“Waalaikumsalam.” Bu Hamdan
membukakan pintu.
“Masya Allah, Rido.” Bu Hamdan terkejut,”Ayo massuk nak.”
“Kamu ini, pulang kok ndak ngabari
rumah dulu to ndung.”
“Biar surprise Bu, hehe...”
“Sudah tua kok di surprise-surprise
bae to ndung, aneh-aneh saja anak jaman sekarang. Ayo istirahat dulu sana, biar
ibu siapkan makanan.”
“Bapak ten pundi to bu?”
“Bapakmu
masih di Klinik, ada warga yang dirawat. Sudah dua hari tapi belum sembuh juga.”
“Enggeh, sakit napa to Bu?”
“Kampung ini sedang di landa wabah
sakit panas ndung.”
“Ngaten to Bu. La sudah ada mantri
baru belum Bu?”
“Sudah ada, tapi lebaran kayak gini ya masih mudik to le.” Bu
Hamdan sambil membawakan makanan untuk Rido ke meja depan.
“Kamu sudah selesai belum ngajinya?”
“Ya, sebenarnya sudah bu. Sekarang
bantu-bantu ngajar di pondok. Kenapa Bu?”
“Kalau sudah, mbok itu Pak Hasan, ayah Fadil dibantu-bantu ngajar. Kasian kondisi
tubuhnya yang seperti itu di tambah ngajar ndak ada yang bantu.”
“Kan sudah ada Pak Sobari Bu.”
“Iya, tapi kan Pak Sobari bantu
tidak setiap waktu to ndung.”
“O, nanti Fadil tak suruh pulang saja wes
Bu. Biar bantu bapaknya.”
“Ya, kalau kalian bertiga sudah
selesai mbok pulang saja semua. Bantu
bapak dan ibu membangun Tuwarih.”
“Sebenarnya, memang itu cita-cita
kami berempat Bu.” Sejenak Rido teringat karibnya yang telah meninggal dunia.
Tiba-tiba terbersit dihatinya untuk berziarah ke makam karibnya itu.
“Iya, yasudah itu dimakan dulu
nasinya.”
“Enggeh, Bu.”
Suasana desa masih sama, hanya
beberapa rumah sudah mulai dibangun dengan batu-bata dan semen. Setelah dua
hari di rumah, Rido berangkat lagi ke Darul Khasan, membawa bekal hasil bumi
Tuwarih yang melimpah, petai, jengkol, manggis, durian, mlinjo, singkong,
semuanya untuk Pak Kiai dan sebagian untuk teman-teman pengurus di Darul
Khasan.
Jalanan
Tuwarih memang sudah sedikit berbeda. Jika
dahulu hanya sebuah batu yang ditata. Maka jalanan aspal telah menggantikannya.
Sekolah SD juga telah berbenah, dipersolek dengan kelas yang ditambah dan
sebuah pagar tembok telah membuatnya terpisah dari jalanan desa. Teman-teman
sekolah dulu telah banyak yang berkeluarga. Rumah-rumah juga semakin banyak
menggantikan pohon cengkih dengan batu-bata dan semen. Hanya Kali Genteng yang
tetap sama, tetap mengalirkan kehidupan dan membelah bebukitan Tuwarih.
Batu-batunya masih berserakan. Hanya jumlah kincir air yang semakin berkurang.
Tiang-tiang listrik sudah ditanam dijalanan Tuwarih, mengalirkan reaksi atomik
bermuatan listrik
ke rumah-rumah penduduk Tuwarih.
Sepanjang perjalanan kembali ke Darul Khasan, Rido nikmati alam Tuwarih yang masih begitu asli.
Tersembunyi dibalik lebat hutan pinus dan bebukitan. Menatap langitnya adalah
sebuah karunia besar dari Tuhan Yang Maha Esa. Lahir di tanahnya adalah sebuah
kehormatan tiada tara.
Sesampainya di pondok, Rido langsung
sowan ke Pak Kiai menyampaikan titipan dari orang tuanya. Dari ndalem, Rido langsung menemui kedua
sahabatnya di kamar, membicarakan apa yang tengah terjadi di Tuwarih.
“Tapi, kuliah kita belum selesai
Do.” Barok sedikit mengingatkan.
“Iya, tapi seperti itulah kondisinya Rok.”
“Memang benar kau, Do.”
“Lantas bagaimana menurutmu Kang Fadil?”
“Kalau aku sendiri belum ingin
pulang sampai lulus kuliah. Kalian berdua sowan ke abah saja nanti malam, minta
masukan dari beliau.” Usul Fadil.
“Kenapa ente belum mau pulang?”
Barok menyela.
“Belum mau aja. Hehe...”, Fadil
menggoda Barok,”Aku belum puas mencari ilmu Rok.”
“Hem... Sama saja, aku juga.”
“Bagaimana kabar bapak-ibu di rumah
Do?”
“Alhamdulillah semuanya sehat. Salam kalian juga sudah kusampaikan kepada
bapak-ibu kalian. Katanya minggu depan bakal sowan kemari, menjenguk kalian.
Anak-anaknya yang nakal-nakal gak perah mau pulang.”
“Hahaha...” Meraka tertawa bersama.
Diam-diam Rido membuat kopi sambil
membuka pisang yang dibawanya dari Tuwarih. Segera kopi itu diseruput, mengepul
sedap ditemani Gedang Ijo Tuwarih yang besar-besar.
“Malu aku Rok kalau pulang belum
punya bekal apa-apa.” Fadil menatap Barok, kali ini sedikit serius.
“Kau ini kurang bekal apa Dil? Itu lihat, kitab itu sudah
kau tumpuk sedemikian banyaknya. Makalah juga sama banyaknya,
berserakan ora genah.”
“Iya. Tetapi, dirumah
bapak kita kasihan. Kalau kita tidak segera pulang, aku khawatir dengan
pendidikan agama anak-anak Tuwarih Dil.”
“Betul. Aku juga sudah melihat
sendiri, yang ngaji semakin sedikit Rok. Anak-anak lebih suka bermain segala kecanggihan yang ditawarkan oleh abad modern ini.” Rido menguatkan Barok.
“Sudah saatnya kita mengamalkan
teori-teori pendidikan itu. Aku sudah ingin pulang Dil. Membantu bapak-ibu kita. Zaman telah berubah
Dil. Sudah tidak sama lagi. Anak-anak lebih suka kemudahan yang melenakan
daripada belajar mengaji.”
Tambah Barok.
“Tidak.
Tidak ada yang berubah dari zaman Rok. Potongan zaman adalah sebuah diakronis
satu kesatuan yang utuh. Dari dulu sampai kiamat. Hanya saja pemikiran manusia,
siapa yang dapat menghentikannya.” Tukas Fadil. Jawabnya sedikit argumentative.
Namun tampaknya Barok telah memutuskan apa yang harus dilakukannya.
“Dil, aku ikut pulang
minggu depan. Kuliah urusan nomer pitu
likor.” Barok mantab.
Post a Comment