Kang! eps. 9


Tempat kejadian perkara itu lengang untuk beberapa saat. Sampai datang mobil patroli polisi hutan yang menemukan bekas kecelakaan itu. Segera saja seorang personel dalam mobil itu menghubungi nomor gawat darurat RSUD Kajen. Sementara tiga orang lainnya turun dari mobil dan mengecek pada dua mobil yang terguling itu. Para polisi itu tidak berani menyentuh korban-korban yang tak sadarkan diri. Mereka hanya menunggu kedatangan ambulan tanpa berbuat sesuatu.
            Setelah lima belas menit mengecek para korban seorang polisi memberanikan diri untuk mengeluarkan para korban dari mobil. Pertama-tama Mang Abu mereka keluarkan, kemudian Pak Hasan, selanjutnya anak-anak dan juragan Slamet. Sementara itu, setelah semuanya keluar dari mobil. Para personil polisi menyelamatkan sopir dan kernet truk yang juga tak sadarkan diri.
            Jumlah korban seluruhnya tujuh orang ditambah dua orang lagi dari truk yang mengangkut karet. Setelah hampir satu jam, ambulan datang dari Kajen. Segera saja para polisi dan tim medis dari rumah sakit mengevakuasi para korban itu dari kedalaman jurang. Suasana evakuasi cukup sulit karena medan yang cukup curam dan cuaca yang tengah hujan. Hampir memakan waktu tiga jam untuk mengevakuasi para korban.
            Ketika sempurna tiga jam setengah mengevakuasi, tim gabungan dari Pemadam Kebaaran, Kepolisian, dan rumah sakit itu berhasil membawa seluruh korban naik keatas. Tanpa menunggu lebih lama lagi, para korban dibawa kerumah sakit.
Perjalanan menuju rumah sakit memakan waktu satu jam. Sementara itu, para tim medis bergerak cepat membawa para korban itu ke unit gawat darurat.
***
Suasana RSUD Kajen bergemuruh. Keluarga dari Tuwarih sudah menjemput korban di Kajen. Bu Sodriah menghambur ke ruang jenazah, memeluki jasad yang sudah terbujur kaku, basah oleh air hujan. Wajah anaknya ia pandangi lekat, berkali-kali ia kecupi kening Dayat yang membiru, lebam terbentur. Tak kuasa menahan kehilangan dua belahan jiwa sandaran ruhnya, tubuh Sodriah gontai, matanya sayup, kepalanya terasa berat. Sodriah pingsan, jatuh dilantai kamar jenazah.
Semua berkabung malam ini, tiga kematian sekaligus Mang Abu, Pak Selamet, dan Muhammad Hidayat. Keluarga masing-masing korban dalam suasana haru. Sementara di ruang UGD, Pak Hasan masih tak sadarkan diri, kedua kakinya dililit Gips. Selang-selang infus menusuk kulit ditangannya. Diluar kamar itu, terkulai tak sadarkan diri Bu Zulaikha Ibu dari Abdullah Fadil, istri dari Pak Hasan. Keluarga yang mengantar hanya meratap pada Tuhan. Memohon kesabaran sedalam-dalamnya untuk para kerabat karib yang tengah dirundung musibah ini.
Tubuh ketiga remaja yang dinyatakan selamat, Rido, Fadil, dan Barok masih tak sadarkan diri. Kondisinya seperti Pak Hasan, selang-selang oksigen dan infus masih menbelalai. Kepala, kaki, tangan mereka tampak kemerahan tanda pendarahan, juga baju mereka yang robek disana-sini. Sementara mereka tak sadarkan diri, para dokter sibuk mengecek segala peralatan medis untuk menolong mereka.
Pak Sobari dibantu Pak Hamdan mengurus jenazah ketiga korban. Sementara Bu Hamdan dan Rabiah ditemani beberapa kerabat ikut mengurus Zulaikha dan Sodriah yang tak sadarkan diri. Hujan diluar masih merintik, gemintang tak mau menampakkan seberkaspun cahayanya. Langit masih bermuramdurja dalam suasana kabung yang mendalam.
“Aku turut berduka wahai bumi.” Langit berucap melalui gunturnya yang menyambar-nyambar.
“Trlap...” Cahaya petir turut berdoa mengantar jiwa-jiwa yang tenang kembali kepada Tuhannya.
“Sabar bu, sabar, juragan Slamet pasti sudah bahagia. Khusnul khotimah, beliau dalam perjalanan kebaikan. Insya Allah, taman-taman surga telah dinikmati mereka berdua bu.” Bu Hamdan menguatkan jiwa Sodriah yang sekali-dua masih pingsan, sadar dan pingsannya lebih banyak pingsannya.
Bu Hamdan yang lebih senior memeluk Sodriah bagai anaknya sendiri. Membelai rambutnya, mengelus punggungnya, ikut meneteskan air mata kala mendengar sengguk napas Sodriah. Orang yang dituakan itu tampak begitu welas asih kepada Sodriah. Sodriah merasa sedikit kesedihan hatinya dapat dibagi dengan Bu Hamdan. Merasa lapang karena perhatian dan kasih sayang wanita paruh baya itu.
Sekali-dua detik tubuh Sodriah tak sadarkan diri. Jiwanya dirundung duka. Saat itulah Bu Hamdan menyeka air mata yang menuruni pipi mengaliri keriput wajahnya. Ia letakkan tubuh Sodriah pada bantal. Ia elus-elus rambutnya. Ia ciumi keningnya. Hal yang tak berbeda terjadi pada Rabiah yang menemani Zulaikha dalam sadar-pingsannya. Ranjang-ranjang kamar rumah sakit seakan tak kuasa lagi menahan tangis mereka, sehingga seluruh permukaannya telah kuyup oleh air mata yang menetes dari air mata mereka berdua.
Malam semakin larut, jarum merah tak mau berhenti mendetak. Berhenti sajenak saja. Membuat jeda bagi kesedihan yang tengah berlangsung. Memberi satu pemahaman bagi jiwa-jiwa yang ditinggal kekasihnya, penggalan kehidupannya, seorang kepala keluarga yang menjadi imamnya, anak semata wayang yang menjadi buah cintanya. Sodriah terlalu lemah menahan Cinta Yang Maha Kuasa untuk mengambil kembali ciptaanNya.
“Pak kita langsung bawa pulang saja jenazahnya.” Sobari memberi usul Pak Hamdan.
“Benar nak Sobari. Sebaiknya jenazah tidak terlalu lama dibiarkan, kita urus segera. Sementara permintaan otopsi pihak kepolisian bagaimana nak?”
“Kita tolak secara halus saja pak. Keluarga dirumah sudah menunggu, serta istri yang menghendaki jenazah suaminya segera dikebumikan, kita katakan begitu saja pak.”
“Baiklah nak. Mari kita segera menemui bagian administrasi.” Ajak Pak Hamdan.

Satu jam selanjutnya sirine ambulam meraung-raung membelah hujan menerjang malam menuju kearah selatan, Paninggaran, menuju pegunungan desa Tuwarih dibalik belantara Pekalongan itu.

0/Post a Comment/Comments