Kang! eps.14


            “Assalamualaikum.”
            “Waalaikumsalam.” Bu Hamdan membukakan pintu.
            “Masya Allah, Rido.”  Bu Hamdan terkejut,”Ayo massuk nak.”
            “Kamu ini, pulang kok ndak ngabari rumah dulu to ndung.”
            “Biar surprise Bu, hehe...”
            “Sudah tua kok di surprise-surprise bae to ndung, aneh-aneh saja anak jaman sekarang. Ayo istirahat dulu sana, biar ibu siapkan makanan.”
            “Bapak ten pundi to bu?”
“Bapakmu masih di Klinik, ada warga yang dirawat. Sudah dua hari tapi belum sembuh juga.”
            “Enggeh, sakit napa to Bu?”
            “Kampung ini sedang di landa wabah sakit panas ndung.”
            “Ngaten to Bu. La sudah ada mantri baru belum Bu?”
            “Sudah ada, tapi lebaran kayak gini ya masih mudik to le.” Bu Hamdan sambil membawakan makanan untuk Rido ke meja depan.
            “Kamu sudah selesai belum ngajinya?”
            “Ya, sebenarnya sudah bu. Sekarang bantu-bantu ngajar di pondok. Kenapa Bu?”
            “Kalau sudah, mbok itu Pak Hasan, ayah Fadil dibantu-bantu ngajar. Kasian kondisi tubuhnya yang seperti itu di tambah ngajar ndak ada yang bantu.”
            “Kan sudah ada Pak Sobari Bu.”
            “Iya, tapi kan Pak Sobari bantu tidak setiap waktu to ndung.”
            “O, nanti Fadil tak suruh pulang saja wes Bu. Biar bantu bapaknya.
            “Ya, kalau kalian bertiga sudah selesai mbok pulang saja semua. Bantu bapak dan ibu membangun Tuwarih.”
            “Sebenarnya, memang itu cita-cita kami berempat Bu.” Sejenak Rido teringat karibnya yang telah meninggal dunia. Tiba-tiba terbersit dihatinya untuk berziarah ke makam  karibnya itu.
            “Iya, yasudah itu dimakan dulu nasinya.”
            “Enggeh, Bu.”
            Suasana desa masih sama, hanya beberapa rumah sudah mulai dibangun dengan batu-bata dan semen. Setelah dua hari di rumah, Rido berangkat lagi ke Darul Khasan, membawa bekal hasil bumi Tuwarih yang melimpah, petai, jengkol, manggis, durian, mlinjo, singkong, semuanya untuk Pak Kiai dan sebagian untuk teman-teman pengurus di Darul Khasan.
Jalanan Tuwarih memang sudah sedikit berbeda. Jika dahulu hanya sebuah batu yang ditata. Maka jalanan aspal telah menggantikannya. Sekolah SD juga telah berbenah, dipersolek dengan kelas yang ditambah dan sebuah pagar tembok telah membuatnya terpisah dari jalanan desa. Teman-teman sekolah dulu telah banyak yang berkeluarga. Rumah-rumah juga semakin banyak menggantikan pohon cengkih dengan batu-bata dan semen. Hanya Kali Genteng yang tetap sama, tetap mengalirkan kehidupan dan membelah bebukitan Tuwarih. Batu-batunya masih berserakan. Hanya jumlah kincir air yang semakin berkurang. Tiang-tiang listrik sudah ditanam dijalanan Tuwarih, mengalirkan reaksi atomik bermuatan listrik ke rumah-rumah penduduk Tuwarih.
Sepanjang perjalanan kembali ke Darul Khasan, Rido nikmati alam Tuwarih yang masih begitu asli. Tersembunyi dibalik lebat hutan pinus dan bebukitan. Menatap langitnya adalah sebuah karunia besar dari Tuhan Yang Maha Esa. Lahir di tanahnya adalah sebuah kehormatan tiada tara.
            Sesampainya di pondok, Rido langsung sowan ke Pak Kiai menyampaikan titipan dari orang tuanya. Dari ndalem, Rido langsung menemui kedua sahabatnya di kamar, membicarakan apa yang tengah terjadi di Tuwarih.
            “Tapi, kuliah kita belum selesai Do.” Barok sedikit mengingatkan.
            “Iya, tapi seperti itulah kondisinya Rok.”
            “Memang benar kau, Do.”
            “Lantas bagaimana menurutmu Kang Fadil?”
            “Kalau aku sendiri belum ingin pulang sampai lulus kuliah. Kalian berdua sowan ke abah saja nanti malam, minta masukan dari beliau.” Usul Fadil.
            “Kenapa ente belum mau pulang?” Barok menyela.
            “Belum mau aja. Hehe...”, Fadil menggoda Barok,”Aku belum puas mencari ilmu Rok.”
            “Hem... Sama saja, aku juga.”
            “Bagaimana kabar bapak-ibu di rumah Do?”
            “Alhamdulillah semuanya sehat. Salam kalian juga sudah kusampaikan kepada bapak-ibu kalian. Katanya minggu depan bakal sowan kemari, menjenguk kalian. Anak-anaknya yang nakal-nakal gak perah mau pulang.”
            “Hahaha...” Meraka tertawa bersama.
            Diam-diam Rido membuat kopi sambil membuka pisang yang dibawanya dari Tuwarih. Segera kopi itu diseruput, mengepul sedap ditemani Gedang Ijo Tuwarih yang besar-besar.
            “Malu aku Rok kalau pulang belum punya bekal apa-apa.” Fadil menatap Barok, kali ini sedikit serius.
            “Kau ini kurang bekal apa Dil? Itu lihat, kitab itu sudah kau tumpuk sedemikian banyaknya. Makalah juga sama banyaknya, berserakan ora genah.”
            “Iya. Tetapi, dirumah bapak kita kasihan. Kalau kita tidak segera pulang, aku khawatir dengan pendidikan agama anak-anak Tuwarih Dil.”
            “Betul. Aku juga sudah melihat sendiri, yang ngaji semakin sedikit Rok. Anak-anak lebih suka bermain segala kecanggihan yang ditawarkan oleh abad modern ini.” Rido menguatkan Barok.
            “Sudah saatnya kita mengamalkan teori-teori pendidikan itu. Aku sudah ingin pulang Dil. Membantu bapak-ibu kita. Zaman telah berubah Dil. Sudah tidak sama lagi. Anak-anak lebih suka kemudahan yang melenakan daripada belajar mengaji.” Tambah Barok.
            “Tidak. Tidak ada yang berubah dari zaman Rok. Potongan zaman adalah sebuah diakronis satu kesatuan yang utuh. Dari dulu sampai kiamat. Hanya saja pemikiran manusia, siapa yang dapat menghentikannya.” Tukas Fadil. Jawabnya sedikit argumentative. Namun tampaknya Barok telah memutuskan apa yang harus dilakukannya.
            “Dil, aku ikut pulang minggu depan. Kuliah urusan nomer pitu likor.”  Barok mantab.


0/Post a Comment/Comments