Sewaktu dia menata tempat untuk membaca kitab suci, tampak seorang memandanginya dari jauh dengan pandangan yang aneh. Mengikuti setiap gerak kakinya yang sudah mondar-mandir ke jeding mushalla lima kali karena terlalu banyak menambahkan sambal tomat saat berbuka puasa.
“Tadi, buka puasa terasa nikmat dengan terong penyet sambal tomat racikan kang Tejo,” lanjutnya,”Tapi, ahh...akibatnya, fatal, meh tadarus perutnya. Ah...”, batin Yusup.
Sudah lima belas menit pula sepasang mata dibalik kain gorden ndalem mengikuti gerakan kang Yusup. Kang Yusup santri kawakan di Pondok al-Barkah, sudah sembilan tahun ia mengabdi di pondok. Sedangkan ia abdikan dirinya untuk mengurus mushalla pondok selama lima tahun terakhir atas perintah Abah Yai Hasan.
Sesekali kang Yusup memergoki sepasang mata yang sedari tadi mengaawasi gerak-geriknya, secepat itu pula gorden itu tertutup oleh tangan kanan. Tatapan wajah dibalik tirai itu tajam. Menghujam hati dengan sayu pandangnya, namun selalu waspada dengan tatapan orang yang sedang dirinduinya itu.
***
Yusup masih mencuci cangkir-cangkir bekas digunakan nyami’an lepas shalat tarawih di Mushalla Muttaqin. Sambil mendendang selawat Nabi, terkadang bersiul-siul, terkadang diam sambil menggoyang tubuh ke kanan-kiri. Sarungnya ditekuknya sampai lutut, baju kokonya ia lipat sampai siku, songkoknya ia lepas, terlihatlah rambut gonderongnya.
“Krpyuk...krpyuk...”, gemericik air keran membilas sisa-sisa sabun yang membusa dimulut cangkir. Yang mencuci cangkir sesekali menghisap padutnya, penuh nikmat. Setelah selesai dicuci tiga puluh biji cangkir itu mengkilat lagi. Dimasukannya anak-anak cangkir itu ke dalam rak dan dibawa masuk ke gudang Mushalla.
Di dalam mushalla Kang Subhan tengah asyik membaca surat al-Fath juz enam belas. Dengan syahdu dan kenikmatan mereguk kata-kata dari Yang Maha Cinta. Disampingnya Kang Matori asyik menyimak ayat demi ayatnya sambil sesekali menyeruput kopi yang mulai dingin karena pegunungan paninggaran mulai berkabut tipis.
Langit Paninggaran malam itu ditaburi bebintang kerlap-kerlip merangkai ayat kauniyyah yang dihampar dari ujung semesta oleh Yang Maha Indah. Bulan yang purnama indahnya, mengajak setiap yang melihatnya untuk menggerakkan hati dan bibirnya bertasbih, menyucikan Asma Tuhan.
“Subhkhanallah...Begitu indahnya kau bulan, kekasih setiap perindu.” Puja Kang Yusup pada pencipta-Nya. Ia tengah duduk di emperan Mushalla melepas pegal pada punggungnya. Sesekali menghisap padut yang yang ia racik dari campuran tembakau asli Temanggung dan Menyan 55. Berbau khas dan terasa nikmat untuk menghangatkan tubuh yang dipeluk kabut.
Tanpa disadari Kang Yusup, mata yang sedari tadi mengawasinya masih setia menatap gerak-geriknya. Ia tak enak hati dengan yang menatap, terlalu tahu siapa pemilik mata yang kerling indahnya mampu merenggut hati setiap yang muda.
“Bahagianya.” Batin Kang Yusup sembari memindah duduknya ke samping utara Mushalla, menatap jalanan yang dipenuhi anak-anak berkejaran menyanyikan kebahagiaan masa kanak di malam puasa. Bayangannya menerabas ke masa lalu, dahulu dia yang berkejaran dijalanan sana. Jalan samping pondok yang datar menjadi tempat berkumpulnya serdadu kecil menggerilya jajan sisa ta’jil.
Ia teringat Mbah Yai Hasan yang mengajaknya masuk ke Mushalla dan memberinya secangkir teh hangat. Masih terlalu ingat saat ia menyeruput ujung cangkir itu penuh bahagia. Lantas cangkir itu dipecahkannya, karena panasnya air teh. Berbarengan dengan itu, dirinyapun menangis sejadinya, namun Mbah yai Hasan memeluknya, menenangkannya.
“Sudah lama sekali, sekarang wajahku sudah berhiaskan dengan kumis.”, gumamnya.
***
Setelah hampir setengah jam setia menemani, Kang Matori melanjutkan bacaan Kang Subhan, jam menunjuk angka sepuluh. Kang Matori sudah selesai satu juz dan hendak beristitarahat.
“Kang, kang Yusup gantian sampean yang tadarus.” Panggil Subhan dari dalam Mushalla. Yang dipanggil sudah tertidur di atas dampar sambil tangan menggenggam mushaf Utsmani.
“Eyalah, Kang malah tidur,” lanjut Subhan,”Kang, bangun kang, bangun, giliran sampean yang tadarus. Kalau mau dimarahi Abah Yai, ya sudah lanjutkan tidurnya. Wong malam ini jadwalnya sampean kok.” Subhan dengan pelan menggoyang-goyang tubuh Yusup yang terlelap. Dan yang dibangunkan menggeliat, tubuhnya meliuk ke kiri, lantas ke kanan.
“Sudah Kang, sana giliran sampean yang tadarus.”, cerocos Subhan pada Yusup yang mulai mengucek mata kantuknya.
“Iyo... tak wudhu sek.” Yusup melangkah gontai ke tempat wudhu. Peci hitamya ditinggal diatas dampar menelingkupi mushaf Utsmaninya.
“Gedebuk...” Suara debuman dari jeding itu menghentikan bacaan Subhan.
“Kenopo maneh kae bocah. Sana, lihat kang ada apa?” Perintah Matori pada Subhan.
***
“HAHAHA...” Subhan terpingkal melihat Yusup terjungkal.
“Aduh, sakit kang, tolongi to, malah gemuyu ae.” Yusup meringis kesakitan. Yang diminta tolong masih terpingkal-pingkal. Sembari menahan tawa, Subhan membantu Yusup bangun dari jatuhnya.
“Jadi orang itu yang sadar kang,” sambung Subhan,”jangan gegabah dan buru-buru.”
“Enggeh Pak Yai...” Seloroh Yusup sambil menahan sakitnya.
“Sudah, sana wudhu, itu gantiin Matori tadarus.”
“Iya, sabar to kang.”
Setelah selesai ganti sarung dan bajunya, Yusup sesuci dengan air yang mengalir dingin dari sumber air yang mengalir deras dari atas hutan sana. Pipa-pipa panjang menyambungkan air jernih itu ke Mushalla dan rumah-rumah penduduk.
“Sini gantian, aku yang baca Yusup bin Sabar al-Paninggarani.” Kelakar Yusup pada Subhan dan Matori.
Keduanya ketawa menyambut kelakar Yusup.
“Eish, eish, salah, bukan juz tiga puluh Kakang prabu, juz delapan belas.” Matori mengingatkan kawan santrinya itu.
Dibalik cendela sepasang mata itu semakin menghujamkan pandangnya pada tingkah Yusup yang tak lumrah. Namun, itulah yang selalu ditunggunya, saat Yusup keluar dari asrama. Selepas Yusup menghafal dan mengajarkan al-Quran pada santri ibtidak. Sepasang mata itu senantiasa menunggu keluarnya purnama yang menyinari benih-benih yang sulit untuk dirinya pahami maknanya.
Bulan malam ini memang sempurna indahnya. Dari sekian banyak bintang yang bertebaran ada sebuah bintang yang begitu dekat dengan purnama. Berkerlap-kerlip merayu bulan untuk selalu didekatnya. Begitu pula keadaan sepasang mata itu, menghembuskan doa agar matanya selalu melihat purnama Yusup yang begitu dirindukannya.
***
“Nduk, tidak tidur, sudah malam.”, wanita sepuh berkebaya itu memeluk kepala putri semata wayang dalam keluarga besar Kiai Hasan yang kini mulai dewasa.
“Mangke umi, masih betah mendengar tadarus dari mushalla.”, sepasang matanya masih tetap menatap keluar, menerabas batas kaca tertuju pada pemuda Yusup yang tengah mengalun indah membaca Surat-surat cinta dari Yang Maha Cinta.
“Kau melihat siapa nduk?”
“Tidak, bukan siapa-siapa bu. Nur hanya melihat langit yang indah.”, terbata menjawab pertanyaan yang tidak akan diduganya.
“Kau melihat langit, atau mendengarkan tadarus nduk?”
“Eh, iya. Umi, Nur sekaligus melakukan keduanya.”, sekenanya saja wanita muda itu menjawab pertanyaan ibunya. Tampak kikuk, dan jelas Bu Nyai lebih paham apa yang tengah terjadi pada putri kesayangannya itu.
Gelagat itu sudah diketahui Bu Nyai sejak tiga bulan terakhir. Anak perempuannya senang sekali duduk menyampingi cendela menghadap ke Mushalla. Ketika Ramdhan tiba, kebiasaan itu bertambah lagi seringnya. Apalagi malam Selasa seperti ini, jadwal pemuda Yusup tadarus di Mushalla.
“Nduk, jujurlah, siapa yang senantiasa kau tunggu dibalik jendela itu?”
“Tidak ada bu.”
“jujurlah pada umimu ini nduk.”
“Enggeh, umi.”, pada malam yang penuh gemintang Ayah, ibu dan anak itu mendiskusikan bunga-bunga yang tengah bermekaran pada hati Nur.
Keluarga besar Pak Kiai Hasan Setuju dengan rencana itu. hati Nur bukan kepalang bahagianya. Besok malam setelah tarawih, Pak Kiai akan memanggil pemuda Yusup untuk mengutarakan maksud hatinya.
***
“Yusup, anakku. Kau sudah hampir sepuluh tahun besar dipesantren ini. Orang tuamu pasti bahagia dialam sana melihatmu tumbuh begitu membanggakan.”, lanjut Pak Kiai,”Nak, usiaku sudah sepuh, kedua kakak Nur membuka pesantren sendiri di Lambanggelun sana, tidak ada yang meneruskan aku disini.”, Pak yai berhenti demi melihat pemuda didepannya mendengarkan kata-kata yang keluar dari hatinya itu.
”Nak, umurmu sudah cukup untuk menikah. Aku tidak punya apa-apa untuk membalas jasamu membesarkan pondok ini. Berkat kerja kerasmu pondok ini dikenal luas masyarakat Paninggaran. Yang kupunya hanya seorang anak perempuan, Nur Jannah.’, berhenti sejenak, Pak Kiai membetulkan posisi silanya untuk mengatakan maksud tujuan dipanggilnya pemuda Yusup ke Ndalem. Lanjut Pak Kiai Hasan,”menikahlah dengan Nur anakku, aku merestuimu. Pikirkan masak-masak hal ini. Minggu depan kutunggu jawabanmu anakku.”
***
“Abah, sudah abah berikan semuanya pada yatim-piatu ini. Terlalu besar karunia abah yai padaku. Jika harus ditambah dengan Nur Jannah, sempurnalah sempurnanya abah. Tetapi, pemuda Yusup ini tidak memiliki sesuatu apa untuk membalas segalanya. Semoga abah tidak salah memilihkan buat Nur Jannah. Penghafal Quran dan penjaga warisan zikir itu terlalu mulia kudapatkan abah.”
“jangan kecewakan abahmu ini dengan menolak lamaran yang diucapkan dari dasar hatinya yang paling suci.”, jika sudah dawuh siapa orangnya yang berani membantah. Yusup terdiam sesaat, lantas pergi meninggalkan Pak Kiai Hasan, Bu Nyai Rabiah, dan Nur Jannah serta beberapa keluarga besar pak kiai.
***
Semua orang bingung memandang Yusup pergi. Tak lama, Yusup tergopoh menenteng kebaya batik.
”Abah, hanya ini yang saya punya buat mahar Nur Jannah. Dan insya Allah, beberapa surat al-Quran bah.”, semua mata meleleh demi melihat adegan lugu namun penuh kejujuran ini.
“Nak, aku punya kerbau ambillah buat melamar Nur Jannah.”, ujar Pak Kiai Sobari, kakak kandung Kiai Hasan sambil mengusap bulir air mata yang melepuh dari kelenjar matanya.
“Enggeh matur suwun yai.”, pemuda Yusup mencium tangan Kiai Sobari penuh takzim. Sedangkan, Bu Nyai Rabiah sudah semakin erat memeluk tubuh Nur Jannah, yang dipeluk tersedu sedan dalam dekapan pundak ibundanya.
Saat itu juga setelah berbuka puasa Kang Yusup mengucapkan Ijabnya untuk Nur Jannah. Semua santri berbahagia. Namun, wanitanya tak henti menangis, setelah tahu pengantinnya akan riyadhah ke sembilan makam wali untuk menghatamkan quran sebagai maharnya.
Post a Comment