Kang! eps.15


Sebuah Kisah
Tak ada hal di alam manusia ini yang dapat membuatnya menunggu tegar dan bersabar kecuali cinta. Begitu banyak kisah yang tersedia pada setiap jengkal kehidupan diatas permukaan bumi ini. Jika jumlah manusia laki-laki dan perempuan masing-masing dua juta jiwa maka sudah dapat dipastikan paling tidak setiap detik dalam waktu dua puluh empat jam akan ada dua juta kisah cinta yang terjalin.
Cinta sesuatu hal yang membuat pemiliknya merasa berbunga sekaligus kadang dipandang jijik. Sesuatu yang dianggap mulia terkadang pula dibuat nista. Seorang penyair memang tidak pandai membuat persamaan matematika tentang cinta. Atau sebuah kausalitas fisika untuk menjelaskan setiap getaran yang meresonanssi dalam hati pada setiap orang yang tengah dilanda cinta. Atau membuat sebuah bagan reaksi inti untuk menggambarkan seberapa besar cinta yang dihasilkan dalam setiap kisah itu. Atau seberapa besar daya ledak yang dihasilkan oleh sebuah cinta. Semua ini bukan tentang perhitungan apapun. Sastrawan memang mungkin bodoh, tetapi merekalah orang yang paling tahu bagaimana menggambarkan cinta itu. Ketika matematikawan menemukan pujaannya, adakah sebuah persamaan dapat menjelaskan keadaan hatinya. Ketika fisikawan yang paling jenius mengatakan tentang cinta dapatkah ia merumuskan kata hatinya yang paling dalam tentang ciintanya.
            Penulis juga belum atau terlalu tidak tahu bagaimana mendefinisikan tentang cinta itu. Namun, paling tidak ada sebuah pelajaran yang dapat diambil dari setiap kisah cinta. Tidak ada yang sia-sia dalam setiap apa yang telah kita lakukan. Memandang remeh tentang cinta hanya suatu kebodohan belaka. Cinta tak ubahnya kehidupan setiap manusia itu sendiri. Tetap merekah meski dalam kerontan, namun cinta tak akan pernah hidup dalam hati seseorang yang tak mau mengakuinya.
            Pada setiap kisah pasti ada sebuah nama dari seorang yang dikasihinya. Nama seorang perempuan ataupun nama seorang lelaki. Siapa dari keduanya yang lebih pandai menyimpan cinta? Adakah tatapan mata berarti sebuah jawaban. Adakah kerinduan adalah nyanyian sukma. Adakah kesabaran tanda kesetiaan, entahlah pembaca, penulis tidak begitu pandai tentang cinta. Namun, bagaimanapun juga, hati penulis masihlah seorang manusia yang pasti dapat merasakannya.
Bagaimana dengan kisah mereka bertiga. Apakah setiap idealisme yang mereka dapatkan dalam meja pendidikan dapat membuat mereka hidup tanpa kisah cinta? Cinta bukan suatu kecelakaan intelektual sedikitpun. Bahkan semua orang tak bisa menanggungnya, jika benar cintanya. Karena cinta sendiri adalah kehidupan. Terlalu berat sebuah kehidupan untuk mengandung kehidupan yang keagungannya adalah langit dan bumi.
            Adakah benar Einstein tidak menikah, adakah benar demikian? Cinta dan lelaki serta wanita dan keindahan adalah hal yang tak dapat dipisahkan. Dalam novel kecil ini akan muncul kisah-kisah cinta yang menggelorakan. Sebab tanpa kisah cinta semuanya akan terasa hambar dan kaku. Begitu pula dalam kehidupan, tidak hanya Yang Maha Rahman-Rahim tetapi setiap hati manusia juga diliputi perasaan kasih, sayang dan cinta. Tak ada rasa malu bagi penulis untuk mengatakan hal ini. Sebab, seorang ilmuan dari manapun dan dari disiplin ilmu apapun akan selalu mengedepankan sikap jujur dan mengatakan kebenaran.
Dalam novel ini akan muncul nama-nama dari orang yang mengasihi dan yang dikasihi. Namun, penulis juga tidak tahu apakah benar kisah mereka adalah kisah cinta. Apakah kisah Niswatuzzahra benar sebuah cinta? Ataukah Najma Bathul yang sebenarnya? Atau bukan keduanya. Namun, sebuah kehidupan yang maha indah telah menunggu bagi setiap orang yang menemukan cintanya. Idealisme puritan hanyalah sebuah dagangan obral dipinggir jalan bagi seorang yang menemukan cinta, karena baginya hidup adalah sebuah kenyataan dan kepastian. Bukan omong kosong. Begitu pula cinta.
***
Kisah apalagi yang bakal menimpa kehidupan mereka di perantauan. Mencari ilmu sebagai tujuan utama disertai dengan begitu banyak kisah bagi perjalanan mereka. Membuat perjalanan mereka menjadi lebih indah, lebih memesona. Bak batu permata yang baru diambil dari tambangnya. Batu itu akan digerindra, digosok, dihaluskan. Hingga akhirnya batu itu dipajang pada etalase toko permata.
Gemintang dilangit Darul Khasan selalu indah. Entah kenapa gemintang itu tampak lebih rendah dari biasanya. Bulan yang tengah meyabit juga tampak tersenyum, merayu-rayu. Pohon jambu air yang berada di depan masjid seakan-akan juga bergoyang-goyang terdesir angin malam. Dari jauh lamat-lamat terdengar suara L 300 yang baru saja parkir di pelataran pesantren, tepat di samping masjid. Keluarga besar dari Tuwarih sudah sampai di Pekalongan. Keluarga besar dari Tuwarih akan sowan ke kediaman Kiai Baehaqi. Selain itu, keluarga besar itu juga akan menjemput salah seorang dari sahabat karib itu. Keputusan yang bulat telah diambil Barok. Dan ia putuskan untuk segera pulang ke Tuwarih.
            “Inggih Gus. Pulang yang hati-hati. Bapakmu dibantu, ilmunya diamalkan dengan baik-baik. Berhubungan dengan masyarakat harus hati-hati gus, bakal banyak coba dan goda. Bertingkah yang waspada jaga nama baik abahmu ini, jaga nama baik pesantrenmu ini. Pulanglah gus, abah merestuimu.” Kiai Baehaqi mewejangi Barok.
            “Enggeh. Nyuwun doa restu panjenengan, Bah.” Ucap Barok sambil mencium tangan Kiai Baehaqi.
            “Mau nikah sekalian saja to Rok?” Abah mencoba mencairkan suasana.
            Yang ditanya hanya tersenyum, begitu pula keluarga yang sowan.
            “Pandonganipun Abah mawon.”
            Setelah sowan dan pamitan dengan keluarga ndalem. Keluarga itu pergi ke asrama putra menengok keadaan Fadil dan Rido. Pak Sobari ditemani isteri juga Bu Siti Zulaikha ditemani Pak Hasan dan Pak Hamdan beserta isteri.
            Anak-anak yang sedang dikamar langsung menghambur menciumi ayah-bundanya. Fadil menangis dipelukan Pak Hasan.
            “Sudah, sudah. Sekarang kau sudah berkumis, sudah besar.” Kata Pak Hasan.
            “Betul Pak. Anak kita sudah besar-besar. Betulkan Bu Rabiah?” Kata Zulaikha.
            “Iya, betul sekali Bu.” Rabiah menanggapi.
            “Ayo masuk ke dalam saja pak.” Rido meminta para tamunya untuk masuk ke ruang tamu asrama.
            “Dil, kamu endak ikut pulang Barok?” Pak Hasan bertanya pada anaknya.
            Yang ditanya menjawab dengan sopan,”Belum pak. Masih ingin menyelesaikan kuliah dulu.”
            “Yah, ndak apa-apa kalau itu memang kekarepanmu le, kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan.” Kata Bu Zulaikha.
            “Ya bagaimana lagi wong kepingin anaknya seperti itu. Sebenarnya bapak sudah semakin tua Dil. Sudah saatnya dibantu mengurusi pondok dirumah.”
            “Enggeh, Pak. Fadil akan bantu bapak.”
            Tepat pada pukul empat sore rombongan itu kembali ke Tuwarih. Berjalan menyusuri lebatnya hutan. Menuju Pekalongan paling selatan. Dibalik rimba yang begitu asri, asli, penuh kedamaian, keramahan alam, semuanya dirindukan.
            Setelah kunjungan itu suasana jadi sepi. Sosok Barok yang selalu rame dengan seluruh tingkah-polahnya yang lucu sangat dirindukan oleh Rido dan Fadil. Barok telah kembali membantu mengurus pondok diTuwarih, mengajari anak-anaknya tentang kebaikan.


0/Post a Comment/Comments