Kita manusia yang hidup sudah terikat dengan janji suci sejak permulaannya; bagaimana tidak, pada saat itu serempak kita berucap “Bala”. Coba kita ingat bersama, jika ingatan kita memang sanggup untuk mengingatnya. Pada suatu perjanjian suci di lembah Nu’man itu; saat Yang Wahid menyatakan cinta,”Alastu Birabbikum?”; bukankah Aku ini Tuhan kalian? Bukankah Aku Sang Pencipta kalian? Bukankah Aku yang memberi kehidupan kalian? Bukankah Aku kekasih kalian?
Kalian masih ingat?
Kita perlu sedikit mengingatnya lagi lewat rezki-rezki yang sudah kita nikmati, lewat kebahagian-kebahagian yang sudah kita rasakan, lewat kepedihan-kepedihan yang sudah kita cercap, lewat semua kemudahan yang sudah kita dapatkan; semuanya mengingatkan kita akan janji itu. Janji yang berdampak pada ke-papa-an kita sehingga mau tak mau kita sudah membawa cap hamba atas Sang Pengikat Janji.
Kejadian itu terekam jelas pada ‘jeda’ al-A’raf 172,
“Dan (Ingatlah), ketika Tuhanumu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawanb,”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS al-A’raf [7]: 172).
Menurut Ismail Fajri al-Atas[1] saat itu manusia seluruhnya telah bersaksi atas sebuah janji suci yang menjadi pijakannya dalam mengarungi kehidupan. Saat itu pula, arwah manusia bertemu dengan sesamanya. Mereka yang bersama saat itu akan bersahabat di dunia dan yang bertentangan akan berselisih pula. Itulah perjanjian suci pada masa lampau yang diutarakan Imam Bilfaqih dalam larik ini.[2]
Larik syair itu berbunyi,
Hak mengasihi adalah sesuatu yang kukuh dan teguh
Sesuai dengan janji suci pada masa lampau
Sudah sempurna diantara rukun dan hatiim
Tak sepenuhnya pada masa kini dan mendatang
Lihatlah betapa para penghulu Sang al-Mushtafa telah membocorkan kepada kita bahwa kita saat itu telah mengikat janji suci dan saat itu pula kita saling mengikat janji dengan sesama kita agar menjaga ‘Janji Suci’ itu dalam setiap alam kehidupan; semenjak alam arwah, kandungan, dunia, barzakh sampai nanti kembali lagi ke alam arwah.
Sabda kedekatan dan hubungan kita semua
Mari kembali bersama kita mengingat masa yang begitu indah pada saat itu, bukankah kita sudah “Syahidna”, serempak-kompak kita berucap janji. Saat itu kita sudah saling berkumpul dan menyatu bersama-sama pula dengan para kekasih yang berada pada barisan paling depan memimpin perjamuan agung yang terjadi.
Percikan kenikmatan zepir yang para kekasih hembuskan mengindikasikan saat itu merupakan saat pertama-tama dimana kita diperkenalkan dengan minuman-minuman para kekasih. Itulah apa yang disebut Ismail Fajri sebagai ‘Percikan arak cinta’ dari para kekasih yang tercium semerbak wanginya.
Percikannya saja adalah keutamaan yang harus kita syukuri, beruntunglah mereka yang menangkap percikan tersebut dan meminumnya dengan penuh penghayatan. Telaga-telaga keutamaan itu masih begitu menyengat mewanginya di dunia ini lewat mereka yang telah mencicipi percikan minuman cinta; mereka yang telah meneguk makna kemuliaan dan keluhuran. Dari cawan-cawan merekalah kita akan mampu menyadari keistimewaan para Kekasih Tuhan.
Wajib, bagi mereka yang memiliki kerinduan yang teramat-sangat menyesakkan dada untuk mendengarkan lantunan syair-syair dari para perindu suasana saat terjadinya ‘janji suci’ waktu itu.
Tugas kita pada etape dunia
Mereka yang mendengar perjalanan para kekasih akan merasakan kerinduan yang kuat pada mereka. Dari tuangan suci di telaga Nu’man itu kita harusnya merasa kerinduan yang besar untuk kembali berkumpul dalam suasana suka cita bersama para Kekasih Tuhan. Inilah kekasih yang sebenarnya dapat dikatakan kekasih.
Jika di dunia ini kita terpisah dengan Sang Kekasih, carilah kembali pokok kehidupan kita itu; yang darinyalah kita mencercap kebenaran yang dituangkan dalam cawan-cawan suci kebenaran. Kuncinya hanyalah cari, cari dan terus mencari sampai kita kembali menemukan masyrab kita dimana dalam al-Qur’an disebut sebagai ‘Masyrabahum’ tempat dimana ‘mereka’ mencercap kesegaran.
Dunia hanya salah satu etape kehidupan yang tidak akan membuat kita terpisah dari mereka yang telah mencercap cawan-cawan keindahan yang menyimpan makna kebenaran. Sekuat tenaga kita jaga kedekatan dan persahabatan dengan pemilik masyrab yang memimpin jiwa kita.
Nazrah wa Madad: Kata kunci yang terlupakan[3]
Berdoa adalah kata kunci kita agar mendapat pertolongan dari mereka; salah satu doa mujarab yang terlupakan adalah permintaan ‘Nazrah wa madad’. Bukankah dulu kita sudah bersaksi dan saling dipertemukan, apakah kita tidak merindu lagi untuk pertemuan agung itu?!
Nazrah wa Madad adalah permohonan kaum sufi kepada para penghulu mereka Sang Nabi maupun para wali. Kok bisa? Apa yang mereka pinta? Pada siapa sebenarnya permintaan itu tertuju? Dan Kenapa?
Salah satu buku antik yang membahas hal ini adalah karya Abdul Aziz Sukarnawadi salah satu ilmuan Tasawuf dan Abnak Tarekat terbaik yang dimiliki Indonesia dalam bukunya –Sabda Sufistik- menjelaskan bahwa tema ini menjadi bahasan dalam Majlis Sufi Tertinggi Mesir pada 2005 silam.
Syaikh Mukhtar ‘Ali Muhammad ad-Dusuqi yang menjadi narasumber pada waktu itu. Beliau adalah Guru Besar Tarekat Dusuqiyyah Muhammadiyyah, yang penjelasan beliau tersebut dikutip Dr. Sa’id Abu al-Asad dalam kitabnya Subul al-Khairat, dan kitab itupun diakui kebenarannya oleh mufti Mesir Syaikh ‘Ali Jum’ah as-Syafi’i. Berikut ringkasannya, yang dimuat oleh jurnalis kawakan Mesir untuk surat kabar Saut al-Ummah, Adel Hamouda.
Nazrah secara lingustik adalah tatapan dan Madad adalah tambahan. Para sufi hanya memohon dua suguhan itu secara sungguh-sungguh kepada Rasulullah, ahl bait dan para wali, bagaimana tidak Allah berfirman;
Dengan tegas pula Allah memerintah berdoa ‘Nazrah’ dalam firman-Nya;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengatakan,”Peliharalah kami”, tetapi katakanlah,”Lihatlah Kami.”
Sangat jelas bukan? Doa ‘Nazrah’ salah satu hal terpenting bagi kita, serta permohonan agar ‘Nazrah’ itu senantiasa ditambah dengan doa kita yang berbunyi ‘Madad’. Agar lebih tergambar jelas pada diri kita tentang pentingnya doa ‘Nazrah wa Madad’ ada satu ayat dalam al-Quran yang menggambarkannya, pada surat al-Hadid (57):13.
“Pada hari akhirat ketika orang-orang munafik laki-lki dan perempuan berkata pada orang-orang beriman,” Tataplah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.”Dibalas,”Kembalilah kalian ke belakang (lihatlah perbuatan kalian semasa di dunia dahulu) dan carilah cahaya sendiri (carilah yang dapat membuatmu berhak memperoleh tatapan kami)”. Lalu ditempatkan diantara mereka (orang-orang munafik dan orang-orang yang beriman) dinding yang mempunyai pintu. Di dalamnya terdapat rahmat dan di luarnya terdapat azab.”
Begitulah keadaan orang-orang munafik, nasib mereka begitu sial karena tidak boleh mendapatkan tatapan dari orang-orang yang beriman. Bukan sembarang tatapan, karena tatapan itu menjadi syafaat bagi mereka, namun sayang sekali merek atidak berhak mendapatkan tatapan itu di ahirat. Sebab, tatapan orang yang beriman hanyalah untuk mereka yang telah memintanya di dunia.
“Permintaan itu tertuju kepada Rasulullah dan para wali. Kenapa?”
Tampaknya pertanyaan itu sepele, namun dapat menggoyahkan akidah kita. Dalam buku yang sama –Sabda Sufistik- dijelaskan bahwa, dalam surat al-Isra (17): 20, Allah berfirman,
“Semua golongan, Kami-lah yang memberikan (madad) kepada mereka. Semuanya pemberian Tuhanmu.”
Jelas bukan?! Semuanya adalah pemberian (madad) Tuhan, termasuk didalamnya neraka, siksa, kepedihan, rezeki, anak, kebaikan, kebahagiaan, umur, surga dll. Jika kita meminta ‘madad’ dari Tuhan kemungkinan itu sangat ada berupa pemberian siksaan. Sedangkan, meminta madad dari para wali, Imam Husain misalnya, maka sudah barang tentu surga-lah yang diminta, sebab Rasulullah pernah bersabda,
Meminta madad dari Allah sama halnya kita meminum air dari laut atau sungai, dimana masih terkandung garam. Sedangkan, meminta madad dari para wali bagaikan kita meminum air dari kran (sudah tersaring airnya). Namun, tak dapat kita pungkiri bahwa air kran bersumber dari air laut, namun kondisinya yang sudah tersaring dan bersih.
Begitulah pembaca, pentingnya doa Nazrah wa Madad Ya Rasulullah, Nazrah wa Madad ya Ahlal Bait, Nazrah wa Madad Ya Auliyaaillah. []
14 ramdhan 1438/8 Juni 2017
Post a Comment