hati, kita simak bersama-sama kisahnya. Mari.
Dari sekian lama kita telah bersama menyimak kisah persahabatan mereka yang begitu panjang. Adakah pembaca telah tahu kisah cinta dari seorang Barok? Tentu saja belum bukan. Kalau begitu alangkah baiknya jika kita siapkan segala ketenangan untuk menyimak kisah cintanya. Bersiaplah!
Ada sebuah pertanyaan dari benak Barok untuk segenap pembaca: Apakah yang kalian lakukan jika seorang yang tengah kalian sayangi tiba-tiba kecelakaan? Tentu kita memiliki jawaban versi kita masing-masing. Dan bagaimana dengan jawaban Barok?
Apa yang akan kau rasakan jika kau berada pada sebuah acara penting dan tiba-tiba mendapat kabar kalau orang yang kau sayang kecelakaan?
Apa yang akan kau katakan jika orang yang paling kau tunggu kehadirannya tiba-tiba tidak datang karena kecelakaan?
Semua pertanyaan itu cukup diwakili oleh kata khawatir, cemas, bingung, depresi, entah apalagi kata yang bisa mewakili segala kegundahannya kala itu. Semua hal yang buruk berkumpul menjadi satu dalam diri Barok. Entahlah tiba-tiba saja otot-otot syarafnya berkontraksi, seluruh selnya terasa saling tarik-menarik. Antara segera lari ke rumah sakit dan tetap duduk dibangku sampai acara selesai.
Mari kita simak penuturan Barok:
Ya, acara ini sangat membutuhkan keberadaanku. Kalau bukan karena posisi itu aku sudah pergi dari lantai tiga gedung pasca ini. Aku baru saja dilantik menjadi ketua himpunan mahasiswa di kampus, menambah berat tanggungjawabku setelah tanggung jawab di Darul Khasan.
Saat itu cuaca memang agak murung. Pagi-pagi di kota tepi pantai itu hujan. Genangan air masih membasahi jalanan kota. Begitu juga jalan menuju ke kampus ‘Rahmatan Lil Alamin’ itu. Di beberapa sudut tampak banjir menggenang, membuat khawatir. Sebenarnya tak ada yang salah. Banjir memang tengah ingin membuat kisah. Sedang ingin menceritakan gejolak rasanya yang semakin mengalir deras saja.
Acara pagi itu dimulai oleh Master of Ceremony, membimbing jalannya acara pelantikan ini. Riuh ruangan dipenuhi calon pengurus himpunan mahasiswa Tarbiyah yang akan segera di lantik menjadi pengurus.
Semua kursi telah penuh. Larik-larik itu mulai kupandangi, kucari-cari mata yang pandai berkisah itu. Aku berdiri dari kursiku, menatapi liar setiap wajah yang hadir. Tak kutemui wajah itu, aku duduk kembali. Sampai pada puncak acara, mata yang kucari belum datang juga. Kucoba menenangkan hati yang tak keruan. Benar saja, pukul 11.00 kudapat kabar itu.
“Barok, Niswa kecelakaan. Sekarang di RS. Budi Rahayu, kamar Lucas nomer 102.” Surur teman sekelas mengabari.
“Duar... Jedum... Jedar...” Demi mendengar hal itu barang pecah belah terasa melayang dalam ruang otakku. Kacau balau terasa dalam pikirku, kabur terasa pandang mataku. Aku kalap, langsung menuju rumah sakit seusai dilantik tanpa harus menunggu acara itu usai.
***
Setengah jam kemudian, Barok sudah sampai jalan utama. Sedikit menekan kopleng motornya, lalu memiringkan tubuhnya ke kiri, motornya sempurna miring empat puluh lima derajat. Gas masih terus di tambah kecepatannya, spidometernya bergerak-gerak menyentuh angka delapan puluh kilo meter per jam. Kini jalanan lurus memanjang menghampar di depan mata Barok, sedikit mengelok, lalu lurus kembali. Sempurna sudah jalanan membentuk sudut seratus delapan puluh derajat.
Tak ada satu jam mengarungi penatnya jalanan, sampailah Barok di depan pintu gerbang rumah sakit. Matanya kebas menerawang parkiran. Tepat, ada ruang kosong di sebelah pojok. Mesin motornya dimatikan. Standarnya ditegakkan. Barok melepas jaketnya. Matanya langsung meliar mencari resepsionis, dapat. Di ujung pojok rumah sakit tempatnya. Langsung saja Barok bertanya di manakah kamar pasien bernama Nizwatuzzahra.
***
Rumah sakit Budi Rahayu. Pasien itu tergeletak tak sadarkan diri. Di kamar rawat inap itu. Tangannya tertusuk jarum infus, dan nafasnya tersengal di bantu dengan oksigen. Pasien itu di rawat dalam kondisi cukup parah. Pagi tadi, tubuhnya terhempas dari sepeda motornya saat akan berangkat ke kampus. Tubuhnya terlempar dua meter dari jalan raya. Sampai saat ini tubuhnya di balut dengan bebat kain kasa yang melingkari kaki kanan dan kedua tangannya.
Lucas 102. Barok bergegas menuju kamar Lucas nomor 102. Disana terbaring tubuh separuh inspirasinya. Disana Niswa terbaring berteman gips yang menjepit kakinya. Sedikit kebingungan Barok menemukan ruang itu, beberapa kali Barok bertanya pada satpam yang tengah keliling ruangan.
“Lorong Moses lurus ke depan, ada pertigaan lorong. Ke kanan ruang Lucas dan ke kiri ruang Benyamin,” ujar pak satpam.
Bergegas Barok mengayunkan kakinya menuju ke tempat yang sudah di instruksikan oleh satpam tadi. Matanya kebas oleh peluh yang terus menetes. Napasnya tersengal, menahan letih dan khawatir yang bercampur menjadi satu.
Setelah hampir lima menit Barok berlari-lari kecil akhirnya dia menemukan ruang di sebelah kanan, Lucas 102. Tanpa berpikir panjang, Barok mengetuk pintu lalu membuka engsel pintu yang menderit perlahan, takut mengusik ketenangan di dalam ruangan. Sempurna, tubuh inspiratornya terkulai lemah di atas ranjang. Bekas jahitan nampak begitu jelas. Kakinya yang juga di jahit menambah sendu di raut wajah Barok. Matanya sembab, sedikit menahan tangis. Lihatlah di depan matanya orang yang menghiasi dinding-dinding hatinya terkulai lemah.
Niswa sudah siuman sejak dua jam sebelum kedatangan Barok. Sudah dapat bercakap-cakap dengan keluarganya. Lihatlah matanya tetap saja dapat bercerita, matanya mengikat pandangan Barok. Mata mereka berdua bersitatap satu sama lain, mengikat hati yang menahan kerinduan. Wajah Niswa memelas.
Barok berucap,“Kamu sudah sehat?” sedikit parau.
Senyum, Niswa hanya tersenyum melihat wajah itu.
“Tidak apa-apa, hanya sedikit teledor” Jawab Niswa penuh tenang.
Ohh... kecelakaan itu seharusnya tak terjadi kalau Barok tidak meminta Niswa berangkat ke kampus.
Barok tak beranjak dari ujung ranjang itu. Matanya memandangi sekujur yang penuh bebat itu, dan sesekali Niswa mencuri tatap wajah Barok.
“Duduk dulu sini nak.” Terdengar suara ibu Niswa menyilakan Barok duduk.
“O, iya Bu.”
“Adek siapa?”
“Saya Barok Bu. Teman sekelas Niswa.”
“Kenapa teman-temannya tidak diajak?” sambil tersenyum wanita sepuh itu bertanya.
“Iya Bu. Saya tidak sempat mengajak mereka, tadi dari kampus langsung kesini.”
Post a Comment