Kang Aguk-Kaji Syahid-Kang Imam |
Hujan gerimis menemani sore penduduk Tuwarih, rintik-rintik air membentuk diagonal tertepa angin dari selatan ke utara dari angin lembah. Dari dalam sebuah rumah yang terbuat dari kayu-kayu lempeng yang disusun membujur, beratap seng, saat hujan seperti ini, suara gemeratak air begitu memekik telinga. Hujan tengah turun begitu derasnya, diatas dahan-dahan cengkih yang menjulang kabut mulai membentuk koloni. Meskipun hari masih siang namun mentari tak berani menampakkan seberkas saja sinarnya untuk Tuwarih ini.
Hujan sudah turun selama dua jam, sementara waktu Ashar sebentar lagi masuk dan hujan belum juga berhenti. Itu artinya akan banyak anak-anak desa yang tidak berangkat ngaji dirumah Pak Hasan. Setiap ba’da ashar Pak Hasan membuka rumahnya untuk mendidik anak-anak Tuwarih dengan ilmu agama. Rido, Fadil, Dayat, dan Barok adalah santri-santri yang setia menemani waktu sore Pak Hasan. Beliau lulus dari pondok pesantren Madrasah Muroqqilil Quran Lirboyo yang diasuh Mbah Maftuh Bathul Birri tahun pada tahun 2007.
Rumah Pak Hasan berukuran sedang tidak terlalu besar. Hanya saja ruang tengah yang sengaja dibuat lebar sebagai tempat belajar agama untuk anak-anak Tuwarih. Sementara setiap malam seninnya Pak Hasan mengisi pengajian untuk ibu-ibu di Mushalla al-Qanaah samping rumahnya.
Dari rumah itu terdengar seorang tengah melantunkan ayat-ayat suci. Suara itu lamat-lamat datang dari sebuah bilik yang terletak di ruang depan rumah. Didalam bilik itu bersila diatas sajadah seorang pria berusia empat puluhan, kedua matanya dihiasi kacamata, berpeci songkok hitam, suaranya syahdu. Dialah Pak Hasan, guru ngaji yang masih setia dengan kitab-kitab yang berjajar di rak itu. Saat hujan seperti ini biasanya anak-anak enggan berangkat ngaji. Memilih melingkarkan kakinya didepan tungku menghangatkan tubuh. Atau sekedar hujan-hujanan di lapangan dengan bermain sepak bola. Jika sudah seperti ini kalau tidak ada yang sakit, maka yang berangkat ngaji hanya empat sahabat itu. Kalau beruntung akan ada satu atau dua tambahan lagi teman, biasanya adalah Syamsi anak Pak Suhar tetangga Rido.
Sembari menunggu anak-anak yang lain berangkat Rido menemui ayahnya yang tengah membaca al-Quran di kamar. Sore itu Fadil hendak mengutarakan keinginan hatinya kepada Pak Hasan. Fadil tidak berani langsung masuk kedalam kamar sebab masih terdengar suara ayahnya tengah khusyuk membaca al-Quran. Setelah terdengar suara Shadaqallahuladim dari dalam kamar. Barulah Fadil berani mengetuk pintu kamar ayahnya dan masuk setelah diijinkan oleh ayahnya.
Setelah mencium tangan ayahnya Fadil mengutarakan isi hatinya. Membicarakan apa yang kemarin mereka berempat sepakati di Kali Genteng.
“Pak, Fadil akan melanjutkan sekolah bersama kawan-kawan Fadil?!” Fadil melaporkan kekarepan hatinya pada ayahnya, Pak Hasan. Setelah mushaf Utsmani itu diletakkan diatas dampar.
”Dimana to le?”
“Di Pekalongan Pak.”
Pak Hasan tidak menjawabi hanya manggut-manggut sambil mengelus-elus dagu yang tak berjenggot. Matanya menerawang jauh.
“Baiknya Bapak pikirkan sama ibumu dulu le.”
“Gih Pak.”
Setelah mengetahui ayahnya tidak menjawab langsung Fadil segera menggelar tikar ditempat dimana dia biasa mengaji bersama anak-anak Tuwarih lainnya. Fadil duduk menunggu teman-temannya dating sambil menikmati hujan sore ini sampai langit dibelahan bumi yang lain sudah menyambut maghrib.
Tadi sore Rido dan Dayat tidak berangkat ke rumah Pak Hasan. Sore itu yang datang hanya Barok seorang ditemani oleh Syamsi. Itupun waktu maghrib hampir tiba. Hujan hari itu memang lebat dan lama sekali. Sudah hal yang lumrah bagi penduduk Tuwarih untuk menghadapi hujan yang lebat dalam waktu berjam-jam lamanya.
Untuk mengganti ngaji pada sore tadi maka setelah shalat maghrib di mushalla, Fadil mengaji fiqh kepada ayahnya ditemani Rido, Barok, Dayat dan beberapa anak-anak desa yang lain. Kitab Fashalatan bab shalat dibuka oleh Pak Hasan. Anak-anak Tuwarih pada malam itu belajar tatacara shalat, syarat dan rukunnya. Sekaligus melancarkan hafalan bacaan-bacaan shalat kepad Pak Hasan. Biasanya, kalau Pak Hasan sedang tidak enak badan maka ayah Barok, Pak Sobari yang menggantikan posisi Pak Hasan untuk mengajari anak-anak Tuwarih itu tentang agama dan akhlak.
Ngaji malam itu tidak akan usai sebelum adzan Isya dikumandangkan oleh Mang Subhi. Anak-anak akan gembira saat suara bedug itu ditabuh, yang artinya waktu isya akan segera datang dan pengajian akan berakhir. Pak Hasan menutup pengajian lantas menjadi Imam shalat Isya. Meskipun suasana dingin dan tadi sore hujan lebat, para tetua kampung tak melewati shalat berjamaah di Mushalla al-Qanaah.
Setelah shalat usai lampu-lampu dimatikan oleh Fadil ketika semua orang sudah dipastikan keluar dari mushalla. Setelah semua lampu dimatikan dan dua pintu bagian depan mushalla sudah dikunci. Mereka berempat duduk di serambi mushalla, sambil melingkarkan kain sarung pada tubuh mereka. Suasana dingin sekali, bahkan lantai mushallapun ikut menjadi dingin.
“Aku sudah bilang bapakku Rok. Kita akan sekolah bersama lagi, jadi tak perlu kuatir kita akan berpisah.” Fadil membuka pembicaraan setelah baru saja menutup semua pintu. Menyampaikan pembicaraan empat mata dengan ayahnya selepas ngaji tadi.
“Aku juga sudah bilang sama bapak-biyungku. Dan mereka setuju-setuju saja.” Rido menambahi Fadil.
“Lantas bagaimana denganmu Yat?” Tanya Rido.
“Aku belum bertanya kepada mereka. Bapak masih sibuk dengan kebun-kebun cengkihnya. Sampai-sampai lupa mengurusi anaknya sendiri.”
“Hmm... Biasa juragan cengkih.” Dengus Barok.
“Tapi, aku pasti membujuk bapakku supaya mengizinkan aku sekolah di Pekalongan sana.”
“Semoga saja kau tak dijadikan juragan pula oleh bapakmu. Menjadi orang terkaya ditanah Tuwarih ini.” Tambah Barok masih sedikit kesal dengan Dayat.
Barok masih menambahi kata-katanya,“Aku hanya ingin kita tetap bersama. Saat kita sudah lulus nanti, bersama-sama kita membangun desa kita ini. Kita bangun perpustakaan yang bagus, kata saudara-saudaraku yang sekolah dikota. Disana perpustakaannya bukunya bertumpuk-tumpuk. Selaain itu, nanti kita buat kincir air yang bertenaga besar, supaya seluruh desa dapat disinari oleh lampu. Jadi, anak-anak desa Tuwarih tidak perlu bersusah payah ketika belajar. Semuanya nanti kita bangun bersama. Manusianya, alamnya, seluruhnya. Begitulah impianku kawan-kawan.”
Anak-anak yang duduk melingkar itu manggut-manggut bersama tanda sepakat. Impian yang seperti itu terbit dari anak-anak pribumi dari dalam dirinya sendiri. Kesadaran yang sudah dipupuk sejak kecil oleh alam dan kesederhanaan. Alam melatih mereka untuk berpikir dewasa, alam mengajari mereka untuk memberi, alam mengajari mereka cara mencintai, alam pula yang telah mengajarkan kepada mereka tentang hidup dan kehidupan.
Malam semakin beranjak, kabut semakin tebal menyelimuti dedaunan, jalan-jalan desa, suasana semakin dingin. Bahkan kasur-kasur dan dinding-dinding rumah menjadi dingin. Semua telah terlelap, desa kembali sunyi dan malam mengambil bagian kehidupannya. Menjadi saksi beberapa tetua yang bangun dari tidurnya, mengambil air wudu yang begitu dinginnya dan tegakkan shalat lail.
Diluar sana udara masih dingin dan menusuk tulang. Sementara suara lolongan anjing mulai terdengar dari arah hutan pinus di balik bukit sana.
Post a Comment