Kang! eps.2

Darul Chasan





Sesampainya di halaman sekolah, bocah-bocah pemakai seragam merah-putih begitu asyiknya berlarian, bermain penuh canda tawa yang begitu riang, saling berkejaran satu sama lain. Merah-putih yang diatas sana berkibar-kibar meningkahi bocah-bocah Indonesia yang begitu riang gembira.
“Tett... Tett...” Bunyi bel penanda waktu masuk sudah bersaut-sautan membisik setiap pojokan sekolah, mengingatkan agar setiap siswa segera memasuki kelas masing-masing. Tiba-tiba halaman upacara yang tadi ramai, kini membisu ditinggal tingkah polah kekanakan para siswa. Seluruhnya, bocah-bocah tadi terserap kedalam ruang-ruang kelas yang berjumlah enam itu.




Keempat bocah yang tadi bertemu dijalanan desa Tuwarih, kini sudah bersama duduk dalam ruang kelas enam. Mereka berempat duduk pada bangku yang terletak tepat didepan Pak Guru Sumaeru. Pak Guru yang satu ini, berperawakan kecil, mengajar bahasa Jawa, usianya sudah sepuh sekitar lima puluh tahun. Kalau mengajar galak, sesekali siswa yang ribut akan mendapat sasaran kapur yang melayang.
 Inilah PR yang dimaksuh Fadil, tugas untuk menulis nama sendiri menggunakan aksara Jawa.
“Ampun! kena aku.” Batin Barok.
Dadanya gemetaran, takut kalau-kalau Pak Sumaeru menyuruhnya maju kedepan. Menuliskan namanya menggunakan aksara Jawa di papan tulis bercat hitam yang sudah mulai kusam itu. Ruang kelas enam diam, dibungkam oleh ketakutan pada seorang Pak Sumaeru.




***
Sementara bocah-bocah mencari ilmu, orang tua mereka berangkat ke sawah, ladang, huma. Bertani, merawat cengkih, mencangkul tanah, merabuk tanah,  memotong rumput, semuanya saja pekerjaan petani. Pekerjaan seorang petani memenuhi cerita pagi warga Tuwarih. Sinar mentari yang mencuri-curi pandang dari balik dedaun yang rimbun sudah tampak semakin kuning. Suara hewan-hewan hutan, burung-burung bersaut-sautan. Suara  jenggeret menyayat pagi hari dengan suara khas kinjeng tangisnya. Dibalik rimbun rerumputan sepasukan semut mulai menyatroni bekal Pak Sobari yang sedari pagi merabuk pohon cabai dan bibit cengkihnya.




Isterinya, Rabiah sudah sejak pagi tadi datang membawakan bekal untuk sarapan pagi suaminya. Dibawakannya serantang nasi, sambal terasi, mentimun, petai, dan beberapa ekor gerih. Baunya menyengat, sedap, membuat lambung dan lidah menjalankan sekresinya.
“Pak, istirahat dulu diminum tehnya.” Suara Rabiah meminta suaminya untuk sejenak menghentikan pekerjaannya.
“Iya, bu.” Sobari berjalan kepada isterinya sembari menyeka peluh yang membuat bajunya menjadi kuyup.
“Pak, anak kita segera lulus dari sekolah dasar. Baiknya, anak kita melanjutkan ke tingkat selanjutnya di Pekalongan saja pak, sambil mondok?!” Sambil menuang teh kedalam gelas untuk suaminya, tampak sesekali Rabiah mengusap peluh pada wajah Pak Sobari dengan telapak tangannya.
“Kata Pak Hasan, di Pekalongan sana banyak pondok pesantren yang berkualitas bagus, ada sekolahnya juga, bu.” Sembari menyeruput teh yang dihidangkan Rabiah, Pak Sobari lekat memandangi wajah isterinya yang masih saja menjadi bunga didalam hatinya.
Tiba-tiba ingatannya tertuju pada pertemuan-pertemuan yang telah silam dengan Rabiah. Pertemuan-pertemuan yang sudah menjadi kenangan pada sebuah masa yang telah silam.




“Iya Pak. Bapak kenapa memandang ibu seperti itu?” Wajah Rabiah memerah tersipu malu menatap pandang mata suaminya itu.
“Endak bu. Sorot mata itu masih saja sama seperti bertahun lalu saat Bapak di pondok.” Wajah sobari menerawang jauh pada kejadian yang telah silam itu. Pertemuan mereka di ndalem Pak Kiai yang berujung pelaminan.
“Eh, Bapak kok malah ngelamun to.” Sementara tangan Rabiah menggoyangkan tubuh suaminya segera saja Sobari membenarkan letak duduknya dari lamunan. Menghilangkan kelebat yang memenuhi bayang dalam pikirannya.
“Iya bu. Begini maksud bapak, bagaimana kalau Barok mondok ditempat dulu kita mondok saja bu?”




“Boleh juga pak, sekalian menyambung silaturrahmi dengan keluarga Abah Yai.”
“Betul bu. Mari kita sarapan bersama bu, sama saat kita makan bersama teman sekamar di pondok dulu.”
Rabiah menyiapkan sarapan suaminya yang tadi pagi ia masak sendiri. Tangannya cekatan, sesekali Rabiah menambahkan lauk ke piring Sobari. Dalam hati Sobari bersyukur,”Bu terimakasih sudah menemani hari-hari panjangku.”




0/Post a Comment/Comments