Tanggalan yang menggantung dirumah Pak Sobari sudah berganti tahun. Musim panen cengkih sudah berganti dengan hasil bumi yang lain, kopi, petai, jengkol, padi-padian. Begitu pula dengan lempeng rumah kayu di tengah huma yang semakin melapuk dimakan cuaca tahunpun telah berubah. Setelah genap setahun, Rido, Fadil dan Barok berangkat ke Darul Khasan. Namun, tidak ada kepedihan lagi. Setelah berziarah ke makam Dayat, sahabatnya. Mereka telah khatam membaca surat Yasin, tahlil, membacakan doa untuk sahabat tercinta dan ayah yang terhormat.
Wajah mereka meneteskan tangis kala menatap Muhammad Hidayat yang tinggallah sebuah makam saja. Namun tidak, bukankah orang-orang yang ‘syahid’ tidak pernah mati. Bahkan mereka hidup bahagia disisi Tuhannya. Dan bukankah Dayat meninggal saat dalam perjalanan jihad saat ia hendak melawan kebodohannya. Sungguh surga telah meliputi kehidupannya yang sekarang.
Sekarang siapa lagi yang akan mengingatkan mereka bertiga, mengatakan kata-kata idealisme yang kadang hanya tinggallah sebuah idealisme. Namun paling tidak idealisme itulah harta yang tersisa bagi orang-orang yang dirundung ketidak-idealisme-an dalam hidupnya. Sikap Dayat yang selalu berbeda dengan mereka, seperti ketika hendak berangkat ke pondok, sikapnya yang selalu penuh emosi. Namun itulah yang selalu dirindukan dari keberadaan Dayat.
Sekarang yang tersisa hanya kenangan.
Sekarang yang membara tinggallah cita-cita.
Sekarang Muhammad Hidayat hidup abadi dalam relung Rido, Fadil, dan Barok.
Setelah mereka berziarah ke makam Dayat. Siang yang cerah ini mereka bertiga akan berangkat lagi ke Pekalongan, tidak ditemani Pak Hasan lagi. Kejadian satu tahun silam sudah menjadi pengingat belaka, agar manusia senantiasa berhati-hati dalam perjalanan. Namun yang terpenting adalah, cita-cita tak terkalahkan oleh apapun.
Pada keberangkatan mereka yang ke dua kalinya Pak Sobari yang mengantarkan mereka sampai ke Darul Khasan. Pak Sobari ditemani Pak Hamdan berangkat ke kota, Pekalongan.
***
Babak baru bagi para petualang cita-cita.
Jalan-jalan Tuwarih tak ada yang beda. Masih sama, gemericik Kali Genteng masih begitu jelas menderas telinga. Selama air mengalir dari Kali Genteng selama itu pula kehidupan warga Tuwarih tercukupi. Bak Tigris dan Eufrat yang menghidupi lembah Mesopotamia atau Gangga yang menjadi lambang kehidupan rakyat India. Begitu pulalah kedudukan Kali Genteng bagi warga Tuwarih. Perjalanan mobil hitam itu lancar, batu-batu yang ditata membentuk jalan itu sekali-kali membuat bodi mobil bergoyang-goyang tak nyaman. Namun, setelah tiga jam perjalanan sampailah mereka di Darul Khasan.
Sesampainya di Darul Khasan seorang santri senior tampak membantu Pak Sobari menurunkan barang-barang dari mobil. Santri itu bernama Tejo sering dipanggil Kang Tejo, sapaan akrab bagi santri adalah ketika seorang memanggil yang lainnya dengan menambahi kata Kang di depan namanya.
Kang Tejo mengantar rombongan itu menemui pengasuh pondok pesantren di dalem, Pak Sobari selaku ketua rombongan menyerahkan mereka bertiga kepada Kiai Baehaqi, pengasuh pondok pesantren Darul Khasan yang merupakan tamatan MMQ Lirboyo, Kediri. Pak kiai Baehaqi teduh menyambut tamu-tamunya. Sekali-duakali Pak Kiai Baehaqi menanyai umur anak-anak Tuwarih itu. Setelah hampir satu jam menemui Pak Kiai Baehaqi di dalem, rombongan meminta diri kepada pak kiai.
“Pak Kiai kula pasrahaken lare-lare kula ngudi elmu ten Darul Khasan, kula nitip Pak Kiai.” Pak Hamdan mengakhiri pertemuan singkat dengan Kiai Baehaqi.
Setelah selesai menemui Pak Kiai di ndalem, Kang Tejo mengantarkan mereka menuju bilik kamar lima kali tujuh meter di asrama putra PP. Darul Khasan. Kamar yang tidak terlalu besar itu dihuni oleh delapan sampai sepuluh santri.
“Ini kamarmu kang, silahkan barang-barangnya dimasukkan dulu. Saya minta diri Pak.” Santri senior itu setelah memberi arahan dan membantu memasukkan tas ke kamar, lantas minta diri kembali mengajar ngaji.
“Nak yang betah ya, disini rumah kalian selanjutnya. Yang di Tuwarih sana selalu mendoakan kesuksesan kalian.” Kata Pak Sobari sambil memeluk Barok dan dua temannya.
Setelah mencium tangan dan berpamitan dengan anak-anak, Pak Hamdan dan Pak Sobari pergi meninggalkan ketiga anak gunung itu sendiri ditengah kehidupan mereka yang baru, rutinitas yang baru, teman yang baru, juga seluruhnya yang tak mereka dapatkan di Tuwarih.
Tak dapat dipungkiri, satu minggu setelah mereka tinggal di pondok teerkadang tatkala malam tiba wajah-wajah belia itu menangis. Merindui orang tuanya, merindui kamar luasnya, merindui kali genteng, merindui kinjeng tangis, merindui aroma cengkih yang mewangi di kala pagi. Kini, mereka tidur berdesakkan dengan santri yang lain di kamar sempit, kini mereka harus mengantri disaat mandi, disaat mereka akan mencuci baju, disaat mereka akan makan.
Petualangan mereka yang sebenarnya baru saja dimulai. Sekarang mereka belajar hidup disiplin. Belajar mandiri dan belajar memahami kehidupan yang sebenarnya.
Post a Comment