Di masjid suara Kiai Baehaqi begitu fasih membaca bacaan-bacaan shalat maupun surat-surat al-Quran. Suara merdu yang begitu menggetarkan hati setiap santri. Selepas shalat maghrib, usai adalah jadwal bagi para santri kelas Tsanawi untuk ngaji, sementara para santri Ibtida’ juga diizinkan untuk mengikutinya sebagai tambahan dan persiapan menuju ke kelas Tsanawi. Pengajian akan usai sekitar pukul delapan. Bagi santri yang juga bersekolah mereka belajar pelajaran-pelajaran sekolah, dan yang tidak bersekolah mereka sibuk membuka kembali kitab kuning yang dikaji sore tadi. Dari mereka ada yang tengah ngaji sorogan pula di ndalem Abah Yai, dan banyak juga santri yang tengah khusuk menghafal al-Quran di serambi masjid.
Mereka biasanya akan tertidur pada pukul dua belas malam. Jarang dari mereka yang tidur di kamar-kamar pondok. Akan lebih ramai ketika tidur di aula tengah atau di masjid. Ketika kumandang subuh sudah bertalu-talu kebanyakan santri sudah menunaikan shalat lail dan tengah i’tikaf di masjid. Ngaji seusai shubuh adalah setoran al-Quran kepada Abah Baehaqi, dan ngaji Nashoikhul ‘Ibad sampai pukul setengah tujuh. Setelah itu santri yang sekolah berangkat ke sekolah, dan yang tidak sekolah melanjutkan mengaji pada pukul sembilan pagi sampai dzuhur tiba. Setelah dzuhur sampai ashar adalah waktu untuk beristirahat, terkadang ada yang tidur, ada pula yang mencuci pakaian, namun kebanyakan dari para santri lebih suka untuk mencuci pakaian pada malam hari.
Begitulah keseharian para santri kebanyakan, begitu juga Rido, Fadil, dan Barok. Setiap dua minggu atau sebulan sekali terkadang orang tua mereka dari Tuwarih datang untuk menjenguk mereka. Seringkali mereka akan membawa segala hasil bumi Tuwarih seperti singkong, pisang, dan yang lainnya untuk mereka. Selain itu, orang tua mereka juga membawa hasil-hasil bumi Tuwarih yang melimpah itu untuk keluarga Pak Kiai Baehaqi, pengasuh pondok pesantren.
Rutinitas yang sangat menjemukan tetapi asyik untuk dijalani. Satu hal unik yang muncul dari mereka adalah ketika ada sebagian santri yang suka mencuci pakaian dimalam hari. Pada malam-malam hari saat gemintang dilangit sana tengah bekerlap-kerlip bagai mata yang merayu-rayu untuk segera terbang kesana. Keindahan gemintang itu diiringi dengan suara canda tawa disela-sela suara gemericik air dan kucekan pakaian kotor. Sayup-sayup dari masjid terdengar lantunan al-Quran, atau santri yang tengah lalaran Nadzom ilmu nahwu maupun shorof. Ramai sekali suaranya, mereka sangat bersemangat dengan suara yang bersaut-sautan terdengar begitu merdu, diiringi tetabuhan dampar, atau suara apa saja yang dapat menambah semaraknya lalaran.
Ketika malam jumat tiba waktunya bagi para santri untuk libur. Tetapi mereka tidak libur sepenuhnya, sebab tetap ada kegiatan wajib yaitu membaca tahlil setelah jamaah shalat mangrib di masjid sampai waktu shalat isya tiba. Biasanya yang mengimami tahlil adalah Ustadz Sukron, santri senior yang sudah hampir sepuluh tahun di pondok. Sehabis shalat isya atau sekitar pukul delapan tiba, waktunya bagi para santri untuk meluapkan kerinduan mereka pada junjungan dengan membaca shalawat dan membaca kitab maulid di masjid pesantren.
“Ya robbi shalli ala Muhammad ya rabbi shalli alaih wa sallim.” Suara mendayu kang Makmur yang diikuti suara santri lainnya memimpin maulid Diba’, penuh pepujian kepada Nabi, yang Allahpun telah mengagungkan dirinya melalui, “Wa Innaka la’ala khuluqin adzim.”
***
Tanpa dirasa hari-hari yang panjang telah mereka lalui. Hari telah berganti minggu, minggu telah berganti pula dengan bulan, dan tahunpun telah mengganti bulan. Tanpa terasa hingga pada hari raya Idul Fitripun mereka lupa untuk pulang ke kampung halaman sekedar bersalaman memohon maaf pada orang tua. Bukan karena apa-apa, namun itulah yang ditirakatkan mereka untuk mendapatkan ilmu. Belajar untuk hidup mandiri, menahan segala kerinduan untuk berkhidmat kepada pesantren.
Tanpa terasa kali ini adalah idul fitri satu Syawal 1436 H, Ied yang kesepuluh. Usia Barok, Fadil dan Rido sudah menyentuh kepala dua. Mereka adalah pemuda-pemuda tangguh dari pegunungan yang membawa cita-cita untuk mencari ilmu di kota. Bukan karena emas, bukan pula uang, dan bukan pula demi permata niatan mereka untuk merantau. Tetapi, mereka merantau demi ilmu. Mereka membanting tulang mencari ilmu yang digadang akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat Tuwarih, hidup dalam kesejahteraan dan tercerahkan.
Setelah shalat Ied di masjid pondok. Beberapa santri yang menetap di pondok sowan ke ndalem. Memohon maaf kepada Abah Baehaqi dan keluarganya. Abah tinggal berdua dengan isterinya, sedangkan anak beliau yang bernama Gus Rozak belajar di al-Ahqaf Yaman. Sudah dua tahunan dia kuliah sambil ngaji di Rubat Tarim, Hadramaut, Yaman milik Habib Umar bin Hafidz. Sudah menjadi kebiasaan sebagian pesantren di Pekalongan, mengirimkan Gusnya ke Yaman untuk belajar ditanahnya para wali Allah itu.
Lebaran tahun ini Rido pulang ke Tuwarih menengok ayah-ibunya yang semakin sepuh. Ditinggallah Fadil dan Barok di pondok berdua. Minggu depan rombongan dari Tuwarih akan sowan ke Pak Kiai. Jadi mereka berdua tak perlu pulang ke Tuwarih.
Rido pulang naik Bis Coyo jurusan Pekalongan-Paninggaran-Kalibening-Karangkobar. Rido dari pondok naik angkutan umum jurusan Pekalongan-Wiradesa-Bojong-Kajen. Dari angkutan pertama Rido turun di terminal Kajen diganti dengan bis jurusan Kajen-Paninggaran. Biasanya banyak bis yang sudah menunggu penumpang. Kernet bis mondar-mandir membuat suasana terminal semakin hiruk.
“Yo, Paninggaran, Kalibening, Karangkobar!” Suara kernet bersaut-sautan memenuhi telinga Rido.
“Paninggaran mas?” Seorang kernet menawari Rido.
“Iya.”
“Ayo, monggo naik mas.” Sembari sedikit mendorong tubuh Rido masuk ke dalam Bis. Kernet itu mengangkat kardus berisi kitab milik Rido keatas Bis.
Setelah masuk ke dalam bis, Rido duduk dipinggir jendela pada kursi nomor dua dari supir bis. Setelah dua puluh orang menjejali kursi yang menderet ruangan bis. Pak supir mulai menggerakkan tuas porseneling dan menginjak pedal gas. Tanpa menunggu lama bis bergerak menuju Paninggaran.
Bis ukuran ¾ menderu melingkari jalanan berkelok, turun dan menanjak. Orang bilang jalanan obat nyamuk karena bentuknya mirip obat nyamuk yang muter-muter. Cukup membayar lima belas ribu rupiah atau setara dengan hanya satu dollar perjalanan membelah hutan terlampaui sudah. Dari pasar Paninggaran perjalanan dilanjutkan dengan ojek dengan ongkos yang sama. Bukan masalah jaraknya kenapa ongkosnya terbilang sama, tetapi karena jalanan dan medan yang lebih berat maka ongkospun menyesuaikan. Perjalanan dengan ojek membutuhkan waktu sekitar satu jam, jadi total seluruh perjalanan yang ditempuh Rido adalah tiga jam. Perjalanan yang cukup melelahkan.
Post a Comment