Kang! eps.4


Nyantri Sastra




Benar adanya kehidupan di pondok memang apa adanya, dibiarkan begitu rupa senatural mungkin. Namun semua itu dimaksudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang tangguh, militan dan kreatif menghadapi setiap masalah hidup yang dihadapinya. Anggapan-anggapan jelek mengenai pesantren yang hidup ditengah masyarakat sebenarnya kembali kepada tabiat masing-masing anak yang tengah menjalani prosesnya di pesantren. Buktinya banyak cerdik-cendekia Indonesia menjalani proses kehidupan dan menempa diri di pondok-pondok pesantren. Sebut saja Gus Dur bapak bangsa sekaligus presiden Indonesia keempat, dasar-dasar keilmuannya dimulai dari pesantren.
            “Pyak..Pyak...” Suara air berkecipak menyirati Barok yang tengah rebahan. Kini Rido sudah berada disampingnya.
            “Ngalamun apa to Rok?” Rido bertanya, sembari menatapi lekat tubuh kawannya.




            “Aku mikir setelah ini saja Do.”
            “Maksudmu apa Rok?” Tanya Fadil penasaran yang sedari tadi berenang-renang sambil memanah ikan.
            “Tidak bagus berpikir terlalu berat sendirian. Kita harus saling berbagi beban Rok.” Ucap Dayat polos menirukan gaya Pak Hasan saat mengajar ilmu akhlak setiap sore.




            Rido dan Dayat akhirnya menyusul Barok dan Fadil yang tengah rebahan diatas batu ditengah aliran deras kali genteng.
            “Begini kawan. Aku akan dikirim sekolah ke kota oleh ayah ibuku. Sedang kawan-kawan setia yang senantiasa berbagi hari berada di balik bukit-bukit ini.”




            “Oh.. begitu?!” Jawab Rido, Fadil dan Dayat hambir bersamaan.
            “Aku akan menemanimu Rok, kemanapun kau pergi tak usahlah kau bersedih.” Jawab Fadil yang kini telah membuat lingkaran diatas batu besar itu.




Keempatnya tengah serius berbincang mengenai hari-hari yang tak akan lagi sama.   Mengenai sebuah tempat tinggal, pri kehidupan, orang-orang, serta kebiasaan yang tak akan lagi sama seperti disini. Di Tuwareh tempat menyandarkan masa remaja sedari orok memecah tangis.
            Mereka tengah membincangkan tentang sebuah perjalanan keluar untuk kembali, menggagas dan berkarya. Memikirkan tentang sebuah pencarian, tentang sebuah petualangan.




            “Apa kita akan berkumpul lagi seperti ini ketika kita telah kembali nanti?” Tanya Rido sambil melempari air dengan kerikil.
            “Entahlah kawan, semua ini tentang sebuah perjalanan panjang nan melelahkan. Dan ketika kau kembali kau sudah tak lagi sama .” Jawab Fadil penuh arti dan menatap dalam kepada Rido.
            “Benar katamu Dil.” Barok membenarkan ucapan Fadil sembari mengangkat tubuhnya dan duduk, menepuk pundak Rido. Kemudian tangan yang satunya lagi ia raihkan pada pundak Dayat, jadilah mereka berempat berpelukan.




            “Aku akan ikut bersamamu Rok.” Seru Fadil.
            “Aku juga, meski ibuku menyuruhku belajar di sekolah negeri saja.” Jawab Rido anak pak mantri satu-satunya di Tuwarih.
            “Aku juga akan bersamamu Rok. Kita berempat akan mondok bersama meski sekolah kita nanti berbeda-beda.” Dayat menutup pembicaraan empat sekawan itu.
Keempatnya mengeratkan pelukan. Diatas langit burung elang berputar-putar, mengepakkan sayapnya, seolah berkata,”Akulah raja.”




0/Post a Comment/Comments