Sebuah Kisah
Tak ada hal di alam manusia ini yang dapat membuatnya
menunggu tegar
dan bersabar kecuali cinta. Begitu banyak kisah yang tersedia pada
setiap jengkal kehidupan diatas permukaan bumi ini. Jika jumlah manusia laki-laki dan perempuan masing-masing dua juta
jiwa maka sudah dapat dipastikan paling tidak setiap detik dalam waktu dua puluh empat jam
akan ada dua juta kisah cinta yang terjalin.
Cinta sesuatu hal yang membuat pemiliknya merasa
berbunga sekaligus kadang dipandang jijik. Sesuatu yang dianggap mulia
terkadang pula dibuat nista. Seorang penyair memang tidak pandai membuat
persamaan matematika tentang cinta. Atau sebuah kausalitas fisika untuk
menjelaskan setiap getaran yang meresonanssi dalam hati pada setiap orang yang tengah dilanda cinta. Atau membuat sebuah bagan reaksi inti untuk menggambarkan
seberapa besar cinta yang dihasilkan dalam setiap kisah itu. Atau seberapa besar daya ledak yang dihasilkan oleh sebuah cinta. Semua ini bukan tentang perhitungan apapun.
Sastrawan memang mungkin bodoh, tetapi merekalah orang yang paling tahu
bagaimana menggambarkan cinta itu. Ketika
matematikawan menemukan pujaannya, adakah sebuah persamaan dapat menjelaskan
keadaan hatinya. Ketika fisikawan yang paling jenius mengatakan tentang cinta
dapatkah ia merumuskan kata hatinya yang paling dalam tentang ciintanya.
Penulis
juga belum atau terlalu tidak tahu bagaimana mendefinisikan tentang cinta itu. Namun, paling tidak ada sebuah pelajaran yang dapat
diambil dari setiap kisah cinta. Tidak ada yang sia-sia dalam setiap apa yang
telah kita lakukan. Memandang remeh tentang cinta hanya suatu kebodohan belaka.
Cinta tak ubahnya kehidupan setiap manusia itu sendiri. Tetap merekah meski
dalam kerontan, namun cinta
tak akan pernah hidup dalam hati seseorang yang tak mau mengakuinya.
Pada setiap kisah pasti ada sebuah nama dari seorang yang dikasihinya. Nama
seorang perempuan ataupun
nama seorang lelaki. Siapa dari keduanya yang
lebih pandai menyimpan cinta? Adakah tatapan mata berarti sebuah jawaban. Adakah kerinduan
adalah nyanyian sukma. Adakah kesabaran tanda kesetiaan, entahlah pembaca,
penulis tidak begitu pandai tentang cinta. Namun, bagaimanapun juga, hati
penulis masihlah seorang manusia yang pasti dapat merasakannya.
Bagaimana dengan kisah mereka bertiga. Apakah setiap
idealisme yang mereka dapatkan dalam meja pendidikan dapat membuat mereka hidup
tanpa
kisah cinta? Cinta bukan suatu kecelakaan intelektual
sedikitpun. Bahkan semua orang tak bisa menanggungnya, jika benar cintanya.
Karena cinta sendiri adalah kehidupan. Terlalu berat sebuah kehidupan untuk
mengandung kehidupan yang keagungannya adalah langit dan bumi.
Adakah benar
Einstein tidak menikah, adakah benar demikian? Cinta dan lelaki serta wanita
dan keindahan adalah hal yang tak dapat dipisahkan. Dalam novel kecil ini akan
muncul kisah-kisah cinta yang menggelorakan. Sebab tanpa kisah cinta semuanya
akan terasa hambar dan kaku. Begitu pula dalam kehidupan, tidak hanya Yang Maha
Rahman-Rahim tetapi setiap hati manusia juga diliputi perasaan kasih, sayang
dan cinta. Tak ada rasa malu bagi penulis untuk mengatakan hal ini. Sebab,
seorang ilmuan dari manapun dan dari disiplin ilmu apapun akan selalu
mengedepankan sikap jujur dan mengatakan kebenaran.
Dalam
novel ini akan muncul nama-nama dari orang yang mengasihi dan yang dikasihi. Namun,
penulis juga tidak tahu apakah benar kisah mereka adalah kisah cinta. Apakah kisah Niswatuzzahra benar sebuah cinta? Ataukah
Najma Bathul yang sebenarnya? Atau bukan keduanya. Namun, sebuah kehidupan yang
maha indah telah menunggu bagi setiap orang yang menemukan cintanya. Idealisme puritan hanyalah sebuah dagangan obral dipinggir jalan bagi
seorang yang menemukan cinta, karena baginya hidup adalah sebuah kenyataan dan
kepastian. Bukan omong kosong. Begitu pula cinta.
***
Kisah apalagi
yang bakal menimpa kehidupan mereka di perantauan. Mencari ilmu sebagai tujuan
utama disertai dengan begitu banyak kisah bagi perjalanan mereka. Membuat
perjalanan mereka menjadi lebih indah, lebih memesona. Bak batu permata yang
baru diambil dari tambangnya. Batu itu akan digerindra, digosok, dihaluskan. Hingga akhirnya batu itu dipajang pada etalase toko
permata.
Gemintang
dilangit Darul Khasan selalu indah. Entah kenapa gemintang itu tampak lebih
rendah dari biasanya. Bulan yang tengah meyabit juga tampak tersenyum,
merayu-rayu. Pohon jambu air yang berada di depan masjid seakan-akan juga
bergoyang-goyang terdesir angin malam. Dari jauh lamat-lamat terdengar suara L
300 yang baru saja parkir di pelataran pesantren, tepat di samping masjid.
Keluarga besar dari Tuwarih sudah sampai di Pekalongan. Keluarga besar dari
Tuwarih akan sowan ke kediaman Kiai Baehaqi. Selain itu, keluarga besar itu
juga akan menjemput salah seorang dari sahabat karib itu. Keputusan yang bulat
telah diambil Barok. Dan ia putuskan untuk segera pulang ke Tuwarih.
“Inggih
Gus. Pulang yang hati-hati. Bapakmu dibantu, ilmunya diamalkan dengan
baik-baik. Berhubungan dengan masyarakat harus hati-hati gus, bakal
banyak coba dan goda. Bertingkah yang waspada jaga nama baik abahmu ini, jaga
nama baik pesantrenmu ini. Pulanglah gus, abah merestuimu.” Kiai Baehaqi
mewejangi Barok.
“Enggeh. Nyuwun doa restu
panjenengan, Bah.” Ucap Barok sambil mencium tangan Kiai Baehaqi.
“Mau nikah sekalian saja to Rok?”
Abah mencoba mencairkan suasana.
Yang ditanya hanya tersenyum, begitu
pula keluarga yang sowan.
“Pandonganipun Abah mawon.”
Setelah sowan dan pamitan dengan
keluarga ndalem. Keluarga itu pergi ke asrama putra menengok keadaan
Fadil dan Rido. Pak Sobari ditemani isteri juga Bu Siti Zulaikha ditemani Pak
Hasan dan Pak Hamdan beserta isteri.
Anak-anak yang sedang dikamar
langsung menghambur menciumi ayah-bundanya. Fadil menangis dipelukan Pak Hasan.
“Sudah, sudah. Sekarang kau sudah
berkumis, sudah besar.” Kata Pak Hasan.
“Betul Pak. Anak kita sudah
besar-besar. Betulkan Bu Rabiah?” Kata Zulaikha.
“Iya, betul sekali Bu.” Rabiah
menanggapi.
“Ayo masuk ke dalam saja pak.” Rido
meminta para tamunya untuk masuk ke ruang tamu asrama.
“Dil, kamu endak ikut pulang Barok?”
Pak Hasan bertanya pada anaknya.
Yang ditanya menjawab dengan
sopan,”Belum pak. Masih ingin menyelesaikan kuliah dulu.”
“Yah, ndak apa-apa kalau itu memang kekarepanmu
le, kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan.” Kata Bu Zulaikha.
“Ya bagaimana lagi wong
kepingin anaknya seperti itu. Sebenarnya bapak sudah semakin tua Dil. Sudah
saatnya dibantu mengurusi pondok dirumah.”
“Enggeh, Pak. Fadil akan bantu bapak.”
Tepat pada pukul empat sore
rombongan itu kembali ke Tuwarih. Berjalan menyusuri lebatnya hutan. Menuju
Pekalongan paling selatan. Dibalik rimba yang begitu asri, asli, penuh
kedamaian, keramahan alam, semuanya dirindukan.
Setelah kunjungan itu suasana jadi
sepi. Sosok Barok yang selalu rame dengan seluruh tingkah-polahnya yang lucu sangat
dirindukan oleh Rido dan Fadil. Barok telah kembali membantu mengurus pondok diTuwarih, mengajari anak-anaknya tentang kebaikan.
Post a Comment