Satu hari sebelum keberangkatan, seperti biasa keempat sahabat itu pergi ketempat kesukaannya, Kali Genteng. Berteduh dibawah rerimbun pohon-pohon di pinggir tebing Kali Genteng. Mendengarkan gemericik air, bisikan hutan, ungkapan-ungkapan alam raya, dan bercengkrama dengan belaian desis angin.
“Dil, kita harus menjadi pemuda yang mewarisi Tuwarih.” Dayat berkata dalam duduk lingkar itu.
“Apa yang bisa kita lakukan Yat?” Barok menanggapi.
“Bukan sekarang Rok. Tapi sepuluh, lima belas, atau bahkan dua puluh tahun lagi, kita harus ‘berbuat’. Masa depan zaman tentu tidak ada yang tahu, begitu juga dengan Tuwarih kita ini Rok. Kita harus bisa menyelaraskan diri dengan Zaman. Agar?!” Dayat menerawang jauh.“Agar Tuwarih mampu bertahan. Menjawabi segala tantangan dan ancaman zaman. Saat ini para tetua yang berbuat. Tetapi suatu saat mereka akan kembali pada tanah asalnya. Tidak selamanya mereka menjadi sandaran. Sejatinya, kita malah sandaran itu sendiri Rok. Pahamilah ini teman-teman.”
“Benar sekali kau Yat. Suatu saat mereka akan kembali, mengambil janji kehidupannya. Saat itulah kita harus meneruskan kehidupan. Melanjutkan hidup dan kehidupan Tuwarih. Semuanya, hutan, sungai, cengkih, masjid, sekolah, dan anak-anaknya.” Tanggap Rido.
“Benar sekali sahabat-sahabatku. Mari! hari ini kita berjanjilah. Ingat kisah Baiat Aqabah bukan? Disaat Rasulullah mengambil baiat pada pemuda Madinah. Mereka berjanji hidup teguh dalam mencintai dan mengimani Rasulullah dalam Islam, dalam segalanya. Baiklah, ayo kita berjanji untuk melanjutkan semangat baiat itu. Bukankah kemarin bapak mengajarkan seperti itu.” Fadil menambahi kawan-kawannya.
Hampir semuanya sepakat suatu saat nanti dikemudian hari mereka akan meneruskan hidup dan kehidupan di Tuwarih sana. Desa dibalik rerimbun lebat hutan Pekalongan. Mereka mengambil janji itu. Menyatukan tangan dalam genggam dan berjanji.
***
Perpisahan yang memilukan.
Langit Paninggaran mulai merintik, membasahi hutannya, jalanannya. Rerumputan yang dari tadi diam tiba-tiba bergoyang mengiramai angin yang mengembus. Debu yang sejak tadi menempel pada tanah kini mengepul meningkahi laku hujan yang semakin menderas.
Mobil berwarna hitam itu tetap melaju tenang ditengah guyuran hujan. Berlenggak-lenggok mengikuti alur jalan yang menikung, kadang-kadang naik, sebentar turun, pada sebuah titik terkadang mobil menikung sekaligus menanjak atau kadang-kadang menurun.
Hujan yang menderas menciptakan kabut yang memeluk hutan bak seorang ibu mendekap buah hatinya. Sesekali L 300 itu menyalip truk pembawa sapi didepannya. Sesekali pula motor menyalip dari belakang. Suasana didalam mobil senyap, anak-anak tengah tertidur. Sedang Pak Hasan dan Mang Abu saling diam menahan doa dalam hati supaya diberi keselamatan dalam perjalanan.
Sekitar lima belas menit lagi, mobil keluar dari pelukan hutan yang dirintiki hujan. Kabut semakin tebal saat mobil tiba pada sebuah tikungan curam. Perpaduan air hujan dan jalanan yang menurun sempurna untuk membuat mobil tergelincir. Demi menghindar truk yang melaju tak terkendali dari depan, Mang Abu membanting setir ke kanan, sembari kaki kanan menginjak pedal rem. Secara reflek pula tangan kiri Mang Abu menarik tuas rem tangan. Ban belakang menderit, mobil membuat putaran hampir tiga ratus enam puluh derajat. Mobil sudah diluar kendali Mang Abu, menabrak besi pembatas jalan, terpental ke luar badan jalan. Sementara truk yang juga sudah oleng, lebih dulu terjun ke dasar jurang sedalam tujuh belas meter membentuk sudut tujuh puluh derajat tak sempurna. L 300 menyusul beberapa detik kemudian.
Mang Abu masih sekuat tenaga menguasai mobil agar tidak membalik, namun apatah mau diperotes hujan yang terus menderas, kabut yang semakin menebal, dan pepohonan yang berjajar membuat mobil kencang terhempas kedasar jurang. Pada sebuah tabrakan yang keras dengan pohon pinus yang tinggi menjulang mobil Mang Abu terhenti.
Bagian depan mobil sudah tak berbentuk. Kaca depan pecah, dua orang yang berada didepan mobil tergencet dasbor mobil. Mang Abu sudah tak bernafas lagi, kakinya patah terjepit mobil yang hancur.
Semantara Pak Hasan juga mengenaskan kondisinya. Wajahnya penuh luka, kakinya tak dapat digerakkan. Terasa remuk seluruh tubuh, terguncang dan terjepit pepohonan pinus hingga mobil tak berupa lagi.
Jalanan yang menurun, licin, kecepatan mobil, truk didepan mobil. Semua menjadi satu kesatuan kesedihan disenja hari. Langit murung, sementara dirumah masing-masing orang tua Rido, Fadil, Dayat, dan Barok berfirasat aneh. Kecemasan menemani deras hujan yang semakin lebat. Tak tahu satu detikpun pada adegan maut di tikungan Sibelis yang terkenal curam itu.
***
Dari Tuwarih, Zulaikha ibu Fadil yang tengah membuat teh untuk Pak Hamdan dan Bu Hamdan yang belum pulang setelah mengantar anaknya jatuh dari tangan. Firasatnya merasa ada sesuatu keburukan yang tengah terkadi kepada anak-anak mereka.
“Ada apa nak Zulaikha?” Bu Hamdan bertanya dari ruang depan.
“Tidak apa-apa Bu.” Kata Zulaikha.
“Lain kali hati-hati nak Zulaikha.” Tambah Pak Hamdan.
Zulaikha meyakinkan hatinya dengan doa. Menghilangkan segala fikiran buruk dengan mengobrol dengan keluarga Hamdan itu. Sementara pada belahan yang lain dari Paninggaran tengah terjadi perpisahan yang begitu hebat mendera jiwa. Begitu menyedihkan bagi jiwa-jiwa yang saling mencintai.
“Apakah aku sudah mati?!.” Jiwa Fadil bertanya pada kepastian yang sedang dihadapinya.
Didepan dirinya terlihat sebuah mobil yang tak keruan lagi bentuknya, empat tubuh remaja tak sadarkan diri. Seorang diantaranya mengeluarkan darah dari kepalanya. Jiwa Fadil menengok kearah sepuluh meter dari tempat berdirinya, sebuah Truk sarat muatan getah karet terguling. Dua panumpangnya selamat, sementara supir tak sadarkan diri menelungkupi setir. Sehingga tanpa disengaja suara klakson menderit memecah sunyi.
Jiwa Fadil ingin menangis namun tak berurai air matanya. Melihat tubuh bapaknya yang tak sadarkan, sementara kaki tangannya terjepit dasbor mobil. Lebih pilu lagi saat ia lihat Mang Abu yang sudah tak berdenyut lagi nadinya.Sementara di jok bagian belakang juragan Slamet memeluk erat tubuh Muhammad Hidayat anaknya. Keduanya sudah tak bernafas lagi, tangan sang ayah memeluk erat tubuh anaknya. Luka disana sini, juga benturan, juga ketakutan, juga takdir Yang Maha Kuasa telah berkata. Kedua orang terkasih itu tergolek kaku, jiwa Fadil yang melihat kedua tubuh itu nanar, terluka, tangannya menembus kaca mobil membelai rambut sahabatya itu. Jiwanya memeluk jiwa Dayat, kencang sekali. Dua jiwa yang saling mencintai merasakan perpisahan yang maha dahsyat telah mengambil jarak kepada mereka.
Orang-orang didalam mobil itu sudah sepenuhnya berusaha untuk keselamatan mereka. Jiwa-jiwa mereka juga sudah seluruhnya dipasrahkan kepada Allah yang Maha Takdir. Tak perlu ada yang disalahkan, semuanya sudah berusaha untuk berhati-hati. Namun siapa yang mampu melawan dinding takdir Tuhan.
“Ayo nak, waktu kita sudah tiba.” Jiwa juragan Slamet menggandeng jiwa Dayat anaknya. Mengajaknya menuju dimensi lain dari kehidupan yang asing bagi mereka.
“Ayo, kita kembali Yat. Kita lanjutkan perjalanan. Kita belum lagi sampai di Darul Khasan kenapa kau pergi?!” Jiwa Fadil menangis, menatap lekat cahaya putih yang bersinar terang melatari juragan Selamet dan Dayat.
“Kawan, waktuku sudah tiba. Aku tunggu kau di alam kebahagiaan. Lanjutkanlah cita-citamu, wujudkan mimpi kita, mimpiku pula Dil. Aku harus segera pergi. Aku menunggu kalian kawan, sahabat-sahabatku dalam kehidupan dunia maupun akhirat.” Jiwa Dayat dan juragan Selamet bergandengan dituntun dua orang penuh kedamaian entah menuju kemana. Yang Fadil tahu, mereka menuju kesebuah tempat yang dipenuhi dengan ketenangan dan kebahagiaan. Kedua orang terkasih itu sudah lenyap. Entah.
Post a Comment