Hari yang ditentukan semakin dekat, mereka berempat akan segera berangkat ke Pekalongan untuk nyantri dan sekolah. Insiden minggu lalu sudah mereka lupakan. Entah kenapa Juragan Slamet pada akhirnya mengizinkan Dayat untuk nyantri dan sekolah di Pekalongan. Seperti pada suatu pagi yang masih buta itu juragan Slamet pergi ke rumah Pak Hamdan ayah Rido untuk memengaruhi agar anaknya tidak sekolah sambil nyantri di pondok. Karena menurut juragan Slamet hidup di pondok tidak akan membuat orang menjadi kaya, hidup ketinggalan jaman, hidup serba pas-pasan, dan segala citra buruk dari pondok yang lainnya.
“Pak Hamdan, kalau anak-anak kita sekolah dengan nyantri bagaimana kalau ternyata akan mengganggu prestasi mereka di sekolah?” Tutur juragan Slamet kepad Pak Hamdan padahal hari masih sepagi itu. Para petanipun belum lagi berangkat ke ladang-ladang mereka, anak buah juragan Slamet juga baru satu-dua yang tampak datang ke rumahnya untuk mengambil peralatan kebun. Benar saja, jam di dinding masih menunjuk pukul setengah enam. Kabut masih menyelimuti Tuwarih dengan dinginnya. Sementara obrolan pagi itu sudah sepanas itu.
“Tenang Pak Slamet. Sebetulnya ada baiknya kalau anak-anak kita selain sekolah juga ikut nyantri di pondok pesantren. Mereka akan mendapatkan ilmu pengetahuan dari bangku sekolahan dan ilmu agama serta akhlak dari pendidikan pesantren.” Jawab Pak Hamdan sembari mempersilahan juragan Slamet untuk meminum kopi yang sudah disuguhkan oleh Bu Hamdan.
Tatapan juragan Slamet tajam. Kepalanya ia sandarkan kepada kursi kayu di teras rumah Pak Hamdan. Matanya menatap barisan bukit diseberang pagar bumi rumah Pak Hamdan. Pikirannya menimbang-nimbang apa yang baru saja diucapkan oleh tetua desa itu.
“Tapi, bagaimana kalau mereka seperti Sobari dan Pak Hasan. Hidupnya kelihatan susah dan pas-pasan.”
“Pak Slamet. Kebahagiaan orang bukan dilihat dari penampilan luarnya. Tetapi dari dalam sini. Dari dalam hatinya pak. Dari rasa syukurnya atas segala kenikmatan yang telah Allah berikan kepada dirinya.”
Pak Hamdan masih menambahi,”Memang benar Pak Hasan dan Pak Sobari tampak sederhana dan serba kekurangan. Tapi, siapa tahu merekalah orang yang paling bahagia, mereka tidak pernah mengeluh kepada kita. Mereka orang yang paling gemar membagikan ilmunya. Itu tandanya mereka sudah merasa berkecukupan atas apa yang mereka miliki pak. Pak Slamet, kehidupan didunia bukan melulu soal uang dan harta. Adakalanya hidup adalah tentang mengabdi dan memberi, meski bukan uang yang kita berikan.”
“Pak Slamet. Uang dan pendidikan dua hal yang berbeda. Keduanya tidak dapat disamakan. Uang adalah tentang bagaimana agar kita tetap bertahan menyambung hidup, tetapi pendidikan pak. Pendidikan adalah ruang kehidupan itu sendiri. Orang tidak akan pernah tahu menggunakan uangnya kalau dia tidak tahu pendidikan pak.”
“Uang memang penting. Tetapi lebih penting lagi bagi kita untuk mengetahui bagaimana cara membelanjakan uang yang kita miliki untuk kebahagiaan dan kebaikan. Bukan begitu pak?”
Juragan Slamet masih terdiam menyimak Pak Hamdan yang sudah dituakan bagi penduduk Tuwarih. Kata-katanya adalah nasihat bagi segala masalah. Wejangannya laksana rembesan air yang menyejukkan.
“Baiklah pak. Nasihat dari bapak akan saya pertimbangkan dulu dengan isteri saya.” Ujar juragan Slamet sembari minta diri. Juragan Slamet tidak pulang ke rumah atau pergi ke kebun cengkihnya. Kakinya melangkah kesebuah rumah yang terletak disebelah mushalla al-Qanaah. Ia sedang menuju rumah Pak Hasan. Hatinya berniat untuk meminta maaf atas segala sikap kasarnya selama ini.
Juragan Slamet menuju rumah Pak Hasan menahan perasaan bersalah, namun juga malu untuk sekedar berkujung dan meminta maaf. Juragan Slamet sadar, perkataan dari Pak Hamdan benar seluruhnya. Uang hanya untuk bertahan hidup, sedang pendidikan adalah ruang kehidupan itu sendiri. Untuk apa uang yang melimpah tetapi tidak memiliki kehidupan. Hidup terasa menyesakkan dan menjemukan.
Setelah meyakini nasihat Pak Hamdan. Kaki juragan Slamet langsung menuju rumah Pak Hasan, untuk sekedar meminta maaf dan memohon restu agar anaknya dapat belajar bersama Fadil dan Barok di pondok pesantren. Hatinya luluh, kalah kepada cita-cita dan kebenaran. Cita-cita Dayat terlalu kokoh untuk dihancurkan.
Pak Hasan segera menyuruh tamunya duduk. Senyum yang mengembang dari bibibr Pak Hasan meluluhkan segala ego diri juragan Slamet. Segala syak wasangkanya kini salah semua. Tak ada yang benar sedikitpun tentang Pak Hasan.
“Bagaimana pak? Ada keperluan apa juragan Slamet berkunjung kerumah saya. Apa yang bisa saya bantu juragan?” Ucap Pak Hasan membuka percakapan.
Dengan perasaan gugup dan perasaan bersalah juragan Slamet memberanikan diri untuk membuka mulutnya. Segala kesalahan yang selama ini dia lakukan terhadap keluarga ini seperti diputar didepan matanya. Sepertinya dia tidak pantas untuk duduk diruang tamu rumah ini.
“Begini Pak Hasan, saya datang kemari untuk memohon maaf atas segala salah dan khilaf saya selama ini. Sekaligus menyambung tali silaturahmi yang sudah. Yang sudah saya rusak pak.”
“Juragan. Juragan Slamet sudah saya maafkan sebelum juragan datang kemari. Memang sebaiknya begitu juragan. Saya menyambut baik niatan juragan untuk menyambung kembali silaturahmi. Memang seharusnya kita saling menyambung silaturahmi juragan.” Kata Pak Hasan pelan dan tenang. Pembawaannya yang sederhana membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa tenteram ketika berbincang dengannya.
“Saya sudah merestui anak saya untuk berangkat nyantri dengan Fadil dan Barok, pak. Saya sudah sepenuhnya menyadari pentingnya pendidikan. Entah itu di sekolahan, lebih-lebih lagi pendidikan pesantren. Bekal yang paling penting bagi kehidupan mereka dimasa yang akan datang.” Ungkap juragan Slamet dengan merasakan hatinya yang terasa semakin lapang saja.
“Alhamdulillah. Syukurlah juragan, kalau juragan sudah menyadari pentingnya pendidikan. Jadi, baiknya juragan menyiapkan diri. Hari Rabu minggu depan, kita antarkan anak-anak berangkat ke Pekalongan pak.”
“Iya pak. Baiklah akan saya siapkan semua keperluan keberangkatan ke Pekalongan nanti.” Ucap juragan Slamet.
Lanjut juragan Slamet kepada Pak Hasan,”Sebenarnya saya memang kurang merestui anak saya pergi merantau ke Pekalongan hidup di pondok. Namun, alasan apapun yang saya berikan kepada Dayat. Nyatanya harus kalah dengan cita-cita luhur anak-anak kita pak. Saya mengalah dan sadar. Kehidupan harus seimbang, berkelindan harmoni antara alam dan manusia. Saya sudah terlalu dibuat sibuk dengan urusan berdagang, tidak sepantasnya uang yang saya kumpulkan membunuh anak saya sendiri. Dengan mematikan cita-cita yang membara dalam hatinya. Bak api dalam sekam, kita harus menjaganya pak. Anak-anak kita adalah penerus Tuwarih, mereka harus berilmu dunia-akhirat. Bukankah seperti itu Pak Hasan?”
Orang yang diajak bicara hanya diam, mengangguk dalam.
Hari Rabu depan anak-anak mereka akan pergi ke kota. Membawa cita-cita yang membara. Seperti biasa mobil L 300 milik Mang Jangkung yang akan mengantar mereka ke Pekalongan nanti. Mobil itu yang menjadi transportasi andalan bagi warga Tuwarih. Sementara Mang Jangkung adalah pemilik mobil nomor tiga di Tuwarih setelah Pak Hamdan dan juragan Slamet.
***
Hari sudah berganti hari seiring jarum jam yang terus mendetak. Hembusan angin siang ini begitu semilir merontokkan benang-benang sari bunga cengkih, satu-dua bunganya berjatuhan dibawah ranting. Mewanginya semerbak, harum menghangatkan jika dicampur pada makanan. Mutiara Jawa yang diperebutkan Eropa sejak dulu kala. Jika pada dahan-dahan angin mengoyak biji-biji cengkih. Maka dilangit sana angin tengah menggiring berarak-arak awan mendung. Mendung telah menggelayuti langit Tuwarih. Sesekali angin kencang menerpa batang cengkih di depan rumah Pak Sobari.
L 300 tengah dipanaskan Mang Abu. Dengan penuh teliti semua kelengkapan dicek, tekanan udara pada ban, air radiator, bensin, surat-surat, seluruhnya agar perjalanan menuju kota selamat sampai tujuan. Sementara didalam rumah Pak Hasan berjajar kitab-kitab dalam lemari kayu menjadi saksi tangis seorang manusia melepas anaknya pergi merantau. Bukan untuk bekerja, tetapi demi kelangsungan hidup dan kehidupan warga Tuwarih.
“Belajar yang giat ya, nak.” Ibu Barok mengusap ubun-ubun anaknya sambil meneteskan air mata.
Sementara di rumah Fadil juga tak jauh berbeda. Sekarang Fadil tengah dipeluk ayah-ibunya. Matanya memerah menahan tangis yang tak dapat dibendung. Lantas mengantar Fadil menaiki L 300 yang sudah diparkir didepan rumah Pak Hasan.
Kejadian paling mengharukan terjadi di rumah Dayat. Selama ini Dayat membujuk ayahnya yang bersikukuh tidak mau melepasnya pergi dari Tuwarih. Supaya membantu kerja keluarga mengurusi kebun yang begitu luasnya. Namun, apalah daya cita-cita adalah cita-cita. Segalanya mampu diyakinkannya jika cita-cita adalah sebuah impian yang mulia. Ayahnya menghamburkan segala doa, ibunya merapalkan wejangan suka-cita.
“Nak, bapak sudah ikhlas kau pergi. Sekarang gapailah tujuan paling luhurmu itu. Bapak-Ibu selalu mendoakanmu disini.” Ujar ayah Dayat.
Lain lagi dirumah Rido, bapak-ibunya orang berpendidikan. Tidak sebegitu mengharukan kisahnya. Malahan ibunya sudah membekalinya dengan seluruh jenis makanan dan uang untuk bekal hidupnya.
Mang Abu menggantikan posisi Mang Jangkung yang tengah mengurusi anaknya menikah. Sudah ia panaskan mobilnya sedari tadi, semua barangpun sudah ia masukkan ke dalam mobil, anak-anak ditemani Pak Hasan dan Pak Slamet sudah masuk seluruhnya. Orang tua mereka berdiri di depan rumah. Pak Sobari melambaikan tangan pada kaca mobil yang terbuka. Beberapa tetangga terdekat Pak Hasan tampak menghambur keluar rumah demi menyaksikan keberangkatan empat anak rantau demi ilmu itu.
Menurun sudah L 300 membelakangi semua orang yang melihatnya. Menuruni bukit, berkelok-kelok, menanjak, menyusuri aliran Kali Genteng ditemani mendung yang semakin menjadi-jadi.
Setalah hampir dua jam, mobil membelah jalanan, merobek hutan sampailah mereka pada jalan utama yang menghubungkan Pekalongan-Banjarnegara. Pak Hasan menemani mereka berangkat sekaligus sowan ke Pak Kiai Baehaqi pengasuh Darul Khasan ditemani juragan Slamet ayah Dayat.
Post a Comment