Ketika ditanya siapa yang membangunkan para santri dikala lelap? Jawabnya adalah bunyi-bunyi yang tak bersahabat. Siapakah yang mengingatkan ketika malas beribadah? Jawabnya adalah pengeras suara yang menyebalkan. Begitulah satu-dua minggu pertama di pesantren. Kehidupan terasa bagai sebuah penyiksaan tak berperi. Kerinduan yang tak bertepi, tangis yang tak mampu dibendung lagi ketika malam tiba. Seberapapun kuat cita-cita mereka, hampir mereka bertiga selalu menangis pada malam-malam panjang minggu pertama. Menahan rindu di kamar, sesenggukan dalam bantal dari sarung. Sampai pada suatu malam yang ke sepuluh Barok menyadarkan mereka.
“Do, apakah kita disini hanya untuk menangis?”
“Bukan Rok.”
“Betul. Lalu kenapa setiap malam harus kita habiskan dalam senggukan. Kau juga Rok?”
Barok menatap tajam Fadil, masih mengira-ngira apa yang akan Fadil ungkapkan.
“Kita sudahi tangisan kita teman. Orang tua kita di Tuwarih senantiasa terbangun di kala malam, demi merapal doa buat kita.” Ujar Fadil.
“Juga para kanaknya, tanahnya, tetuanya, seluruhnya. Bukankah kita masih ingat apa yang kita ucapkan di Kali Genteng?!” Tegas Barok.
“Bukankah masih terlalu ingat kecelakaan itu. Bahkan, Dayat harus mengobarkan nyawanya demi merasakan hidup di Darul Khasan ini. Lantas, kenapa kita tak segera hentikan tangisan kita?!”
Kedua temannya hanya diam mendengarkan ucapak Barok. Dalam hati, Fadil dan Rido setuju namun segan untuk memotong kalimat Barok.
Setelah genap dua minggu, barulah mereka mulai mengenal satu-dua dari nama-nama santri di Darul Khasan. Seperti Kang Ulfan, Kang Nabil, Kang Najib, Kang Ozi, Ji eng, namun dibanding yang mereka hafal masih lebih banyak nama-nama santri yang tidak mereka kenal.
Begitu pula dengan kitab-kitab gundul itu mulai mereka rapal nadhomnya, banyak kitab-kitab dasar yang mereka pelajari, Mabadi’ al-fiqhiyyah, Washoya, Persiapan, Jet Tempur, dan kebanyakan lainnya adalah kitab-kitab dari Pondok Pesantren Lirboyo.
Menyenangkan ketika pada akhirnya minggu berbilang bulan, dan bulan membilang tahun. Mereka sangat menikmati belajar sambil sekolah di Madrasah Tsanawiyyah setara dengan sekolah menengah pertama milik yayasan pesantren. Dan pada akhirnya mereka bertiga menjadi bagian dari pondok ini, hidup dan belajar kehidupan didalamnya.
Di Darul Khasan, santri dibagi dalam tiga tingkatan belajar yaitu tingkat Ibtida’ selama tiga tahun, tingkat Tsanawi selama dua tahun, dan terakhir tingkat Ula selama bertahun-tahun, sebab ketika santri sudah sampai pada tingkatan ini biasanya mereka telah menjadi bagian dari pondok ini dan sudah membantu mengajar kelas dibawahnya. Sehingga membuat santri kelas Ula jarang mau menyudahi belajarnya. Dapat disimpulkan mereka selalu haus akan ilmu.
Sore ini kelas satu Ibtida’ belajar kitab Washoya, berisi tentang akhlak yaitu nasihat-nasihat seorang ayah kepada anaknya. Pelajaran akhlak dari kitab yang dita’lif oleh Muhammd Syakir: Syekh Ulama’ al-Iskandariyyah ini begitu sederhana tak terlalu tebal namun sarat makna. Yang mengajar adalah Ustadz Bahir, ustadz senior di Darul Khasan yang ramah, memiliki pembawaan yang santai sehingga disukai banyak santri. Seperti biasa, Ustadz Bahir membacakan kitab sekaligus makna gandulnya. Sementara santri memberi arti atau bahasa pesantrennya adalah ngabsahi kitab gundul. Beraneka macam cara santri menulis makna pada kitabnya. Dari mereka ada yang memaknai diatas dampar, ada pula yang memaknai diatas paha, bahkan ada pula yang memaknai tanpa alas apapun, mereka itulah para santri yang memaknai dengan cara memegang kitab dengan tangan begitu saja.
Kelas itu ditutup tepat pada pukul lima sore. Setelah selesai dari kelas, Rido dan kedua temannya kembali ke kamar, menambal absahan yang masih bolong-bolong karena kelewatan. Sembari menunggu kumandang adzan maghrib tiba, para santri belajar membaca kitab itu kembali, merenungi maknanya, sering kali mereka juga menghafal kata-kata mutiara yang terdapat dalam kitab Washoya itu. Kegiatan macam itu yang rutin dilakukan oleh semua santri sampai pandai benar mereka menguasai kitab kuning.
Beberapa santri yang lain tampak sudah berada di masjid pondok, mereka membaca al-Quran, berzikir, atau bercengkerama di pelataran masjid. Sementara itu dari bilik kamar mandi tampak beberapa santri tengah mengantri untuk mandi, ada pula yang tengah mencuci baju, atau sekedar mengambil air untuk dimasak. Lain halnya di kamar pengurus yang tengah mengadakan rapat untuk acara peringatan maulid Nabi Muhammad.
Tak lama kemudian terdengarlah suara yang begitu merdunya memanggil-manggil setiap yang muslim untuk menghadap Tuhannya.
“Allahu Akbar... Allahu Akbar...” Suara adzan yang mengalun dari toa atas masjid.
“Yok berangkat.”
“Kemana Dil?”
“Ya ke masjid Barok...”
“Ayo.” Rido menimpali.
Mereka bertiga berjalan ke masjid yang letaknya persis di sebelah asrama putra. Komplek pondok Darul Khasan terdiri dari tiga bangunan utama, yaitu masjid yang tergabung langsung dengan asrama putra, kemudian ada bangunan kelas, dan juga kantor pengurus yang terletak disebelah timur, atau biasa dikenal Pondok Wetan dan asrama putri di sebelah selatan Ndalem.
Post a Comment